Selasa, 22 Februari 2022

MENJADI WANITA MULIA DAN BERDAYA: CUKUP MENJADI MUSLIMAH SEUTUHNYA



Oleh : Nurul Aisy*

Dewasa ini, banyak kegiatan pemberdayaan wanita yang ingin menempatkan wanita sebagai sosok yang mampu berkiprah dalam segala bidang, dan kerap kali feminisme dianggap sebagai alternatif untuk mencapai tujuan tersebut. Paham feminisme sendiri membawa wacana kesetaraan gender dan isu diskriminasi terhadap perempuan yang seringkali dihembuskan agar perempuan dapat berperan di ranah publik.

Sangat disayangkan, banyak Muslimah yang ikut-ikutan mengimpor paham ini dalam melakukan kajian studi Islam. Mereka melakukan tata ulang dalam pemahaman teks-teks agama yang telah dilakukan oleh ulama’ klasik maupun kontemporer. Sehingga, tidak sedikit aktivis feminis yang menuduh fiqh dan ketetapan ulama’ sebagai penyebab utama ketidakadilan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Lantas, bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim dalam menyikapi paham ini? Apakah untuk menjadi wanita yang mulia dan berdaya harus mengikuti paham ini?

Kesetaraan Gender : dalam Prakteknya Digaungkan oleh Feminis

Membahas mengenai feminisme, tidak akan lepas dari isu kesetaraan gender. Jika diketahui sex konotasinya bersifat natural dan given karena mengandung ciri-ciri biologis, gender yang meski sama-sama diartikan jenis kelamin berkonotasi kebiasaan atau ciri-ciri yang merupakan konstruksi sosial (social and cultural construction). Adapun feminisme sendiri merupakan sebuah gerakan sosial, politik maupun ideologi. Tujuannya untuk membangun dan mencapai kesetaraan gender dalam segala aspek, baik itu dalam politik, ekonomi, ranah pribadi hingga kehidupan sosial.

Asumsi dasar dari kesetaraan gender dibawa oleh feminisme dan berangkat dari teori nurture, yang berisi anggapan bahwa perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan perbedaan biologis namun karena konstruksi sosial. Konsep gender sendiri disosialisasikan kepada masyarakat dalam program Pengarusutamaan Gender (PUG). Pengarusutamaan gender merupakan salah satu program pemaksaan konsep dan ideologi gender yang masih kontroversial ke dalam seluruh lini kehidupan.

Memasuki gelombang keempat pengarusutamaan gender, diskursus ini telah masuk sebagai pendekatan dalam studi agama. Para pengkaji agama berusaha untuk membuktikan besarnya perhatian agama terhadap persoalan gender serta solusinya terhadap persoalan tersebut. Namun, penafsiran terhadap nash-nash agama tidak terlepas dari nilai-nilai postmodern, yang menjunjung tinggi relativitas, pluralitas, rekonstruksi dan dekonstruksi. Sehingga tidak mengherankan manakala seringkali dijumpai wacana menggugat syariat, seperti penafian kewajiban memakai kerudung, pembolehan wanita menjadi imam dan khatib, penyetaraan hak waris, dan penafian poligami.

Wanita dalam Peradaban Islam

Dalam sejarah peradaban manusia, banyak sekali pandangan yang merendahkan kaum wanita. Di Peradaban Yunani, Plato dengan teorinya menjadikan wanita sebagai kepemilikan bersama seluruh prajurit. Dalam ajaran Yahudi, perempuan dianggap pembantu rumah yang tidak mendapatkan hak waris bila suaminya meninggal. Selanjutnya dalam ajaran Nasrani, perempuan dianggap hanya merupakan senjata iblis dalam menyesatkan manusia. 

Sejak zaman Plato, Aristoteles hingga tokoh-tokoh di abad pertengahan dan modern, seperti St Agustinus John Locke, St Clement dari Alexandria, Nietzsche, Rousseau, dan semuanya seolah bermufakat, bahwa wanita adalah makhluk hina-dina, dan merupakan biang kerok segala permasalahan. Dikarenakan hal tersebut, saat ini para pengusung kesetaraan gender tampaknya ingin keluar dari problematika gender yang mereka anggap seolah-olah membelenggu takdir seorang perempuan.

Berbeda sekali dengan Islam. Kiprah muslimah dalam membangun peradaban manusia sangat besar. Sejak zaman kenabian Rasulullah Muhammad SAW, sudah banyak muslimah yang telah berkontribusi besar untuk umat manusia, utamanya dalam bidang pendidikan. Wahyu pertama iqra’ sebagai dasar pendidikan merupakan sebuah perintah yang universal, baik untuk laki-laki dan perempuan.

Sebut saja beberapa tokoh muslimah diantaranya adalah Rufaidah binti Sa’ad Al-Anshari, yang merupakan muslimah perawat pertama yang sangat terampil dalam bidang pengobatan, dan tercatat sebagai pemilik tenda perawatan pertama dalam sejarah Islam. Juga nama-nama lain yang sangat banyak jumlahnya, diantaranya seluruh Ummahatul Mukminin, Ummu Waraqah Al-Anshariyah, Jamilah binti Saad bin Rabi, Lubna, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh tersebut tidak harus menjadi feminis dan tidak perlu teriak kesetaraan gender untuk dapat berkiprah dan bermanfaat bagi umat manusia.

