Rabu, 03 Januari 2024

JANGAN MAU JADI BIAWAK






(Picture by : Jongfajar Kelana)


Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Semalam saya mungkin telah “mengkerdilkan” pikiran saya sendiri.
Apa sebab? Menurut seseorang yang mengutip ucapan orang lain, bila saya
memperbanyak tidur, sementara badan belum lelah, itulah satu pengkerdilan diri
manusia. Dan masih sebagai manusia, semalam saya memilih tidur setelah melihatjam menunjuk pukul 1 tengah malam.

Memang pikiran saya masih bersemangat mengingat potongan diskusi
bertajuk “Literasi dan Realitas Sosial Akhir Tahun”. Diskusi beralamat di
kampus 1 Universitas Muhammadiyah Mamuju. Ketika moderator memberi kesempatan
pada peserta untuk bertanya dan menanggapi, ada hening cukup panjang. Melihat
suasana khidmat begitu, saya sambar saja kailnya.

Ada dua hal yang saya tanggapi. Dan baru tadi malam saya menyadari
kalau tanggapan itu masih terburu-buru. Ibarat masak nasi, beras belum sempurna
jadi nasi. Maka, malam tadi di kepala saya terjadi dialog imajiner. Seolah saya
mengulang diskusi Sabtu (30/12/2023) lalu.

Salah satunya ialah mengenai hakikat manusia sebagai makhluk
berakal. Pemateri menyebut manusia sebagai makhluk yang berpikir dan berbicara.
Hewan punya otak, tapi tak berpikir. Mereka hidup berdasar insting. Sedang
manusia, dengan otaknya, diberi potensi berpikir. Dari “keberpikirannya” itulah
manusia lalu berbicara (saya sendiri lebih cocok dengan “berbahasa”).
Konsekuensinya, manusia diangkat derajatnya dari makhluk ciptaan Tuhan yang
lain. Sudah fitrah manusia lebih tinggi dari kucing yang biasa kita lihat berak
di muka umum.

Pengecualian tentu ada. Ini kebiasaan manusia. Salah satunya kita temukan dalam salah satu lirik lagu band Hello: Di antara beribu bintang / hanya kaulah yang paling terang / Di antara beribu cinta / pilihanku hanya kau sayang. Memilih yang satu, membuat lainnya sebagai “yang tak terpilih”.

Pengecualian juga dilakukan pemateri dalam diskusi. Kita maklum ia
pun manusia pada umumnya. Kalimatnya berbunyi begini: “Manusia yang kehilangan
keberpikirannya lebih rendah dari hewan.” Manusia yang tidak memanfaatkan
dengan baik kemampuannya untuk berpikir, adalah pengecualian dari ketinggian
derajat sebagai makhluk sempurna ciptaan Tuhan. Mereka bisa tak sengaja menjadi
makhluk lain bernama massa yang tak ubahnya hewan ternak. Itu kata Sanu dalam
novel Sanu Infinita Kembar (2002) karangan Motinggo Busye.

Malahan, nasibnya bisa lebih rendah di bawah kaki kecoa di kakus
atau comberan. Ini diantara konsekuensi (menurut kalimat pemateri) jika manusia
“kehilangan keberpikirannya”.

Setelah pengecualian, masih ada pengecualian. Manusia yang
berpikir sekalipun masih bisa turun derajatnya jadi sebangsa hewan atau
tumbuh-tumbuhan. Devolusi ini terjadi apabila manusia menyalahgunakan akal
pikirannya. Dan uanglah yang paling sering membuat manusia terpelanting dari
singgasana kemanusiaannya.

Mengenai hal ini, saya suka sekali dengan tulisan Mahbub Djunaidi
berjudul “Bendaharawan” di kolom Asal Usul Harian Kompas tertanggal
8 Februari 1987. Ia menulis begini mengenai seorang yang jadi bendaharawan:
“Jika Anda lurus dan normal, orang akan menyanjung Anda, akan jadi buah bibir
orang sekampung, dan boleh jadi tangan Anda akan diciumi orang bertubi-tubi.
Sebaliknya, sedikit saja Anda menyelipkan uang kepercayaan itu ke dalam kocek
Anda sendiri, orang akan menggunjingkan Anda, dan Anda bukan lagi manusia,
melainkan kadal. Dan apabila jumlah yang Anda ambil itu amat banyak, maka Anda
bukan lagi disebut kadal, melainkan biawak.”

Beda lagi dengan manusia yang secara harfiah benar-benar
“kehilangan keberpikirannya”. Keadaan seperti ini dapat terjadi sejak awal atau
di tengah keasikannya menjalani kehidupan sebagai manusia. Kondisi inilah yang
sempat terpikir di lantai tiga kampus 1 sore kemarin. Ini alasan saya tidak
sepaham dengan pendapat pemateri.

Yang teringat oleh saya ialah buku Gelandangan di Kampung Sendiri (2016)
karangan Emha Ainun Nadjib. Buku
itu bersampul kuning. Di buku, ia menulis balasan atas surat permohonan maaf
kepada dirinya: “Saya tidak berhak memberi maaf kepada Anda sebab menurut
pengetahuan saya Anda bersalah tidak kepada saya, tetapi kepada Tuhan, kepada
gadis gila itu dan kepada diri Anda sendiri.”

Cerita singkatnya, sekelompok anak muda Tariqah berkunjung
ke rumah Emha. Memang rumah itu tak pernah ia kunci. Semua orang boleh datang.Termasuk Si Inur, “seorang yang dirahmati oleh Allah dengan kegilaan,” tulis Emha. Ia panggil Si Inur (yang tiba-tiba saja nongol) dan diajak bersalaman
dengan mereka. Melihat mereka enggan menerima uluran tangan Si Inur (walau
tetap berkata sopan), Tuan rumah “bukan hanya marah, tetapi juga meledak-ledak dengan kata-kata amat keras dan terus terang.”

Sebaiknya saya tuliskan satu paragraf utuh pendapat Emha mengenai
kejadian ini:

“Apakah tamu-tamu saya ini merasa yakin akan masuk surga dan Si
Inur pasti masuk neraka sehingga tak punya kehormatan setitik pun untuk
diterima uluran tangannya? Sedangkan, gadis ini sejak beberapa tahun yang lalu
telah selamat hidupnya karena segala perbuatannya akan tidak dikalkulasikan
oleh Allah berkat kegilaannya, sementara tamu-tamu ini masih menapakkan kakinya di jalanan licin penuh lumpur dosa-dosa?”

Membaca pandangan dan sikap Emha yang bersedia menerima dan ngewongke
seorang gadis yang “kehilangan keberpikirannya”, membuat saya mengoreksi diri.
Dengan akal-budi manusia dapat memikirkan hal-hal yang muluk-muluk seperti
peradaban, kebudayaan, globalisasi, dan filsafat. Akal-budi menentukan
(potensi) kemuliaan manusia. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tak
berakal-budi? Tuhan sendiri yang memuliakannya!

Saya membayangkan, orang-orang gila yang ditertawakan oleh
orang-orang berakal, tak akan kerepotan dengan hinaan tersebut. Kita bisa
sangat bersyukur karena tak mengalami nasib seperti mereka. Tetapi, bila sudah
di hadapan mahkamah akhirat, adakah penyesalan bermanfaat untuk kita.


