Sabtu, 19 Maret 2022

MS. MARVEL DAN CITRA AMERIKA TENTANG MUSLIM

Sumber: Youtube Marvel Entertainment

Oleh: Ismail Al-'Alam*

Seperti Anda, saya pun mengenal tokoh-tokoh adiwira (baca: pahlawan super, red) Marvel sejak kecil lewat mainan, komik, dan video gim. Tapi, mungkin tidak seperti Anda, saya baru menonton Marvel Cinematic Universe (selanjutnya ditulis MCU) setelah menikah dengan seorang penyuka film termasuk film-film Eropa yang membutuhkan "kecerdasan semiotis" untuk bisa memahaminya.

Kami menonton The Avengers: Infinity War di bioskop sepulang bekerja. Tanpa tahu sama sekali rangkaian cerita MCU sebelumnya, apalagi konflik, konteks, dan rincian kecilnya, saya menyaksikan Hulk dan Iron Man bertarung dengan tokoh-tokoh yang tak saya kenali namanya, membuka film di tahun 2018 itu.

Mereka memang hadir untuk kita, orang-orang dengan kenangan masa kecil bersama adiwira Marvel dalam pelbagai rupa, yang kini mendewasa sehingga mampu pergi ke bioskop dengan uang sendiri dan tanpa larangan siapapun. Kecanggihan teknologi grafis yang semakin memanjakan mata begitu selaras dengan kisah imajinatif dalam MCU. Kalau dibuat beberapa dasawarsa lalu, hasilnya mungkin hanya tontonan dengan keterbatasan teknologi yang memprihatinkan dan mutu grafis yang menggelikan.

Kenangan kita itu menjadi sumber pundi-pundi yang begitu penting bagi Marvel.

Di tahun ini, sebagian dari kita tengah bersiap menyambut serial Ms. Marvel di Disney+. Ia mungkin tak hadir dalam komik atau video gim masa kecil kita, tetapi identitas keislamannya tentu begitu melekat dengan identitas kita. Bersama dengan karakter perempuan lain di MCU, Ms. Marvel bukan hanya mendobrak persepsi bahwa adiwira harus seorang lelaki: ia berjalan sendiri untuk menunjukkan bahwa seorang muslim juga bisa menyelamatkan manusia, termasuk Amerika.

Si Kulit Warna yang Berbahaya

Kesadaran tentang hak asasi manusia yang semakin hari semakin membaik mengantarkan para sarjana ilmu sosial-humaniora, di Eropa dan Amerika, untuk menaruh perhatian pada isu rasisme. Beberapa kampus di sana bahkan membuka jurusan Racial/Black Studies untuk mempelajari kezaliman apa yang telah kaum berkulit putih lakukan terhadap liyan (yakni, kaum kulit berwarna), tetapi juga mendaftar dan menghormati apa yang telah diberikan liyan pada mereka.

Pada kasus umat Islam, masalahnya lebih rumit lagi. Meski sebagian masyarakatnya kini sekular, Barat menurut Montgomery Watt masih menyimpan citra Islam yang tertanam sejak Perang Salib, bahwa Islam adalah Anti-Kristus. Citra tersebut dapat berubah bentuk dan ekspresinya hari ini, seiring dengan sekularisasi masyarakat itu, misalnya bahwa Islam adalah anti-rasionalitas atau anti-humanisme. Dinamika politik internasional yang mempertemukan negara-negara Barat dan Timur Tengah sepanjang abad 20 dan dasawarsa awal abad 21 semakin memperkaya, kalau bukan memperparah, citra tersebut.

Layar lebar tak lepas dari citra yang bias itu. Di tahun 1984, Jack Shaheen menerbitkan bukunya yang karikaturial, Reel Bad Arabs: How Hollywood Vilifies a People, kajian induktif dan kritis terhadap film-film Hollywood yang menampilkan sosok orang Arab atau adegan di negeri Arab. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Arab-Islam adalah 3B: The Bomber (Tukang Ngebom), Billionaire (Miliarder), dan The Belly Dancer (Penari Perut).

Dengan kata lain, pelbagai skenario dan sudut pandang film-film Hollywood hanya memahami wajah Arab-Islam dalam konstruksi para Orientalis, bahwa umat Islam itu berpolitik dengan cara teror bahkan revolusioner ala Khomeini sehingga tak sesuai dengan demokrasi, tetapi punya banyak uang dan minyak bumi sehingga bisa menjadi mitra bisnis yang strategis bagi Eropa dan Amerika. Di sudut-sudut kota Arab, jika para kulit putih itu jeli, kepuasan syahwat juga bisa diraih lewat cara yang sangat purba, meski jalan-jalan kota utama dipenuhi perempuan berjilbab yang bagi mereka adalah bentuk penindasan.