Jadi, apakah seorang Muslimah harus mengikuti gerakan ini untuk menjadi mulia dan berdaya? Jawabannya tidak. Seorang muslimah sudah menjadi mulia dan berdaya dengan menjalankan kewajibannya terhadap Allah, keluarga, dan masyarakat. Dalam Islam, wanita telah menempati kedudukan yang mulia by default. Kemuliaan ini ditunjukkan dari perannya yang begitu penting dalam membangun masyarakat; yang apabila perempuan baik, maka akan baik suatu negara, begitu juga dengan sebaliknya. Seorang wanita muslimah sebagai anak/istri/ibu/saudari/hamba Allah, telah dilekati oleh kemuliaan yang tak mungkin lepas darinya, sehingga tak perlu repot-repot mengusung ide kesetaraan gender. 

Ajaran Islam dengan kemuliaannya telah memberikan keadilan, baik untuk laki-laki dan perempuan. Framework dan worldview masing-masinglah yang kemudian harus digunakan untuk mengoptimalkan akal sehat, sehingga jangan sampai seperti iblis yang percaya kepada Tuhan saja namun tidak mau taat.

Benarlah yang dikatakan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi mengenai paham ini bahwa “Feminisme adalah gerakan nafsu amarah. Pemicunya adalah penindasan dan ketidakadilan. Objeknya adalah laki-laki, konstruksi sosial, politik, dan ekonomi. Ketika diimpor ke negeri ini, ia berwajah gerakan pemberdayaan wanita. Bagus, tapi nilai, prinsip, ide dan konsep gerakannya masih orisinil Barat. Buktinya nafsu amarah lesbianisme ikut diimpor dan dijual bagai keniscayaan, dibela dengan penuh kepercayaan, dan dijustifikasi dengan ayat-ayat keagamaan, bangunan konseptualnya berwajah liberal, radikal, marxis, dan terkadang posmo.”Wallahu A’lam.

----

*Mahasiswi Universitas Darussalam Gontor, Pegiat SEED Institute 

Editor : Alfrisa Ica

Selasa, 15 Februari 2022

BENTURAN PENGETAHUAN DI WADAS

 


Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Konflik antara pemerintah dan masyarakat di Wadas yang dilatarbelakangi rencana alih fungsi lahan menjadi tambang batu Andesit untuk pembangunan Bendungan Bener yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), ditanggapi oleh berbagai pihak, termasuk dari kalangan anggota dewan dan partai politik dengan mendesak pemerintah melakukan kajian AMDAL sebelum dilanjutkannya rencana tersebut. Harapannya agar proyek yang akan direalisasikan tidak merugikan masyarakat setempat dengan rusaknya lingkungan kehidupan mereka.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan penerapan ilmu pengetahuan modern untuk memanfaatkan secara optimal nilai ekonomi suatu tempat dengan seminimal mungkin dampak buruk terhadap lingkungan setempat. Inilah yang dituntut untuk dilakukan pemerintah, dan nanti setelah dilakukan kemudian hasilnya disetujui, kajian AMDAL akan digunakan untuk menyerang balik masyarakat Wadas. Ruang penolakan terhadap penambangan di Wadas ditutup paksa dengan legitimasi hasil kajian yang disahkan secara politis.

Sementara itu masyarakat Wadas memahami dan memanfaatkan lingkungan hidupnya bukan dengan nalar sains modern. Saya mengetahui ini setelah menyimak video dokumenter yang memuat kesaksian dan narasi dari masyarakat Wadas. Kita mudah saja mengatakan dalam perspektif oposisi biner bahwa mereka menggunakan nalar pengetahuan tradisional yang tentu saja tidak canggih, sehingga kedudukan jauh di bawah sains modern.

Kedua belah pihak menggunakan nalar pengetahuan yang berbeda untuk memahami ruang Wadas. Kajian AMDAL toh kalau pun dilakukan, memandang alam sebagai objek belaka, tidak lebih sebagai benda mati yang bernilai ekonomi. Sementara masyarakat Wadas memandang ruang kehidupan mereka bagaikan ibu yang selalu memberi, mencukupi, dan menjaga keberlangsungan hidup mereka bergenerasi. "Tidak apa-apa tidak kaya, hidup secukupnya, yang penting berkelanjutan", begitu seingat saya penggalan cerita salah seorang warga Wadas di dalam tayangan dokumenter.

Dengan demikian, yang terjadi di Wadas selain konflik pemertahanan ruang kehidupan oleh masyarakat setempat yang sedang direbut paksa atas nama kepentingan nasional, adalah benturan pengetahuan (class of knowledge) yang masing-masingnya berasaskan pada pandangan-alam yang saling berbeda secara fundamental dan diametral. Dalam benturan ini, kajian AMDAL oleh pemerintah yang menerapkan nalar sains modern menempati posisi superior sebagai Narasi Besar, meminjam istilah yang digunakan Lyotard, karena merujuk pada kepustakaan yang dinilai universal dan seperangkat standar yang telah teruji di banyak tempat serta pendekatan yang kuantitatif untuk memberikan jaminan kepastian dan ketepatan, dibandingkan pengetahuan 'tradisional' dan lokal masyarakat Wadas yang disampaikan dari generasi ke generasi secara oral dengan pendekatan kualitatif, sehingga mudah dinilai sarat subjektivitas dan ketidakpastian.