----
* Pegiat SEED Institute
Editor : Alfrisa Ica

Senin, 27 Maret 2023

Bermegah-megah Membangun Masjid

                                                
                                               (Halaman Depan Masjid Syekh Zayed, Solo)

Oleh : Kholid Misy'alul Haq*

Indonesia makin bermasjid beberapa tahun ini. Masjid Raya Sheikh Zayed (Surakarta) dan Masjid Al Jabbar (Jawa Barat) yang baru diresmikan akan segera disusul Masjid Seribu Bulan (Banyumas). Sudah banyak masjid megah mendahului mereka, sedikitnya ada Masjid Kubah Emas (Depok), Masjid Istiqlal (Jakarta), Masjid Raya Baiturrahman (Aceh), Masjid Agung (Jawa Tengah), Masjid Al Akbar (Surabaya), Masjid Kubah 99 Asmaul Husna (Makassar), Masjid Al-Irsyad (Bandung), Masjid Raya Sumatra Barat, Masjid Raya Makassar, dan Masjid Agung Tuban. Menurut Ayub dalam Manajemen Masjid (1996), rata-rata masjid megah dan besar menyempit aspek fungsionalnya. Masjid hampir hanya tempat untuk sholat dan menyelenggarakan acara tahunan hari besar Islam.

Aktivitas muamalah masyarakat dipinggirkan keluar masjid. Masjid menjelma wisata religi lengkap dengan pedagang oleh-oleh dan suvenir. Jual beli, interaksi sosial dan lain sebagainya seringkali bermotif ekonomi untuk mengisi kantong pribadi. Persaingan kepentingan tak terhindarkan. Masjid bisa berperan menghadapi permasalahan di atas. Takmir misalnya bisa mengadakan penyuluhan dan pelatihan mengenai konsep muamalah (terkhusus jual beli). Jika terjadi perselisihan, masjid bisa mengadakan advokasi. Kita berharap masyarakat mendapatkan kesejahteraan yang merata. Dalam kasus masjid megah sebagai wisata religi, “mendandani” bangunan masjid menjadi prioritas pihak pengelola. Ini dilakukan untuk menarik minat berkunjung masyarakat muslim.

Masjid yang menjadi wisata religi pun belum mampu mencipta ikatan sosiologis-psikologis- spiritual para pengunjung. Kedatangan mereka yang insidental tidak mampu mengekalkan ikatan ini. Masjid terancam kehilangan Jemaah tetap. Kebutuhan sosiologis (membangun masyarakat), psikologis (kedekatan batin, rasa rindu), dan spiritual (peningkatan iman dan takwa) teralihkan keindahan bangunan dan ornamen (estetika). Kehadiran masjid di tengah masyarakat semestinya bisa menjangkau dimensi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, lingkungan (ekologi), dan berbagai aspek lain dalam kehidupan umat Islam.

Pada tahun 2020, Kementrian Agama menetapkan 8 klasifikasi masjid yang dibedakan berdasarkan kududukan dan tipenya. Pertama, Masjid Negara yang berada di Ibu Kota Negara Indonesia. Kedua, Masjid Nasional yang berada di Ibu Kota Provinsi (ditetapkan oleh Menteri Agama). Ketiga, Masjid Raya yang berada di Ibu Kota Provinsi (ditetapkan oleh gubernur). Keempat, Masjid Agung yang berada di Ibu Kota Kabupaten/Kota (ditetapkan oleh bupati/walikota). Kelima, Masjid Besar yang berada di Kecamatan. Keenam, Masjid Jami yang terletak di pusat pemukiman di wilayah pedesaan/kelurahan. Ketujuh, Masjid Bersejarah yang berada di kawasan peninggalan Kerajaan/Wali penyebar Agama Islam/memiliki nilai besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Kedelapan, Masjid di tempat publik yang terletak di kawasan publik untuk memfasilitasi pelaksanaan ibadah masyarakat. Masjid Agung, Masjid Negara, Masjid Nasional, dan Masjid Raya ialah kategori masjid yang saya bicarakan di alinea-alinea sebelumnya.

Klasifikasi masjid juga dilakukan oleh Andika Saputra berdasarkan aspek fungsionalnya. Pertama, Masjid Permukiman yang terletak di tengah-tengah ruang kehidupan umat Islam. Dengan begitu masjid menjadi bagian dari realitas masyarakat sebagai pusat ibadah dan komunitas umat Islam. Kedua, Masjid Pasar yang terletak di pasar (pusat arus ekonomi umat Islam). Masjid Pasar bertugas sebagai penyedia kaum profesional, penghubung dengan swasta dan sumber pendanaan.

Ketiga, Masjid Kampus sebagai penyedia kaum intelektual. Letaknya di pusat pengembangan ilmu pengetahuan bertugas untuk menyediakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan umat. Kalangan akademisi berperan sebagai penyusun agenda, program, dan rencana serta mengadakan pendampingan, pembimbingan sekaligus pengawasan. Keempat, Masjid Jami yang terletak di tengah kota. Masjid Jami bertugas sebagai koordinator jejaring masjid yang meliputi tiga masjid sebelumnya. Masjid Jami bisa menjadi penghubung umat Islam dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan sumber pendanaan.

Sidi Gazalba menyebut masjid harus mampu menyeimbangkan dimensi ibadah mahdah (vertikal) dan ghairu mahdah (horisontal). Saat ini kita melihat Masjid Agung hampir semuanya memprioritaskan penggunaan ruang sholat Masjid untuk pelaksanaan ibadah mahdah saja, seperti sholat lima waktu, sholat Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan sholat Jum'at.

Satu lagi ketegori masjid dari Kusnadi selaku Ketua Takmir Masjid Al Falah (Sragen). Ia menyebut Masjid Safar sebagai rujukan orang bersafar maupun belajar dalam memakmurkan masjid dari pergerakan pemudanya. Letaknya di pinggir jalan-jalan besar perkotaan dan sering dilalui musafir ketika perjalanan jauh.

***
Suatu hari saya dan kawan takmir Masjid Kampus bersafari dan studi banding masjid di Yogyakarta. Pertama-tama kami harus menentukan lokasi menginap. Teman saya menyarankan Real Masjid. Real Masjid tak asing bagi para pemuda hijrah dan orang-orang yang dolan ke Jogja. Saya sendiri ingin ke Masjid Agung. Saya ingin menguji stigma Masjid Agung tidak ramah musafir yang hendak beristirahat, terutama perempuan. Berangkatlah rombongan ke Jogja.

Siang harinya kami mendaratkan kaki di Masjid Kampus UGM. Kunjungan digenapi diskusi bersama kawan-kawan aktivis masjid. Sorenya kami meluncur ke Masjid Jogokariyan. Nuansa kemakmuran dan kesejahteraan warga mengelilingi masjid permukiman tersebut. Masjid Jogokariyan bisa seramai ini karena senantiasa memberikan dan mengedepankan kemakmuran serta kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya. Masjid mampu berperan sebagai sebagai pusat ibadah dan komunitas masyarakat muslim.

Malam hari kami ke Masjid Teras Dakwah. Masjid ini menjadi salah satu kesukaan anak muda sekarang. Nuansa majelis yang dihadirkan oleh masjid ini dikonsep mengasikkan. Menjelang tengah malam, tibalah waktu pembuktian. Rombongan lain langsung menuju Real Masjid untuk istirahat. Penemuan kami terjawab sudah. Beberapa Masjid Agung melarang Jemaah menginap. Ada juga yang memerlukan izin khusus dari pihak keamanan sekitar. Lelah dan kecewa menyeret kami ke Real Masjid

Sampai di sana, kami disambut suasana berbeda: masjid masih “hidup”. Beberapa anak muda mengisi malam di sekitar masjid dengan obrolan dan permainan. Kami pun terkejut mendapati masjid semakin ramai pengunjung. Terkenanglah masjid megah, besar, dan monumental yang kami kunjungi tadi.