Berselang beberapa masa, citra tersebut belum betul-betul pudar. Serangan teroris 9/11 malah memicu pencitraan tentang Islam yang lebih ugal-ugalan di dalam produk-produk budaya Amerika. Aktor Sudan, Waleed Elgadi, menjelaskan respons spontan dunia perfilman AS kala itu adalah dengan menggunakan aktor Arab untuk memerankan tokoh yang mendukung citra buruk itu. Ia sendiri, dalam pengakuannya di BBC, sudah pernah memainkan peran "...semua jenis teroris yang bisa Anda bayangkan" dan "...sosok mistikus Arab yang memandang gurun." Sosok protagonis muslim memang mulai muncul sesekali di Hollywood, tetapi perannya dalam film selalu tidak signifikan dan, ini yang konyol, pemerannya justru adalah aktor-aktor Barat!

Batas Humanisme dan Good Muslim

Meski muak dengan itu semua, kita akan keliru kalau mengira Islamofobia dan perlakuan rasis terhadap Arab/Islam adalah sesuatu yang dimiliki Barat secara esensial. Ada dua hal yang menjadi argumen untuk itu.

Pertama, xenofobia (penyakit mental berupa ketakutan terhadap orang asing, di mana Islamofobia termasuk di dalamnya) dan rasisme adalah gejala yang bisa dimiliki para katak dalam tempurung, yakni orang-orang picik yang hanya hidup dengan kelompok dan kerumunannya sambil menyimpan prasangka buruk terhadap liyan, tanpa mau belajar secara terbuka dari mereka. Jika menghadapi Islamofobia dengan ekspresi atau cara lain yang menunjukkan ciri xenofobia terhadap Barat, kita akan menjadi sama piciknya dengan mereka.

Kedua, dan ini yang penting untuk disoroti secara luas, kaum humanis di Barat sendiri telah banyak melakukan kritik-diri baik secara akademis seperti saya sebutkan di atas, maupun secara gerakan kesenian. Film-film indie telah banyak dibuat untuk menandingi citra sesat Hollywood atas Islam. Ms. Marvel pun hadir dengan semangat serupa, setidaknya semenjak edisi komiknya terbit di tahun 2013 yang ketika itu segera saya dan seorang dosen, Ihsan Ali Fauzi, diskusikan dengan asyik bersama buku Jack Shaheen di suatu sore di kantin Universitas Paramadina. Beberapa riset menunjukkan langkah-langkah humanis itu berdampak cukup besar bagi upaya menghadang Islamofobia di Barat.

Tapi, satu persoalan tersisa di sini. Humanisme mereka yang sekular tetap tak menoleransi keyakinan dan tindakan seorang muslim jika hal tersebut mencederai nilai-nilai humanisme itu sendiri.

Analis politik senior Brennan Center for Justice, Faiza Patel, dengan jeli melihat persoalan tersebut bahkan pada sosok Ms. Marvel. Dalam versi komiknya, Ms. Marvel adalah perempuan muslimah cerdas di tengah keluarga yang masih memegang nilai-nilai "Timur": ayah dan ibu protektif yang menginginkan putrinya itu menjauhi pergaulan bebas dan berfokus pada kuliahnya, serta sosok kakak yang 'konservatif.' Dalam pikiran AS, baik kaum Konservatif (maksudnya, umat Protestan taat pemilih Partai Republik) maupun Liberal (umat Protestan liberal, sekularis, dan ateis pemilih Partai Demokrat), seorang muslim tidak bisa menjadi konservatif dan toleran atau modern di waktu yang bersamaan.

Di sinilah batasan humanisme dalam menoleransi keislaman seseorang harus dicermati dengan tegas. Dengan hanya mengenal dua kategori bagi sikap agamawan terhadap modernitas, yakni konservatif atau liberal, Barat masih gagal memahami sikap tegas Islam terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai sekular mereka. Dengan ataupun tanpa berjumpa dengan Barat dan modernitasnya, Islam sudah menentang pemahaman keagamaan yang kaku, picik, bahkan destruktif, sebagaimana terdapat dalam pengalaman Islam itu sendiri. Tetapi, kesiapan dan kesediaan Islam untuk terlibat dan memberi sumbangan bagi kehidupan modern, plural, dan global bukan berarti hanya menyisakan pilihan menjadi liberal.

Dalam kasus Ms. Marvel, menyisihkan sosok-sosok 'konservatif' adalah langkah awal untuk mencapai langkah akhir, yakni menampilkan sosok Ms. Marvel itu sendiri. Dalam kehidupan nyata, Ms. Marvel setara dengan generasi ketiga imigran muslim di AS dan Eropa yang telah mengasimilasikan diri dengan nilai dan gaya hidup Barat, berbeda dari kakek-nenek mereka yang masih memegang ajaran Islam sebaik-baiknya. Ia adalah sosok good muslim yang diperhadapkan dengan bad muslim dalam kategori George W. Bush dan para pengikutnya, atau sosok American/European Islam dalam konstruksi para Orientalis. Bad muslim atau American/European Islam adalah seseorang dengan identitas keislaman, termasuk sejak dari nama diri mereka, tetapi berpikir dan bertindak sama belaka dengan rekan-rekan Barat mereka.