Desakan harus dilakukan agar pemerintah, anggota dewan, dan para ahli mengakui eksistensi dan keilmiahan pengetahuan masyarakat Wadas dengan melibatkannya sebagai referensi utama, bahkan satu-satunya, dalam kajian AMDAL. Narasi Besar harus dibongkar untuk menyediakan ruang bagi narasi-narasi yang lain. Pengakuan terhadap pengetahuan masyarakat Wadas adalah langkah awal untuk menggagalkan segala bentuk perampasan dan eksploitasi terhadap ruang kehidupan mereka. Knowledge is power, yang seringkali dilekatkan pada sosok Francis Bacon, harus dimaknai dalam konteks ini. Pengetahuan yang benar ialah yang membebaskan!

----

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Editor : Alfrisa Ica

Jumat, 11 Februari 2022

MASJID SEBAGAI BENTENG DI TENGAH KONFLIK

 




Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Dalam potongan video dan reportase berbagai portal media online yang memperlihatkan serta mengabarkan tentang kepungan aparat kepolisian terhadap para warga Desa Wadas yang sedang melangsungkan doa bersama di dalam masjid, telah menjadi pengingat bagi kita semua perihal salah satu peran masjid untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat pada saat terjadinya konflik yang membahayakan jiwa.

Peran masjid tersebut dapat ditelusuri pada kebijakan sekaligus teladan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menjamin keselamatan warga yang berlindung di dalam Masjidil Haram saat terjadinya peristiwa Fathu Makkah. Bisa jadi teladan inilah yang menginspirasi umat Islam beretnis Bugis yang memasuki Bali dari arah Pulau Serangan sekitar abad 17 masehi dan kemudian menjadikan masjid di permukiman mereka di Desa Muslim Soko Tabanan Bali sebagai benteng pertahanan terakhir dari serangan musuh.

Untuk menjadikannya sebagai benteng pertahanan, masyarakat Muslim Soko membangun masjid di tempat tertinggi di area permukimannya, sehingga masjid dapat difungsikan sebagai area untuk mengawasi kedatangan musuh sekaligus posisinya yang tinggi dapat menghambat musuh menguasai permukiman dengan terus melakukan perlawanan melalui tembakan anak panah dari halaman masjid. Keberanian terhadap musuh sekaligus kepasrahan kepada Tuhan adalah kunci kemenangan ketika berlindung di masjid, begitu pernyataan salah seorang tokoh Muslim Soko saat saya wawancarai.

Memang para warga Wadas yang berlindung di masjid tidak dapat melakukan perlawanan di tengah kepungan aparat huru hara bersenjata lengkap, karena masjid dan masyarakat Muslim pada hari ini memang tidak didesain dan disiapkan untuk menghadapi situasi konflik, sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyelenggarakan latihan gulat dan tombak di masjid. Seharusnya penikaman terhadap Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika mengimami shalat dan wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib di pintu masjid menggugah kesadaran spasial kita perihal syarat keamanan masjid sebagai benteng perlindungan dan pertahanan.

Di tengah cengkraman Oligarki dan pemodal culas yang selalu berupaya menguasai setiap jengkal tanah kehidupan di Indonesia untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan merenggut kehormatan warganya, masjid harus kembali memenuhi perannya sebagai benteng. Masjid harus dibangun dengan kokoh dan mampu memberi perlindungan optimal bagi masyarakat Muslim yang berlindung di dalamnya sambil berdzikir dan merapatkan barisan.

Dari konflik yang terjadi di Desa Wadas, muncul salah satu pertanyaan tentang efektivitas masjid sebagai benteng. Bagaimana strategi yang harus diterapkan agar masyarakat yang menjadikan masjid sebagai benteng mendapatkan kemenangan?

Sehingga untuk merealisasikan masjid sebagai benteng dan memperoleh kemenangan, maka harus dipenuhi 3 syarat. Pertama, kehandalan Sumber Daya Manusia (SDM)  umat Islam dalam melakukan perlindungan dan perlawanan jika terjadi konflik. Diantaranya harus dimasifkan gerakan olahraga beladiri di masjid, seperti tapak suci dan panahan, maupun kemampuan komunikasi beserta ilmu pendukungnya, seperti ilmu hukum, untuk melangsungkan negosiasi dalam rangka mengakhiri konflik dengan tercapainya kesepakatan bersama.

Kedua, kehandalan arsitektur masjid di antaranya akses yang mudah diawasi dan bangunan masjid yang kokoh. Minaret atau atap masjid dapat pula difungsikan untuk melakukan pengawasan, pengarahan, hingga komunikasi dengan pihak di luar masjid. Jangan sampai masjid dibangun dengan struktur seadanya, dinding yang mudah dirobohkan, serta atap yang mudah dibakar.