Berdasarkan pengalaman ini, saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, terdapat perbedaan keramaian Masjid Agung, Masjid Permukiman, Masjid Kampus dan Masjid Safar. Masjid Agung ramai dikunjungi orang-orang karena keindahan bangunan. Jemaah tak akan lama berkunjung ke masjid, dan masih lama untuk berkunjung lagi. Keadaan berbeda di Masjid Permukiman. Masjid ramai masyarakat yang rutin datang. Mereka mengalami masjid berperan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Masjid kampus dengan berbagai majelis ilmunya juga dapat mengekalkan kehadiran jemaahnya. Begitupun Masjid safar yang menarik orang datang karena kenyamaman dan keramahan bagi musafir yang beristirahat.

Kedua, pengalaman tadi menegaskan bahwa besar atau kecil ukuran fisik masjid, kemegahan dan kemonumentalannya tidak linear dengan optimalisasi fungsi masjid. Justru masjid-masjid kecil dan sederhana seperti Masjid Jogokariyan dan Real Masjid lebih berhasil menyelenggarakan fungsi masjid dengan baik.

Memang menikmati estetika keindahan suatu bangunan dalam arsitektur bisa memberikan penyegaran dan pengalaman ruang kepada orang yang mengunjunginya. Tapi apakah menikmati keindahan bangunan yang sementara itu bisa menjawab kebutuhan masyarakat sekitarnya? Jawabannya bisa kita tunda. Tentu kebutuhan umat yang kompleks dalam berbagai aspek jelas sulit terpenuhi jika masjid hanya mampu menyenangkan mata.

Umat Islam semestinya mampu berkaca dari pengalaman keseharian mereka. Bermegah-megah dalam perlombaan membangun masjid dapat membuat kita abai pada hakikat masjid. Dari sini kita bisa mulai berpikir dan bergerak “membangunkan” masjid permukiman. Dengan begitu masjid tak melulu urusan akhirat. Masjid kembali relevan bagi kehidupan dunia umat Islam.

Wallahu a’lam.

----

*Mahasiswa Arsitektur UMS, Pegiat SEED Institute dan Relawam Maskam Sudalmiyah Rais, UMS.

Editor: Alfisa Ica

Jumat, 24 Februari 2023

Aktivasi Masjid: Jamaah Temporer vs Jamaah Kekal




(Rg. Utama"Haram" Masjid Sudalmiyah Rais, UMS)
   
Oleh : Kholid Misy'alul Haq*

Saat ini, Saya sedang menuntut ilmu sebagai mahasiswa di program studi Arsitektur sekaligus menjadi marbot masjid di kampus. Pernah menjadi penggerak Masjid melalui Remaja Masjid di desa, menjadikan diri saya secara personal mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masjid saat ini. Memiliki keterikatan secara emosional dan sosial dengan masjid saat ini merupakan hasil dari berbagai bentuk didikan orang tua serta aktivitas saya dulu yang lebih sering ke masjid. Bersamaan dengan itu, saat ini saya menjadi bagian dari Pejuang Masjid Kampus dimana berisi sekumpulan mahasiswa yang mempunyai visi sama yaitu memakmurkan Masjid. Problematika yang sering saya dan teman-teman pejuang Masjid bahkan juga para aktivis masjid lainnya hadapi adalah bagaimana cara memakmurkan Masjid.

Adapun makna memakmurkan masjid sependek pengetahuan yang saya tangkap secara umum dibagi menjadi 2, yakni memakmurkan Masjid secara fisik dan non fisik. Pertama, memakmurkan secara fisik artinya memakmurkan bangunannya seperti memperbaiki bangunan Masjid, memperindah arsitektur Masjid, membersihkan bagian-bagian Masjid serta memberikan pelayanan untuk Masjid. Kedua, memakmurkan Masjid secara non fisik maksudnya menghidupkan Masjid dengan berbagai ibadah-ibadah mahdhah dan ghairuh mahdhah seperti shalat di masjid, berdzikir di dalamnya, menunjuk imam sholat juga muadzin yang fasih bacaannya, menyelenggarakan kajian-kajian agama dan keilmuan seperti halaqah qur’an, tafsir, ulumul hadits, fiqih, syariah, dakwah, filsafat, membahas problematika ummat, dan berbagai ilmu-ilmu yang bermanfaat lainnya. Intinya dalam memakmurkan Masjid perlu mengembalikan dan menyelenggarakan fungsi masjid kepada masyarakat atau jamaahnya.

Kembali pada cerita dimana para pejuang Masjid yang terus merencanakan, mengkonsep, dan merealisasikan bagaimana terwujudnya visi memakmurkan Masjid itu bisa tercapai. Konsep tersebut ternodai oleh cara instan dengan tuntutan nilai memaksa mahasiswa untuk meramaikan masjid melalui kebijakan kampus. Saya ingin bercerita terlebih dahulu tentang kegiatan pendidikan keagamaan wajib dari kampus untuk mahasiswa baru yang dilakukan di semester 1 dan 2. Kegiatan itu bernama baitul arqam yang merupakan kegiatan pembinaan serta peningkatan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bagi seluruh sivitas akademika kampus. Kegiatan ini menurut saya sangat pantas dan memang harus dilakukan bahkan dicontoh oleh kampus-kampus Islam yang lain sebagai pondasi awal dari menuntut ilmu yaitu pembentukan adab, akhlak dan karakter Islami. Ditambah pendidikan tentang fiqh dan keislaman yang lain menjadi pengisi mahasiswa baru di awal perkuliahan mereka. Kegiatan ini dilakukan bermukim selama 4 hari di pondok.

Dalam waktu dekat ini setelah pandemi covid berakhir penempatan baitul arqam dipindah ke masjid kampus karena renovasi dan pembangunan pondok. Kegiatan Baitul Arqam kali ini dengan kloter 4 hari sekali secara rutin non-stop dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore dilaksanakan di Masjid Kampus. Pemilihan tempat pemindahan yang full di satu masjid kampus beralasan karena ingin memakmurkan masjid kampus dengan keramaian tiap harinya yang terjamin dari peserta baitul arqam. Memang betul kata gus baha dalam mendidik seseorang itu harus dimulai dari keterpaksaan. keterpaksaan yang akhirnya berubah menjadi kebiasaan. Namun, hal itu hanya akan efektif pada lingkup pondok pesantren lama. Positifnya dari pemindahan tempat baitul arqam ini adalah membuat kesan pertama yang bagus untuk peserta baitul arqam kepada Masjid kampus. Peserta baitul arqam akan mendapatkan pengalaman pertama belajar tentang keislaman di tempat paling sakral kampus yaitu Masjid.

Tapi disini negatifnya adalah porsi Masjid yang juga diperuntukkan untuk aktifitas ibadah mahdhah bahkan ibadah ghairu mahdhah dari ranah lainnya harus membatalkan kegiatannya karena waktu setiap harinya di Masjid dari pagi sampai sore diperuntukkan untuk kegiatan baitul arqam saja. Memang memberikan kebijakan untuk memaksa mahasiswa menempati Masjid sebagai kewajiban mengikuti baitul arqam bisa menjadi cara untuk aktivasi Masjid. Tapi tak jarang dalam kasus ini jika kita melihat fakta di lapangan yang sering terjadi adalah keterpakasaan tersebut hanya mengahasilkan pemenuhan tujuan jangka pendek. setelah tuntutan nilai itu sudah tercapai, tidak ada keterikatan secara emosional, sosial maupun kenyamanan dengan masjid jika tidak diiringi dengan memakmurkan Masjid secara fisik maupun non fisik berupa pengalaman yang nyaman untuk berdiskusi, belajar maupun beristirahat di dalam masjid. Apalagi jika melihat kebijakan yang diambil adalah memenuhi waktu dan tempat masjid untuk kegiatan yang sama selama 4 hari berulang-ulang tanpa berhenti dan tidak dibarengi dengan pengaktifan dari ranah kegiatan yang lain juga.

Bahkan tak jarang pelaksanaan kegiatan tersebut yang non-stop dan tergolong ibadah ghairu mahdhah justru ikut mengganggu pelaksanaan ibadah mahdhah yang dilakukan jamaah lain di ruang sakral. Mendiang Gurunda saya, Ustadz Andika Saputra Allahuyarham selalu mengatakan dalam diskusinya bahwa Masjid secara ruang dibagi menjadi 2, yaitu ruang sakral dan ruang profan. Ruang sakral untuk pemenuhan ibadah mahdhah agar tidak terganggu oleh aktifitas ibadah ghairu mahdhah yang sudah disediakan ruang profan di masjid.

Sebagaimana fungsi Masjid yang merujuk pada asal katanya berarti tempat bersujud tapi bukan berarti Masjid sebagai tempat orang bersujud seperti sholat saja. Memang dalam pengertian awal masjid adalah tempat untuk bersujud tapi yang diartikan bersujud disini bukan hanya semata-mata menunaikan sholat. Melainkan juga bersujud adalah bentuk ibadah kita yang kita pasrahkan dan niatkan kepada Allah azza wajalah sebagai contoh ibadah muamalah dan sejenisnya. Sidi gazalba dalam bukunya Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan mengartikan sujud adalah sebagai ungkapan ibadah, ungkapan yang mendalam. Sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kesaksian atau pengakuan lidah diakui oleh seluruh tubuh manusia berupa gerak lahiriah yang terkait dengan iman dan gerak batin yang mendukung iman adalah salah satu bentuk bersujud atau beribadah.

Teringat oleh pendapat Sidi gazalba yang menjelaskan bahwa ada 2 hukum yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan fungsi Masjid yaitu hukum keseimbangan hubungan antara manusia dengan tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia serta hukum keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Oleh karena itu, fungsi Masjid sebagai pusat peradaban Islam harus meliputi fungsi yang berdimensi akhirat yaitu ibadah mahdhah, dan fungsi yang berdimensi dunia yaitu ibadah ghairu mahdhah. Aktivitas pemenuhan dari ibadah ghairuh mahdhah salah satu lingkupnya adalah bermuamalah. Apalagi dalam konteks masjid ini, pemenuhan kebutuhan masyarakat di sekitarnya juga menjadi bagian penting dalam memakmurkan masjid.

Melihat beberapa pandangan dari hakikat fungsi masjid dan yang seharusnya dilakukan dalam memakmurkan Masjid adalah dengan memberikan porsi pada masing-masing aktivitas ranah ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah sehingga jamaah yang tercipta bukan hanya menjadi jamaah sementara atau temporer dengan tuntutan nilai tapi akhirnya tercipta jamaah kekal dalam artian memiliki keterikatan emosional, sosial dan keilmuan selamanya dengan masjid serta masjid bisa menjadi tempat untuk pemenuhan kebutuhan ummat dari berbagai ranah.

Wallahu’alam bishawab.


----

*Mahasiswa Arsitektur UMS, Pegiat SEED Institute dan Relawam Maskam Sudalmiyah RaisUMS.

Editor: Alfisa Ica

Selasa, 24 Januari 2023

MAS #1: KADO ULANG TAHUN



Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Tulisan pertama ini akan memulai seri berjudul “Membaca Andika Saputra” (MAS). Pada mulanya, kata “membaca” saya temukan dalam seri tulisan “Membaca Gus Dur dan Mahbub Djunaidi” yang diunggah secara rutin oleh akun Suhai(ri) Ahmad di medium.com (suhairi4hmad.medium.com). Lalu pada Sabtu malam, 21 Januari 2023 kawan saya Azizah Romadhona (pendiri SEED Institute) melontarkan ide serupa untuk membuat seri tulisan “Membaca Andika Saputra”. Dengan begitu jadilah rubrik tulisan ini untuk mengenang gurunda kami di komunitas SEED Institute, Andika Saputra, S.T., M.Sc. (kami memanggilnya Pak Andika). 

Rubrik ini akan kami isi secara berkala untuk membaca kembali serpihan-serpihan pemikiran Pak Andika yang tersebar dalam buku, tulisan di berbagai media, dan rekaman audio maupun video. Termasuk akan memaparkan berbagai sikap dan pendirian beliau ketika berhadapan dengan berbagai pemikiran dan fenomena kehidupan. Sikap dan pendirian tersebut mencerminkan teguh idealisme beliau hingga akhir hayat.

Saya tidak ingin mendaku upaya sederhana ini sebagai pewarisan kejayaan alam pikiran dan nilai. Melainkan untuk mengenang dan berbagi. Selama 3 tahun terhitung Desember 2019, hingga perbincangan terakhir saya dengan beliau di sore hari Jumat, 19 Januari 2023, merupakan pengalaman yang sangat berharga dan sayang jika hanya disimpan dalam memori pribadi.

***

Tulisan pertama ini saya beri judul “Kado Ulang Tahun”. Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya mengapa. Judul ini adalah pengalaman yang sangat personal bagi saya. Pada hari Jumat, 19 Januari 2023, pukul 19.06 WIB (seingat saya), Pak Andika mengembuskan nafas terakhirnya di kamar nomor 8, Gedung Cendana lt. 2, RSUD dr. Moewardi, Jebres, Surakarta. Di samping Pak Andika ada Bunda Uum dan saya. Saya kebingungan, mengingat esok harinya, sabtu, 20 Januari 2023 merupakan peringatan hari lahir saya yang ke-23. 

Dalam kebiasaan keluarga saya tidak pernah mengadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun. Ketika masih bersekolah dan tinggal serumah dengan orang tua, menjelang 20 Januari saya selalu ditawari oleh ibu: besok mau puasa atau tidak? Sejak SMP saya berpuasa untuk memperingati hari kelahiran, tentu ditemani ibu yang juga ikut berpuasa. Tidak ada kado,  kue dan tiup lilin, serta atribut dan kegiatan seremonial lain.

Tahun ini saya berencana memperingatinya lain dari biasa. Memperingati ulang tahun yang ke-23, saya berniat memberikan sesuatu kepada Pak Andika. Kenapa baru tahun ini? Alasannya ada dua: (1) pada peringatan ulang tahun ke-35 pada 26 November 2022 lalu saya tidak memberikan apa pun kepada beliau, dan (2) saya sedang mengadakan proyek kecil-kecilan bersama beberapa kawan untuk menyambut bulan puasa tahun ini. Hasil proyek tersebut akan kami terbitkan menjadi buku. Buku itulah kelak akan saya persembahkan untuk Pak Andika. 

Rencana tetaplah rencana. Tuhan berkehendak lain daripada rencana manusia. 