Ketiga, inilah yang hendak saya ulas khusus dalam tulisan ini, yakni jejaring masjid yang dilandasi konsep Ummah sebagai konsekuensi kesatuan umat Islam yang diibaratkan satu tubuh. Jejaring masjid menghubungkan dan menyatukan antar masjid, dengan memfungsikan masjid jami' skala kota sebagai koordinator dan forum ukhuwah bagi masjid permukiman di wilayahnya. Tipologi kewilayahan dan sosiologis masjid yang sederhana tersebut, yakni terdiri dari masjid jami' dan masjid permukiman, kini tidak relevan lagi seiring kemunculan masjid kantor, masjid sekolah, dan masjid kampus yang semakin menuntut kemampuan masjid jami' untuk menjalin tali jejaring masjid.

Antar masjid permukiman saling terhubung melalui masjid jami' yang didukung oleh masjid perkantoran, masjid sekolah, dan masjid kampus sebagai sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Dengan begitu, jejaring masjid dapat meningkatkan efektivitas masjid sebagai benteng bagi masyarakatnya yang sedang terlibat konflik. Misal saja, masyarakat yang berlindung di masjid Wadas akan dapat melakukan perlawanan dengan mengerahkan jejaring masjid yang akan menggerakkan masjid-masjid lainnya untuk mendukung masjid Wadas dengan seluruh potensi umat yang tersedia. Masyarakat yang berlindung di masjid Wadas tidak akan sendirian.

Tentu saja realisasi jejaring masjid tidaklah mudah karena melibatkan seluruh unsur umat Islam dengan beragam latar paham keagamaan, sehingga mau tidak mau persoalan ini menjadi tanggung jawab berbagai ormas Islam di Indonesia, DMI, dan MUI untuk menyelesaikannya. Kita sedang mengalami kondisi krisis yang menjadikan jejaring masjid semakin urgent untuk direalisasikan. Hidup di alam demokrasi, jejaring masjid merupakan bagian dari civil society yang oleh Benjamin Barber; penulis buku Jihad vs McWorld, merupakan satu-satunya penyeimbang kelas pemodal culas yang seringkali melakukan persekongkolan jahat dengan politikus.

Telah berlalu Wadas-wadas sebelumnya dan entah kapan giliran kita mengalami; dikepung dan direbut paksa ruang hidup di mana kita lahir, tumbuh besar, dan membina kehidupan. Ingatlah pesan Sidi Gazalba, hanya masjid yang mampu menyatukan umat Islam. Jika kita tidak mampu bersatu melalui jejaring masjid, maka jadilah umat ini bagaikan buih, banyak tetapi tak memiliki taji! Hari ini Wadas, bisa jadi esok hari permukiman Anda diukur dan dikepung. Lalu kemana lagi Anda berlindung?!

 

 ----

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

 Editor : Alfrisa Ica

 

Minggu, 06 Februari 2022

MAU GILA BACA? BACA INI!

 



Oleh : Alfrisa Renuat*

 

"Pikiran-pikiran yang gemilang yang pernah ditelurkan oleh para intelektual dunia hanya bisa terlahir dari pembacaan yang kemudian melahirkan berbagai macam tulisan." (2021: 11)

Tidak akan pernah kita temui, penulis  handal yang tidak membaca. Begitu juga sebaliknya, pembaca yang ulung tidak terlepas dari kegiatan menulis. Kegiatan membaca dan menulis merupakan 2 aktivitas yang tidak bisa lepas dari kehidupan para intelektual. Membaca adalah aktivitas mulia yang seharusnya menjadi budaya di tengah masyarakat,  yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Kegiatan membaca dan menulis bukan hanya untuk memuaskan intelektual belaka, namun dengan proses membaca dan menulis bisa kita jadikan sebagai  jalan untuk membangun sebuah peradaban yang gemilang.

Membaca merupakan hal pertama yang diperintahkan kepada Rasulullah saw. Bahkan Allah swt mengatakan kepada Rasulullah untuk tidak meminta tambahan kecuali dalam hal ilmu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surah Toha ayat 114 " duhai tuhanku tambahkanlah kepadaku ilmu". Selain itu melalui hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, no 2699 menjelaskan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, dan barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.

Kekhususan membaca dan menulis dinilai sebagai aktivitas mulia dan banyak memberikan manfaat bagi siapa saja yang menempuh jalan ini. Jika kita sering mendengar bahwa buku adalah jendela dunia, dan dengan membaca kita dapat mengetahuinya. Maka setelah membaca buku "Agar Kita Gila Membaca dan Menulis" bisa saya katakan bahwa proses membaca dan menulis adalah jalan untuk mengenal Tuhan, Jalan untuk menjadikan hidup lebih bermakna , dan Kunci untuk membangun sebuah peradaban.

Jika membaca dan menulis merupakan gerbang utama yang harus dilalui penuntut Ilmu sebagai kontributor peradaban, maka setiap hal-hal yang menjadikan kita sulit untuk menjalankan kedua aktifitas ini harus kita hilangkan, namun bagaimana caranya?

Dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Nuruddin yang istimewah ini, penulis menjelaskan bahwa agar kita bisa "gila" dalam membaca, yang pertama yang harus kita lakukan adalah menciptakan lingkungan yang dapat mengantarkan kita untuk mulai membaca. Ada ungkapan orang bijak yang mengatakan bahwa manusia itu adalah anak lingkungan (al-Insan Ibnu al-Biah) yakni karakter, kepribadian, mentalitas, hobi dan kesukaan manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Sehingga untuk menciptakan lingkungan ini, bisa kita mulai dengan menyediakan buku buku di kamar kita atau saat kita keluar rumah sebisa mungkin untuk membawa satu buku, agar ketika ada kesempatan waktu senggang bisa kita gunakan untuk membaca. Jadi jika anda ingin cinta pada ilmu, carilah lingkungan yang bisa menumbuhkan rasa cinta itu.

Lantas, jika kita sudah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membaca, bagaimana cara agar kita dapat membaca buku dengan baik?. Lagi-lagi buku ini membawa kita agar benar-benar "gila" dalam aktivitas keilmuan ini. Cara membaca dan memahami buku dengan baik dijelaskan melalui kisah-kisah ulama terdahulu. Misalnya Abbas Mahmud al-'Aqqad, pemikir besar Mesir yang mengatakan bahwa , "membaca satu buku tiga kali itu jauh lebih baik ketimbang membaca tiga buku satu kali". Hal lain juga dicontohkan oleh Ibnu Sina yang membaca buku Ma Ba'da at-Thabi'ah milik Aristoteles, sebanyak 40 kali. Sehingga pembacaan yang baik adalah pembacaan yang mendalam terhadap poin-point penting dalam sebuah buku yang dibaca secara berulang.

Setelah kita dapat membaca buku dengan baik, cara selanjutnya yang ditawarkan penulis dalam buku ini untuk mematangkan hasil bacaan kita adalah dengan jalan menulis. Tulislah apapun yang anda pikirkan, setelah itu diskusikan dengan teman anda, serta jadikanlah aktivitas menulis sebagai kebutuhan hidup, sehingga jika sekali saja anda meninggalkan aktivitas ini, maka anda aan merasakan ada yg kurang dari diri anda.

Adapun aktivitas membaca dan menulis telah mengabadikan sosok-sosok yang hidup ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu namun nama-nama mereka masih saja terdengar ditelinga kita, masih ada dalam pembacaan kita melalui kitab-kitab yang mereka tulis. Sebut saja Imam Nawawi, Imam Ghazali, Imam Syafi'i dan Jamaluddin al Qasimi, yang menghabiskan kehidupan mereka dengan jalan ibadah dan keilmuan.

Buku yang sangat recommended untuk dibaca ini menyadarkan kita  bahwa umur kita tidak lebih dari 100 tahun, kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa ta'ala, namun dengan jalan menulis dan membaca kita bisa diingat sampai ratusan tahun bahkan ribuan tahun. "Menulislah dengan begitu hasil kerja kalian akan melampaui zaman" ungkap gurunda kami Pak Andika Saputra.

Identitas buku

Judul : Panduan Praktis Agar Kita Gila Membaca & Menulis

Penulis : Muhammad Nuruddin

Penerbit. : Keira

Tahun terbit. :  Desember, 2021

Jumlah halaman : 148


 ----

*Mahasiswi Ilmu Komunikasi UMS, Pegiat SEED Institute

Jumat, 04 Februari 2022

MERAHNYA LAMPION DAN SURAMNYA KERATON

 

Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc*

Pada pekan lalu terhitung tiga kali saya sekeluarga melewati area Pasar Gedhe. Pertama pada hari Jumat dalam rangka keliling kota malam hari yang telah menjadi kegiatan rutin keluarga kami paling tidak sepekan sekali. Lampion telah terpasang, tetapi belum dihidupkan. Walau demikian sudah terlihat keramaian berfoto di depan Gedung Walikota, tempat terpasangnya patung singa dengan lampion memenuhi pohon bagaikan buah yang telah masak dan siap dipetik.

Sehari setelahnya, yakni hari Sabtu, selepas Maghrib kami kembali melewati area Pasar Gedhe menuju rumah sepulang dari Islamic Center Karanganyar. Lampion telah dihidupkan dan arus lalu lintas masih terbilang lancar. Karena antusiasme Esa dan Nalar, kami memutari area terpasangnya lampion sebanyak 2 kali. Terlihat area di depan Gedung Walikota lebih sepi dibandingkan sehari sebelumnya. Bisa jadi karena hujan yang mengguyur Solo dan sekitarnya sejak waktu Ashar.

Ketiga kalinya kami mengunjungi area yang sama pada hari Senin yang lalu. Kami tidak sekedar lewat, kali ini kami memarkir kendaraan di area Pasar Gedhe kemudian berjalan kaki menuju Gedung Walikota. Lalu lintas lancar dan kondisi cenderung sepi pada waktu Ashar, sehingga kami dapat merasakan suasana pasar dengan santai sambil jalan-jalan sore. Antrian berfoto di depan patung singa pun terbilang singkat. Hanya menunggu 2 sampai 3 orang, kami bisa berfoto dengan lapang.

Kami memiliki tujuan edukasi melakukan perjalanan ketiga teruntuk Esa dan Nalar. Pertama, kami hendak membentuk kesadaran keduanya bahwasanya salah satu ciri khas kehidupan kota ialah pluralitas yang mau tidak mau harus diakui keberadaannya sebagai fakta kultural, sosiologis, dan keagamaan. Kedua, untuk memberikan pengalaman spasial yang kaya kepada Esa dan Nalar. Untuk itu kami mengajak keduanya mengunjungi dan berkegiatan di berbagai ruang di kota tempatnya hidup dan membina kehidupan. Dari pusat kota, sampai pinggiran. Dari area untuk golongan kaya, sampai area kalangan tunawisma. Dari basis perjuangan Islam sampai kantung komunitas lain. Dari masjid sampai vihara.