Butuh waktu bagi saya memikirkan bagaimana mungkin Allah swt. memanggil Pak Andika kembali ke “pangkuan”-Nya secepat ini. Mungkin ini kado untuk Pak Andika: pertemuan kembali dengan-Nya di malam jumat, malam mulia yang sangat dicintai beliau. Pak Andika telah menyelesaikan tugas di muka bumi sebagai wakil-Nya, bagaimana pun manusia menghitung-hitung ukuran “selesai” tersebut. 

Pak Andika baru saja mulai merumuskan Arsitektur Profetik. “Kalau tidak sakit, sudah terbit dua buku itu Fer” kata beliau di ruang rawat inap RS PKU Surakarta. Buku tersebut ialah Kemelut Pandemi 2 dan Mencari Masjid.  Jika memasukkan kerja keilmuan tadi dalam hitungan, beliau belum menyelesaikan tugas. Masih banyak yang bisa (dan ingin) ia lakukan. Tetapi tidak menurut hitungan Allah swt.

Mungkin juga ini adalah kado untuk saya: malam ulang tahun yang akan selalu terkenang. Pada malam itulah saya pertama kali mendampingi seseorang menghadapi sakaratul maut. Malam itu saya pertama kali mengurus jenazah dari awal hingga besok siangnya dimakamkan. Malam itu Allah swt. mengingatkan betapa umur adalah rahasia-Nya. Betapa Ia mengatur skenario hingga saya dapat berdiri di samping Pak Andika di akhir hayatnya. Allahu Akbar.

Malam itu Allah swt. memberikan saya kado: tugas untuk melanjutkan perjuangan Pak Andika. Ia seorang guru, ayah, sekaligus sahabat. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. Wallahu a’lam.


Masjid Baitul Atiiq. Senin, 23 Januari 2023.

_____

*Pegiat SEED Institute

Penyunting: Ferdi

Minggu, 30 Oktober 2022

KONSUMERISME DAN TANTANGAN HIDUP SEHAT

Sumber: unsplash.com


Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Ahad pagi ini (30/10) ketika saya memberi makan ikan-ikan di kolam Madjid Baitul Atiiq, Kartasura saya melihat Bunda Nurul Ummatun Kamal dan kedua anaknya (Dek Esa dan Dek Nalar) di halaman masjid. Saya lalu menghampiri beliau yang kelihatannya sedang istirahat setelah berolah raga pagi. Pak Andika masih jalan, kata Bunda.

Kami membicarakan banyak hal, mulai dari percakapan ringan tentang kehidupan sehari-hari sampai isu-isu kekinian. Kita masih kekurangan ilmu tentang gaya hidup sehat berdasarkan pandangan alam Islam (Islamic worldview), begitu kurang lebih kata Bunda. Saya lalu mengatakan kalau dua hari yang lalu saya dan Pak Andika juga membicarakan hal serupa. Saat itu beliau juga sedang rehat setelah jalan pagi di depan masjid.

Pembicaraan mengenai perlunya ilmu (dan teks) tentang gaya hidup sehat yang berlandaskan pada pandangan alam Islam meliputi pola makan dan minum, olah raga, istirahat, dan yang serupa itu. Tentu saja kesemuanya tidak hanya harus sesuai dengan turots ulama klasik, tetapi juga harus memperhatikan kondisi masyarakat manusia hari ini: alam dan masyarakat yang melingkupinya. Pertimbangan ini diperlukan karena pengkajian terhadap teks-teks klasik yang ditulis oleh para ulama terdahulu dengan segala kebesarannya, tetap saja terbatas konteks yang jauh berbeda dengan hari ini.

Apa yang dikatakan oleh Pak Andika dan Bunda Uum menurut saya sangat penting dan mendesak jika melihat gaya hidup masyarakat Indonesia (paling tidak masyarakat di sekitar Kartasura dan kampus saya) hari ini. Mulai saya masuk pada tahun 2017 hingga hari ini, terjadi perubahan besar dalam lingkungan alami dan buatan di Kartasura: sawah-sawah tergantikan dengan kafe-kafe, volume kendaraan meningkat, dan jumlah pedagang jajanan semakin banyak. Ketiga perubahan ini bisa kita generalisasikan menjadi dua masalah umum, yakni 1) meningkatnya daya konsumsi yang berdampak pada 2) meningkatnya potensi gangguan kesehatan.

Konsumerisme di kalangan manusia merupakan fenomena yang kompleks. Tapi karena keterbatasan ruang cukuplah saya sederhanakan persoalannya sebagai tingginya daya konsumsi mahasiswa yang tidak lagi berdasarkan pemenuhan kebutuhan, melainkan pemuasan keinginan. Fenomena mahasiswa yang mengerjakan tugas atau cuma nongkrong di kafe selain karena nyaman dan menyediakan makanan dan minuman yang enak, juga dapat meningkatkan status (citra?) sosial.

Kalau kita menanyakan fenomena menjamurnya kafe yang menggantikan sawah pada skala kebutuhan manusia, lebih butuh mana antara kopi atau beras? Tentu saja kebutuhan terhadap beras sebagai salah satu bahan pokok pangan lebih utama daripada kopi (dengan segala jenis minumannya) yang disediakan di kafe-kafe. Hal ini bukan berarti mahasiswa yang rajin ke kafe tidak lagi menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Mereka tetap makan nasi kok. Hanya saja kopi yang seharusnya menjadi kebutuhan lapis ketiga (tersier), dibuat seakan-akan menjadi kebutuhan lapis kedua (sekunder) bahkan lapis pertama (primer), kalau mau nongkrong ya di kafe, minum kopi, sambil menatap matahari terbenam di sore hari. Minum kopi lalu menjadi kebiasaan yang harus dipenuhi secara berkala 

Di sisi yang lain persoalan pengurangan lahan produksi pertanian jika dibawa ke lingkaran yang lebih besar maka bisa juga kita kaitkan dengan import beras yang terus dilakukan oleh pemerintah. Tapi bukan di sini tempatnya untuk membicarakan hal tersebut.

Selanjutnya dengan berkurangnya lahan hijau di dalam ruang kehidupan manusia. Belum lagi ditambah dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, menyebabkan kondisi udara semakin hari semakin tidak sehat. Dalam kondisi ini, manusia di luar tempat tinggalnya selalu menghirup udara kotor yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Selain tentang kualitas udara yang berkurang, manusia sebagai pengendara pengendara melakukan mobilisasi ruang kehidupan setiap hari tidak lagi melibatkan badan secara aktif. 

Di satu sisi kendaraan bermotor berhasil mengurangi waktu dan jarak dalam berpindah tempat, juga meminimalisir jumlah tenaga yang dikeluarkan. Namun di sisi yang lain badan semakin lama semakin sedikit geraknya, misalnya dengan kebiasaan berjalan kaki tidak lagi menjadi pilihan.

Problem terakhir ialah jumlah pedagang jajanan semakin banyak. Jajanan yang dijual di pinggir jalan itu praktis, murah dan enak, tapi seringkali tidak memenuhi standar kesehatan: gizinya tidak seimbang, minyaknya digunakan berkali-kali, serta banyaknya terpapar debu dan asap kendaraan. Apakah kekurangan-kekurangan ini menjadi perhatian dan bahan pertimbangan para pembeli dan penjual? Tentu saja tidak. 