Dengan kedua poin ini kami berharap kelak ketika telah balig, Esa dan Nalar dapat menyikapi perbedaan dengan benar. Hidup bersama dengan toleran secara alamiah, prateori, dan jauh dari artifisialitas berdasar abstraksi serampangan para kacung pengejar dana negeri seberang maupun para pandir pengejar jabatan.

Tiga kali kami melewati dan mengunjungi area Pasar Gedhe dalam suasana Imlek, saya selalu memutar kendaraan di depan gapura Keraton Surakarta sambil mengarahkan perhatian Esa untuk melihat ke arah keraton yang gelap. Bahkan dalam perayaan Sekaten yang berpusat di Masjid Gedhe, walaupun ramai pengunjung, tak mampu menghilangkan kesan singup (baca: angker, red.) area keraton. Belum lagi ditambah dengan tidak terawatnya bangunan dan koleksi keraton serta konflik internal keraton semakin meminggirkan area ini jauh ke belakang.

Wibawa keraton telah hilang. Perjuangan Islam telah menjadi sejarah masa lalu yang terus dituturkan dengan pelan. Kebudayaan dan spiritualitas Islam tinggal sebatas ritual harian, bulanan, dan tahunan. Sementara itu Pasar Gedhe terus meningkatkan denyutnya hingga sepanjang hari dengan menyandang identitas Ora Sare. Terlebih menjelang Imlek, cahaya lampion merah menekuk habis kejayaan peradaban para raja dan abdi dalem. Hanya perlintasan kereta wisata yang masih memalingkan perhatian para pelintas jalan untuk mengarahkan mata ke arah gapura yang tertutupi pohon tinggi menjulang.

Inilah pesan yang hendak saya sampaikan kepada Esa dan Nalar. Kehidupan urban memang plural. Tetapi di balik itu terus berlangsung perebutan ruang dan identitas untuk meneguhkan pemilik sah ruang kehidupan yang tidak harus dari kalangan mayoritas warga urban. Perletakan patung singa di depan Gedung Walikota menjadi medan tafsir yang terang benderang, sebab suasana meriah penuh kemenangan tidak pernah ditampilkan di tempat yang sama pada masa perayaan Idul Fitri, Natal, maupun selainnya.

Entah seperti apa kondisi dan narasi spasial kota Solo ke depan. Pasar Klewer pasca terbakar dengan bangunan yang tambun dan gapura yang baru saja selesai dipugar seperti menjadi secercah harapan untuk mengembalikan Solo pada rahim kelahiran ketika perpindahan kerajaan dari Kartasura diikuti perpindahan pasar yang menjadi pusat bagi komunitas Tionghoa. Tentu masih ada dua nama yang harus disebutkan, yakni Kauman dan Laweyan, yang seyogyanya menjadi perhatian umat Islam untuk menumbuhkan sensitivitas ruang dalam rangka mewujudkan kota sebagai ruang kehidupan bersama yang tercurahkan rahmat dari Tuhan.

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Senin, 3 Februari 2022.

 ----

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

 

Kamis, 03 Februari 2022

KETIDAKUTUHAN PAHAM AGAMA KEMANUSIAAN

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Tulisan ini merupakan tanggapan untuk esai Wahyu Nugroho yang berjudul, "Agama Kemanusiaan". Esainya telah diterbitkan di media online Kalimahsawa.id pada 28 Januari 2022. Terdapat beberapa poin yang menurut saya tidak tepat dalam tulisannya tersebut. Semoga Mas Nugroho mampu memposisikan tanggapan ini secara proporsional, sebagaimana pepatah Arab, "setiap kepala berbeda pemikiran".

Pluralisme Agama

Dalam esainya Mas Nugroho menyatakan, "Apabila seseorang hanya menganggap agama yang dianutnya hanya sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai surga dengan merendahkan agama lainnya sebagai agama yang salah dan sesat, maka pemikiran dikotomi akan terus berkembang dalam dirinya bahkan sampai ke anak cucunya" (p. 14).

Menurut Mas Nugroho, tidak seorangpun boleh mengklaim agamanya sebagai satu-satunya yang benar, karena itu menunjukkan pandangan yang eksklusif. Harusnya setiap pemeluk agama memegang teguh "nilai-nilai kemanusiaan tanpa batas" dalam praktik keagamaannya. Kemanusiaan bersifat universal dan "Inilah ajaran agama sejatinya" (p. 12).

Pandangan Mas Nugroho ini nampaknya sangat terinspirasi oleh paham Pluralisme Agama. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai berikut: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga (Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005).

Menurut Saraswati, "Pluralisme Agama menjadi bagian fenomena sosial-kultural yang terbentuk karena adanya fenomena lahiriah dari berbagai agama yang tampak berbeda, namun pada dasarnya bersama-sama menuju titik temu (common platform) yang sama. Common platform tersebut adalah sikap kemanusiaan yang universal" (Saraswati, 2013: 190).

Semuanya berkesempatan mempraktikkan kebenaran dan memperoleh keselamatan dengan mempraktikkan semangat compassion (cinta kasih karena menanggung nasib yang sama) (Saraswati, 2013: 197-198).

Paham Pluralisme Agama sendiri telah ditetapkan sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram umat Muslim menganutnya. Tiga di antara landasan fatwa tersebut yaitu: 1) QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam..."; 2) QS. Ali Imran ayat 85 yang artinya, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi";

Dan 3) Hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, "Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka" (HR. Muslim no. 218).

Apakah klaim kebenaran Islam dari Allah swt. dan Rasul-Nya juga termasuk sikap eksklusif, egois, dan merendahkan yang berimplikasi pada paham dikotomik yang telah diwariskan sampai hari ini?

Mengenai sikap kita terhadap pemeluk agama lain telah ditetapkan dalam Fatwa MUI, bahwa "Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan."

Dalam urusan akidah (vertikal), sebagai seorang Muslim, Islamlah yang benar menurut saya. Juga sebagai seorang Muslim, dalam urusan muamalah (horisontal) Islam mengajarkan manusia yang paling baik adalah yang bermanfaat bagi manusia dan alam. Jangan dicampuradukkan!

Terjebak dalam dikotomi

Ketika mengkhawatirkan adanya pemikiran dikotomik dalam klaim kebenaran agama, nampaknya Mas Nugroho sendiri sudah terjebak dalam dikotomi. Lah kok iso?

Dikotomi ini sudah terlihat di judul esainya, Agama Kemanusiaan (berpusat pada manusia) yang secara tidak langsung membedakannya dengan agama ketuhanan (berpusat pada Tuhan). Mengenai agama itu sendiri sayangnya Mas Nugroho hanya berkata, “…di karenakan ini menyangkut soal agama yang sudah pasti para pembaca punya pemahaman masing-masing…” (p. 1).

Bahkan Mas Nugroho sampai pada kesimpulan, "Apabila seorang Voltaire mengatakan jika bersangkutan dengan uang, semua orang termasuk ke dalam agama yang sama, maka penulis akan mengatakan jika bersangkutan dengan kemanusiaan, semua orang termasuk ke dalam agama yang sama" (p. 10).

Apakah jika bersangkutan dengan uang semua orang termasuk ke dalam agama keuangan? Lalu yang sama dalam agama itu akidahnya, ibadahnya, muamalahnya, atau apanya?

Setidaknya saya yakin agama yang dimaksud Mas Nugroho bukanlah agama sebagai buatan manusia, yang "muncul dari hasrat manusia untuk membentuk sesuatu yang dapat memenuhi ruang kosong dalam dirinya" (Saraswati, 2013: 194). Bukan begitu Mas Nugroho?

Dikotomi kemanusiaan dan ketuhanan ini sebenarnya telah dicarikan jalan keluar oleh Kuntowijoyo. Salah satunya adalah dengan Sastra Profetik, yaitu sastra yang merupakan ekspresi dari penghayatan nilai-nilai Islam sekaligus potret realitas objektif dan universal, yang tujuannya adalah menggugah kesadaran kemanusiaan cum kesadaran ketuhanan (Kuntowijoyo, 2019: 1).

Kesadaran kemanusiaan tidak boleh dipisahkan dengan kesadaran keagamaan (ketuhanan) (Zaidan & Sunardjo ed., 1999: 3). Kesadaran kemanusiaan yang telah terlepas dari kesadaran ketuhanan (iman) akibat industrialisasi inilah yang melanggengkan dehumanisasi. Manusia hanya dapat diselamatkan oleh iman (Kuntowijoyo, 2006: 35). Maka dari itu sangat penting untuk mentransendensikan manusia (Kuntowijoyo, 2006: 105-108).

Setiap agama mempunyai sejarah kelam

"Setiap agama masing-masing mempunyai sejarah kelamnya dan punya catatan hitam putihnya yang mana tidak terlepas dari latar belakang dan alasan kenapa harus seperti itu" (p. 15).

Pernyataan ini sudah tidak asing bagi saya. Jordan B. Peterson dalam debatnya berjudul, "Islam and the Possiblity of Peace" yang diunggah di kanal YouTubenya juga menyatakan hal sepura tapi lebih canggih. Menurut Peterson setiap agama memiliki catatan hitamnya, utamanya dalam armed conflict (konflik bersenjata). Baik dalam sejarah Katolik, Protestan, maupun Islam. Dalam Islam, hal ini menurutnya dibuktikan dengan banyaknya konflik internal (perang saudara dan saling bunuh) dan eksternal (ekspansi wilayah) setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Tentu saja Mohammed Hijab (lawan debat Peterson) membantahnya dengan (salah satunya) menyebutkan jumlah korban jiwa dalam perang internal umat Islam yang sangat kecil bidanding perang agama lain.

Apabila Mas Nugroho melandaskan pernyataannya sesuai dengan kondisi yang Peterson katakan, maka saya dapat memastikan bahwa konflik-konflik tersebut bukanlah karena Islamnya, melainkan karena telah berkuasanya hawa nafsu sehingga manusia terlalu mencintai dirinya sendiri.