Konsumsi jajanan secara rutin tentu saja tidak baik untuk kesehatan, terutama anak-anak. Dilansir oleh situs halodoc.com, beberapa dampak konsumsi jajanan bagi anak-anak seperti keracunan makanan, diare, tipes, kerusakan hati, hingga dapat memicu kanker karena pewarna, pemanis, dan pengawet buatan yang dikonsumsi terus menerus. Selain itu kekurangan gizi juga bisa terjadi karena bahan baku yang digunakan tidak segar dan pengolaannya tidak memperhatikan kualitas gizinya. Bahaya ini belum termasuk bahaya mengkonsumsi makanan cepat saji (junk food) yang sangat mudah diperoleh di lingkungan perkotaan.

Dalam kondisi inilah manusia hidup. Di satu waktu masalah Konsumerisme semakin hari semakin luas (terutama mahasiswa sebagai objek potensial untuk perluasan pasar) dan masalah kesehatan yang senantiasa mengintai kehidupan modern. Meskipun dikatakan kalau ilmu kedokteran yang semakin canggih turut meningkatkan angka harapan hidup manusia, akan tetapi ancaman akan kesehatan hidupnya juga semakin kompleks. Berbagai gangguan kesehatan semakin dekat dengan kita semua. Maka untuk menanggulangi hal tersebut, perhatian terhadap gaya hidup sehat dan wajar menjadi penting. Mengatur pola makan dengan gizi seimbang, memenuhi kebutuhan air putih, serta berolah raga secara rutin adalah upaya yang harus dilakukan secara rutin.

Beberapa upaya di atas dapat kita lakukan secara mandiri untuk menjaga pola hidup sehat. Pemahaman yang baik tentang hirarki prioritas kebutuhan hidup juga sangat penting, agar kita tidak terjebak pada tren populer saja. Untuk itu upaya yang lebih serius, terstruktur dan berkesinambungan perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan merumuskan ilmu kesehatan yang bernafaskan Islam tadi: bagaimana pola olah raga, pola makan dan minum,  pola istirahat dan sebagainya sesuai dengan ajaran Islam (bersifat universal dan melampaui zaman) dan ibrah dari kehidupan Rasulullah saw. (memiliki keterbatasan konteks masyarakat Arab 14 abad lalu tapi dapat menjadi inspirasi kehidupan hari ini). Wallahu a'lam.**

_____
*Mahasiswa PAI UM Surakarta, Pegiat SEED Institute
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis dengan judul Konsumerisme dan (impian) Hidup Sehat dengan hari Ahad, 30 Oktober 2022. 

Penyunting: Ferdi

Selasa, 25 Oktober 2022

MENYOAL TULISAN MUHAMAD BUKHARI MUSLIM “NON-MUSLIM JUGA BISA MASUK SURGA”

Sumber: unsplash

Oleh: Muhammad Ibnu Masngud*

Masuk surga harus Muslim dulu

Tulisan ini adalah tanggapan untuk sebuah artikel dengan judul Non-Muslim Juga Bisa Masuk Surga! yang ditulis oleh Muhamad Bukhari Muslim dan diterbitkan di website IBtimes pada tanggal 29 Maret 2021. Artikel tersebut kembali diangkat oleh akun instagram IBtimes pada tanggal 20 Oktober 2022 sehingga memancing kegaduhan netizen di kolom komentar, dari situlah saya mencoba untuk memberikan tanggapan yang sepadan dengan menulis artikel ini.

Artikel tersebut dibuka dengan menjelaskan pandangan umum ulama maupun orang awam yang menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan di akhirat. Penulis menyatakan "Tentu berpandangan seperti itu adalah hal yang sah-sah saja. Sebagaimana halnya juga akan sah jika ada yang memiliki pandangan yang berbeda dengan pendapat tersebut." Penulis mencoba memperkuat argumentasi dengan mengatakan bahwa "Pandangan dalam Islam tidaklah seragam. Pandangan dan pemikiran dalam Islam sifatnya warna-warni. Dan kesemua itu diridai dan direstui oleh Tuhan." Seolah dia telah mendapat 'verifikasi' dari Tuhan. 

Dari bagian awal tulisan tersebut nampak sangat jelas hegemoni worldview dan konsep-konsep Barat dalam kepala penulis, khususnya paham Relativisme yang menihilkan kebenaran mutlak dan Pluralisme Agama yang targetnya adalah memperkenalkan ide kesamaan semua agama. Salah satu upayanya dengan menjelaskan keselamatan Ahlul Kitab. Penulis lupa bahwa dalam Islam ada persoalan-persoalan yang masuk ranah ushuliyyah sehingga tidak memungkinkan adanya pertentangan pendapat. Berbeda dengan masalah furu’iyyah yang membuka pintu ijtihad sehingga memungkinkan terjadinya ikhtilaf. 

Masalah keselamatan ahlul kitab dan penganut agama lain adalah masalah ushuliyyah yang sifatnya tsawabit atau permanen dengan landasan yang qath’i atau mutlak. Untuk membenarkan judul tulisannya dikutiplah surat Al-Baqarah ayat 62 yang kemudian ditafsirkan dengan sangat tekstualis. Satu terma yang biasa digunakan untuk melabeli kelompok yang berbeda pandangan dengan kaum pluralis. Surat Al-Baqarah ayat 62 itu tidak ditafsirkan dengan melihat asbabun nuzulnya maupun dengan pendekatan historis. Inkonsisten! 

Dari ayat tersebut penulis menyimpulkan bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi'un akan diganjar surga oleh Allah dengan tiga syarat: beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat baik. Padahal ayat itu berkaitan dengan pertanyaan Salman Al-Farisi kepada Rasulullah Saw. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, dari Mujahid, Ibnu Abi Hatim mengatakan, Salman bercerita, "Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw, mengenai pemeluk suatu agama, yang aku pernah bersama mereka. Lalu aku kabarkan mengenai shalat dan ibadah mereka. Maka berkenaan dengan itu, turunlah firman Allah Swt", yakni Al-Baqarah ayat 62. Jadi ayat tersebut adalah jawaban untuk pertanyaan Salman tentang penganut agama yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah Saw.

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Allah tidak akan menerima suatu jalan atau amalan dari seseorang kecuali yang sesuai dengan syariat Muhammad Saw. setelah beliau diutus sebagai pembawa risalah. Sedangkan sebelum itu, maka semua orang yang mengikuti Rasul pada zamannya, mereka berada di atas petunjuk dan jalan keselamatan. Jikapun para pengikut nabi-nabi terdahulu masih hidup mereka akan mengikuti risalah Muhammad Saw., karena kitab-kitab terdahulu telah mengisyaratkan akan kedatangannya.

Buya Hamka dan Quraish Shihab

Di bagian selanjutnya Mas Bukhari yang "bukan perawi hadis" itu, mengutip pendapat beberapa tokoh untuk mencoba melegitimasi judul artikelnya. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Abdul Muqsith Ghazali, Muhammad Ali, Mun’im Sirry, Abdul Aziz Sachedina, Fazlur Rahman, Buya Hamka, dan M. Quraish Shihab. 

Untuk dua nama terakhir tentu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi otoritasnya sebagai mufassir. Namun nama-nama lainnya bagi saya keotoritasannya masih perlu dipertanyakan. Jika pembaca bisa memberikan keterangan tentang otoritas mereka dalam bidang tafsir silakan berkomentar.

Dalam tulisan itu dicantumkan sitiran dari Buya Hamka yang menyatakan bahwa surat Al-Baqarah ayat 62 itu tidak ter-mansukh-kan oleh ayat mana pun dan Quraish Shihab yang menyatakan, "Kita bersaudara, tidak perlu saling tegang. Surga itu luas, sehingga tidak perlu memonopoli surga hanya untuk diri sendiri." Seolah kedua tokoh tersebut mendukung ide Pluralisme Agama dan berpendapat bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga. Penulis tidak menjelaskan pendapat mereka secara utuh tentang hal ini. Jika karena kesengajaan maka ini adalah ketidakamanahan ilmiah. 

Buya Hamka sama sekali tidak pernah membenarkan paham Pluralisme Agama ataupun mengatakan bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga. Bahkan secara gamblang beliau menyatakan, "Orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama." Quraish Shihab menyatakan, "Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogratif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mudah dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama."

Abdul Muqsith Ghazali 

Dalam pernyataan tokoh-tokoh yang dikutip dalam tulisan tersebut juga terdapat beberapa kerancuan yang membingungkan. Penulis mengatakan, "Perkataan bahwa golongan-golongan dari Yahudi, dan Nasrani wajib mengimani Nabi Muhammad, menurut Muqsith, bukanlah perkataan Al-Qur’an. Melainkan perkataan para mufasir." 

Pertanyaannya bagaimana kita menempatkan sabda Nabi Saw, "Demi (Allah) yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang-pun dari umat ini yang pernah mendengarkan tentang aku, apakah ia seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian ia mati sebelum beriman dengan ajaran yang aku bawa, kecuali ia termasuk penghuni neraka" (Hadits Muslim no. 153). Lantas apakah perkataan para mufasir yang menolak surat Al-Baqarah ayat 62 sebagai dalil keselamatan bagi non-muslim semuanya salah, sedangkan Muqsith sendiri yang benar? Atau jangan-jangan perkataan Nabi yang sangat gamblang itu juga direlatifkan kebenarannya? 

Muhammad Ali

"Jika iya orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabi'un yang dimaksud pada ayat itu adalah orang-orang yang hidup sebelum datangnya nabi Muhammad, apakah itu berarti bahwa orang Islam yang juga dimaksud oleh Al-Quran hanyalah orang Islam yang hidup di zaman Nabi?. Jawabannya tentu tidak."

Dalam statement ini, ada kekacauan antara premis dan kesimpulannya. Karena dengan memahami bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabi'un yang dimaksud dalam ayat itu adalah mereka yang hidup sebelum Nabi diutus, sama sekali tidak membawa implikasi pemahaman bahwa orang Islam yang dimaksud dalam Al-Quran hanya mereka yang hidup di zaman Nabi. Keterputusan antara premis dan kesimpulan yang dibangun boleh jadi karena Muhammad Ali hanya menafsirkan ayat ini secara literal dan tidak melihat sisi historis ayat ini. Pertanyaan yang sangat tidak menohok.

Fazlur Rahman

"Yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah ketakwaannya. Takwa tidak identik dan terikat pada satu agama tertentu. Takwa bersifat universal. Sehingga ia dapat saja bertempat pada diri orang Islam, Kristen, Yahudi, ataupun Shabiun." Memisahkan takwa dengan agama berarti memisahkan takwa dengan keimanan. Padahal takwa adalah wujud atau manifestasi dari keimanan, dan keimanan adalah hasil dari ajaran agama. Yang pasti ajaran dan doktrin masing-masing agama berbeda secara fundamental. 

Menurut Ibnu Qayyim, takwa adalah amal ketaatan kepada Allah karena iman. Menurut Abdullah Nasih Ulwan, takwa adalah konsekunsi logis dari keimanan yang kokoh. Bahkan Fakhruddin ar-Razi malah mengartikan takwa itu sama dengan iman. Jadi takwa itu didahului iman dan iman bersumber dari ajaran agama. Memisahkan salah satu dari ketiganya adalah dikotomis dan sangat tidak logis.

Semua Agama adalah beda

Pada hakikatnya kaum pluralis tidak memiliki tolok ukur yang jelas untuk ide penyamaan agama-agama. Ujung-ujungnya mereka hanya akan mengatakan bahwa setiap agama sama-sama mengajarkan kebaikan, menuju Tuhan yang sama, atau dengan narasi-narasi semisal. Bahkan mereka sering kali mendekontruksi makna-makna yang permanen dari terma-terma dalam Al-Quran.

Seperti kata Allah yang mereka anggap bukan nama Tuhan, tetapi berasal dari kata Ilaha yang berarti Tuhan dan ditambahi huruf Alif dan Lam sehingga artinya menjadi Tuhan itu. Makna Islam juga direduksi menjadi sekedar berserah diri, sehingga sampai pada kesimpulan agama lain juga diterima Tuhan asalkan menyerahkan diri pada-Nya. Padahal Islam jelas sangat berbeda dengan agama-agama lain secara fundamental dari berbagai aspeknya.

Prof. Rasjidi memberikan contoh yang tegas mengenai perbedaan fundamental islam dengan yang lainnya dalam aspek sosiologis dan teologis. Dari aspek sosiologis misalnya dalam agama Hindu, pembagian derajat manusia dari yang tertinggi (Kasta Brahmana, meliputi kalangan ahli agama) sampai yang terendah (Kasta Sudra, meliputi rakyat jelata dan hamba sahaya). Tentu saja kasta Sudra dipandang sangat redah dan mereka tidak boleh bergaul selain kalangan mereka sendiri. Hal ini tentu berseberangan dengan konsep kesetaraan manusia dalam Islam dimana yang membedakan mereka di hadapan Allah hanyalah ketakwaannya. 

Dari aspek teologis yang paling jelas dan tidak pernah berubah mengenai doktrin keesaan Tuhan ini adalah agama Islam, sebagai termaktub dalam surat Al-Ikhlas ayat 1-3. Tauhid mendapat penegasan yang terang dalam Islam. Ini sangat bertentangan dengan agama Kristen yang melalui jalan cukup panjang untuk sampai kepada keyakinan mengenai Trinitas.

Surga bukan hanya luas, tapi sangat luas

Saya ingin mengatakan kepada para pembaca bahwa berbicara tentang surga dan neraka adalah tugas dan kewajiban kita. Dalam arti membahas bagaimana surga itu dapat diraih agar kita bisa sama-sama bergandengan tangan masuk ke dalamnya karena surga terlalu luas untuk dihuni sendiri. Yang salah adalah ketika kita menjustifikasi seseorang secara personal akan masuk ke dalam neraka dan menganggap diri pribadi adalah ahli surga yang tanpa dosa. 

Saya sepakat dengan Mas Bukhari bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga, namun dengan melewati jalan Islam. Tugas kita adalah menjadi muslim yang baik, karena non-muslim tidak membaca Al-Quran, namun mereka membaca kita sebagai cerminan Islam. Semoga saya, Muhammad Ibnu Masngud, dan saudara saya Muhamad Bukhari Muslim ditunjukan Allah pada jalan yang benar yang dimasukkan ke dalam surga-Nya.

La haula wala quwwata illa billah. Wallahu a’lam bishshawab.

Referensi

Al-Qur’an dan Hadits

Tafsir Ibnu Katsir/Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh; penerjemah, M. 

Abdul Ghoffar; pengedit isi, M. Yusuf Harun [et al.]; muraja’ah, tim Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008.

Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Minhaj: berislam dari Ritual hingga Intelektual. Jakarta: INSISTS

Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Misykat: refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSISTS-MIUMI.