Akibatnya manusia, tak terkecuali umat Islam, mencintai harta benda, kekayaan dan kemewahan, mencintai makan dan minum yang berlimpah-limpah, mencintai pakaian dan perhiasan yang indah dan mewah, mencintai istri dan anak (sanak keluarga) secara berlebihan, mencintai kedudukan yang tinggi dan kekuasaan, mencintai kemasyhuran dan popularitas, yang berujung pada penyakit hubbud dunya (cinta dunia) dan menimbulkan berbagai keserakahan, kerusakan, kekacauan, dan pertentangan di antara umat manusia (Atjeh, 1985: 9-10).

Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah swt. (QS. Al Maidah: 3); Barang siapa yang membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka Neraka Jahanamlah tempatnya (QS. An Nisa: 93); Barang siapa membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia (QS. Al Maidah: 32).

Namun apabila perang sudah tidak terelakkan, maka Islam pun telah memberikan panduan, di antaranya tidak merusak rumah ibadah, tidak membunuh orang tua, wanita, anak-anak, tidak memutilasi (atau perbuatan keji lainnya), tidak ada penyiksaan, bahkan Rasulullah saw. melarang untuk merusak pohon-pohon (lingkungan) dan bangunan hunian (Shihab, 2018).

Titik temu

"Kemanusiaan adalah titik pertemuan bagi semua orang. Jika kita tidak bisa menerima orang lain karena agamanya, atau budayanya, bahasanya, madzhabnya, adat istiadatnya, maka terima dan hargailah karena orang tersebut masih sama-sama manusia seperti kita" (p. 8). Pernyataan yang menggugah kesadaran kemanusiaan kita ini memanglah benar, akan tetapi tidak cukup kuat untuk mempertemukan semua orang.

Seluruh manusia sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas, telah dipertemukan dalam satu alam sebelum wujud (lahir) di dunia. Pada saat itu, manusia pertama sampai terakhir diambil kesaksiannya. Allah swt. berfirman dalam QS. Al A'raf ayat 172 yang artinya, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Seluruh manusia menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi" (Al Attas, 2011: 69).

Keadaan sebelum kewujudan inilah yang menjadi titik temu seluruh manusia lintas ruang dan waktu. Seluruh manusia diciptakan oleh Allah swt. dalam keadaan fitrah. Rasulullah saw. juga bersabda bahwa setiap anak manusia terlahir di atas fitrah (kesaksian; Tauhid; Islam), namun kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi yang mana melenceng dari fitrahnya (HR. Muslim no. 4803). Titik temu ini bukanlah atas dasar material (jasad), melainkan spiritual.

Jika keadaan ini diubah dan manusia tidak tunduk dalam otoritas Tuhan, manusia akan menghadapi tiga pilihan, yaitu: 1) relativisme total yang nilai-nilainya sepenuhnya urusan pribadi, 2) nilai-nilai tergantung kepada masyarakat, dan nilai-nilai yang dominan akan berkuasa, dan 3) nilai-nilai tergantung kepada kondisi biologis manusia sehingga pasti. Darwinisme sosial, egoisme, kompetisi, dan agresivitas, akan dianggap sebagai kebajikan (Kuntowijoyo, 2006: 107).

Oleh karena itu, Prof. Aboebakar Atjeh dengan percaya diri menyatakan bahwa Al-Qu’ranlah yang kelak akan dapat mempersatukan (mempertemukan) berbagai bangsa yang berbeda-beda di muka bumi ini dalam suatu ikatan kekeluargaan yang rukun dan damai. “Islamlah yang akan menjadi agama bagi seluruh umat manusia sesuai dengan kemajuan mereka” (Atjeh, 1970: 27).

Wallahu a’lam.

 

Referensi:

Al-Qur’an terjemah Indonesia

Shahih Muslim Kitab Iman dan Kitab Takdir. https://www.hadits.id/. Diakses pada tanggal 30 Januari 2022 pukul 15.20 WIB.

Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo (ed.). 1999. Sastrawan Indonesia Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara: Kuntowijoyo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Aboebakar Atjeh. 1970. Keringkasan Filsafat Achlak dalam Islam. Jakarta: CV. Ideality.

Aboebakar Atjeh. 1985. Pendidikan Sufi. Semarang: CV. Ramadhani.

Destriana Saraswati. “Pluralisme Agama Menurut Karen Armstrong”. Jurnal Filsafat Vol. 23, No. 3, Desember 2013. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/12.-Pluralisme-Liberalisme-dan-Sekularisme-Agama.pdf. Diakses pada tanggal 29 Januari 2022 pukul 10.40 WIB.

Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 2019. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Diva Press.

M. Quraish Shihab. “Bahkan dalam Perang, Islam Mengajarkan Etika”. 18 Mei 2018. https://tirto.id/bahkan-dalam-perang-islam-mengajarkan-adab-dan-etika-cqnV. Diakses pada tanggal 29 Januari 2022 pukul 22.40 WIB.

S.M.N. Al Attas. 2011. Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN.

Wahyu Nugroho. “Agama Kemanusiaan”. 28 Januari 2022. https://kalimahsawa.id/agama-kemanusiaan/. Diakses pada 29 Januari 2022 pukul 13.12 WIB.

____

*Mahasiswa PAI UM Surakarta dan Pegiat SEED Institute