H.M. Rasjidi. 1983. Empat Kuliyah Agama Islam Pada Pada Perguruan Tinggi. Jakarta: Bulan Bintang.

https://www.kuliahalislam.com/2022/04/non-muslim-juga-bisa-masuk-surga.html?m=1

https://ibtimes.id/non-muslim/


_____

*Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UMS, Kader PK IMM Shabran 2021

Penyunting: Ferdi

Senin, 24 Oktober 2022

BELAJAR ILMU SEJARAH DARI KUNTOWIJOYO

Sumber: koleksi penulis

Oleh:  dr. Iwan Mariono*

Saya harus selalu menyediakan bolpoin, penggaris, dan stabilo, setiap kali membaca buku pak Kunto. Itu artinya saya harus baca buku fisik (bukan buku digital), dan tentu saja buku saya sendiri, bukan buku pinjaman. Ada kepuasan yang tidak bisa dijelaskan. Selain itu, juga ini untuk arsip pribadi jika suatu saat nanti saya mau buka-buka lagi bukunya. 

Sampai sekarang saya baru bisa mengumpulkan 23 buku karangan Kuntowijoyo (masih ada beberapa judul yang belum saya dapatkan). Dan buku Pengantar Ilmu Sejarah ini adalah salah satunya yang baru saja saya khatamkan.

Dalam buku ini pak Kunto benar-benar seperti seorang filsuf sejarah yang memaparkan ilmu sejarah dari hal yang paling mendasar: apakah sejarah itu, gunanya, sejarah penulisan, sejarah sebagai ilmu dan seni, pendidikan sejarawan, penelitian sejarah, sejarah dan ilmu-ilmu sosial, kekuatan sejarah, generalisasi sejarah, kesalahan-kesalahan sejarawan, sejarah dan pembangunan, sampai dengan ramalan sejarah. 

Sekalipun tidak mengenyam pendidikan akademik formal sebagai sejarawan, orang yang membaca buku ini akan dibuat terpesona oleh profesi tersebut. Setidaknya, itulah yang saya rasakan setelah membacanya. Apalagi penulisan sejarah itu memang tidak mesti hanya dilakukan oleh sejarawan profesional, melainkan siapa pun boleh, sebagaimana dalam buku ini pak Kunto membagi sejarawan menjadi tiga kelompok: (1) sejarawan profesional, (2) sejarawan dari disiplin lain, dan (3) sejarawan dari masyarakat. Contoh sejarawan dari disiplin lain adalah seorang dokter yang menulis sejarah epidemi di tempatnya, sedangkan sejarawan dari masyarakat adalah para kiai, lurah, atau santri yang menulis sejarah pondoknya sendiri (h. 66).

Pak Kunto memulai buku ini dari bab 1 dengan memantik pertanyaan apakah sejarah itu serta istilah yang memakai kata sejarah. Beliau menulis, "Apa yang sudah terjadi atau sejarah itu dua macam, yaitu yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut juga sejarah objektif) dan yang terjadi sepengetahuan manusia (disebut juga sejarah subjektif)" (h. 2).

Pernyataan itu membuat saya teringat nasihat sejarawan Prof. Taufik Abdullah dalam salah satu acara seminar yang saya tonton di YouTube, beliau mengatakan tidak setuju dengan penggunaan istilah "meluruskan sejarah", silakan membuat tulisan sendiri kalau punya versi yang berbeda. 

Prinsipnya ada di metodologi, pekerjaan sejarawan adalah pekerjaan merekonstruksi. Mengenai metodologi, pak Kunto juga sudah membahasnya lebih detail dalam buku tersendiri berjudul Metodologi Sejarah. Jadi buku ini sebenarnya merupakan trilogi dari buku Pengantar Ilmu Sejarah yang beliau tulis. Satu buku lagi berjudul Penjelasan Sejarah, semuanya diterbitkan oleh penerbit Tiara Wacana. Kedua buku tersebut sedang proses saya khatamkan secara paralel. 

Jadi, sejarah memang punya sisi subjektif dalam penulisan, apa yang dianggap pemerintah Belanda sebagai pendudukan sebaliknya dianggap sebagai agresi bagi pemerintah Indonesia. Perang Jawa 1925-1930 akan dicatat sebagai pemberontakan oleh pemerintah Hindia Belanda, sebaliknya pengikut Pangeran Diponegoro akan mencatat hal tersebut sebagai perlawanan terhadap penjajahan Belanda. 

Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Sejak saat itu, penulisan sejarah lebih menekankan Indonesia-sentris dari yang sebelumnya Belanda-sentris. 

Masih di bab yang sama. Mungkin banyak di antara kita menganggap ilmu sejarah itu sama seperti ilmu sosial lainnya. Sekurang-kurangnya, kita tidak bisa membedakan apa batasan (epistemologi) antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. 

Dalam buku ini pak Kunto menjelaskan definisi itu secara gamblang bahwa sejarah ialah ilmu tentang manusia. Hal itu ditegaskannya saat menulis, "Peristiwa masa lalu itu sangat luas. Terjadinya alam semesta memang sudah berlalu, tetapi itu menjadi objek penelitian astronomi, bukan sejarah. Demikian pula pergeseran-pergeseran bumi di masa lalu merupakan pekerjaan geologi dan bukan sejarah. Jadi sejarah hanya bercerita tentang manusia. Akan tetapi juga bukan cerita tentang masa lalu manusia secara keseluruhan. Manusia yang berupa fosil menjadi objek penelitian antropologi ragawi dan bukan sejarah. Demikian juga benda-benda, yang meskipun itu perbuatan manusia juga, tetapi lebih menjadi pekerjaan arkeologi. Sejarah hanya mengurusi manusia masa kini. Ada persetujuan tidak tertulis antara arkeologi dan sejarah di Indonesia yang sampai sekarang pada umumnya masih berlaku. Sejarah akan meneliti peristiwa-peristiwa sesudah 1500" (h. 10).

Namun demikian dalam prosesnya, objek manusia itu juga menjadi kajian beberapa ilmu sosial lain seperti sosiologi, politik dan antropologi. Tentu latar belakang tulisan bisa menelisik waktu yang lebih jauh ke belakang. Sehingga seorang sejarawan yang baik dituntut untuk menguasai cabang ilmu-ilmu sosial lain. Mungkin itu pula sebabnya di awal Prakata buku ini pak Kunto menulis, "Bela diri tangan kosong itu boleh. Tapi menulis sejarah dengan otak kosong tidak demikian."

Selain itu, perbedaan lainnya adalah sejarah merupakan ilmu tentang waktu (diakronis) sementara ilmu-ilmu sosial lain melebar dalam ruang (sinkronis). Makanya dalam penulisan sejarah terdapat batasan waktu kronologis yang jelas, misal ketika bercerita tentang sejarah Pemberontakan Petani Banten 1888, atau Revolusi Indonesia (1945-1949). Batasan waktu inilah yang membedakannya dengan cabang ilmu lain. 

Demikianlah secuil ringkasan buku ini. Sebenarnyalah kalau kita baca sendiri, semua isinya terasa seperti ringkasan. Bab 11 mengenai Sejarah dan Pembangunan adalah bab yang paling saya sukai, dari pemaparan itu terasa sekali relevansi ilmu sejarah dalam kehidupan sehari-hari. Membaca buku ini membuat kita tidak hanya melek sejarah, tapi juga melek ilmu sejarah. "Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan mitos, dan yang sudah mengenal tulisan umumnya mengandalkan sejarah" (h. 17).**


_____
*Dokter Umum di RSUD Sukoharjo, Pengagum pemikiran Kuntowijoyo.
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Sabtu, 21 Oktober 2022. Untuk membacanya klik di sini.

Penyunting: Ferdi