Di tingkat akademis, mereka adalah kalangan liberalis muslim yang menerima premis-premis Orientalisme atau pendekatan Religious Studies yang sekular ketika mengkaji Islam. Di tingkat masyarakat umum, mereka adalah orang-orang yang menerima norma-norma Barat, alih-alih syariat dan akhlak Islam, dalam kehidupan sehari-hari. Kedua kelompok ini berbagi peran dalam menjaga tatanan demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal, dan akan diperhadapkan dengan kelompok Islam 'konservatif' atau 'radikal'; label yang digunakan Barat untuk mengelompokkan siapa saja yang mengancam segala cita-cita mereka, bahkan jika ia adalah seorang muslim yang wasati (baca: moderat, red) dan berakhlak mulia sekalipun.

Dengan daya kritis seperti itulah, menurut saya, Ms. Marvel sebaiknya disambut oleh masyarakat muslim. Karena tak berkepentingan menjadikan analisis ini ideologis apalagi konspiratif, saya tak mempermasalahkan bahkan justru menganjurkan kaum muslim penyuka Marvel untuk tetap menontonnya dengan penilaian masing-masing. Lebih bagus lagi jika Anda berkenan menceritakannya ke saya yang tidak, atau setidaknya belum, tertarik untuk menonton.

Satu hal yang pasti: jika ingin mencari sosok muslim Barat ideal hari ini, temukanlah hal tersebut pada Hamza Yusuf, Timothy Winter, Inggrid Mattson, dan para juru bicara Islam lain di sana, bukan pada sosok yang bingung dengan identitasnya sendiri sambil inferior meniru nilai-nilai Barat. Jangankan di AS dan Eropa, sosok seperti itu sudah bisa kita temui bahkan di Ciputat, Depok, atau Sleman, dan sampai sejauh ini tak pernah sungguh-sungguh duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Barat yang mereka kagumi.

Wallahu a'lam.

Salatiga, dini hari, 20 Maret 2022

___

*Penulis belajar filsafat, Religious Studies, Cultural Studies, dan Peace Studies di Jakarta dan Yogyakarta; saat ini menjadi Manajer Program Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara.

Editor: Ferdi

Kamis, 17 Maret 2022

NARASI DAKWAH ISLAM MENGHADAPI RENCANA IKN BARU


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Saya tidak begitu ingat tanggapan umat Islam melalui ormas dan institusi Islam pada saat awal rencana IKN baru digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu, paling tidak ketika pemenang sayembara IKN baru Indonesia diumumkan. Seingat saya ketika itu suasana media sosial di beranda FB ramai memuji dan berbagai pandangan positif lain terkait karya pemenang yang saya simpulkan sebagai dukungan dan penerimaan terhadap rencana tersebut. Tentu saja bisa jadi ingatan saya salah karena tidak akurat.

Mengamati realitas hari ini sampai pada digelarkan ritual kendi nusantara di titik nol kilometer IKN baru yang dipimpin langsung oleh Jokowi sebagai Presiden Indonesia, saya mendapati tiga narasi dakwah Islam yang memenuhi beranda FB. 

Pertama, penolakan pagelaran ritual tersebut sebagai syirik karena bertentangan dengan akidah Islam. Saya tidak dapat menangkap secara jelas, narasi ini hanya menolak ritual kendi nusantara tetapi menerima rencana pemindahan IKN, ataukah penolakan ritual juga menunjukkan penolakan terhadap IKN baru.

Kedua, narasi yang menyamakan pemindahan IKN dengan hijrah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dari Mekah ke Yatsrib. Saya menangkap narasi ini merupakan legitimasi keagamaan dari sekalangan tokoh umat Islam yang bernaung dalam lembaga Islam yang telah dikenal luas di Indonesia terhadap rencana pemindahan IKN Indonesia. Tujuannya, saya mengira-ngira, untuk meredam protes umat Islam dengan menerima rencana pemindahan IKN. Dalam tulisan ini saya tidak akan mengulas lebih lanjut qiyas cacat yang digunakan sebagai argumentasi pemindahan IKN karena sudah dibahas oleh Ferdi Al Qadri dalam tulisan di website SEED Institute.

Ketiga, narasi mega proyek pendidikan Islam di IKN baru yang dilontarkan oleh beberapa institusi pendidikan Islam ternama di Indonesia. Saya menempatkan narasi ini dalam kategori yang sama dengan narasi kedua yang menerima rencana pemindahan IKN Indonesia. Setelah dilegitimasi secara keagamaan, maka dilanjutkan dengan menjadikan IKN baru sebagai pusat pendidikan Islam.

Narasi pertama langsung membenturkan akidah Islam dengan kebijakan politik pemindahan IKN baru dan perencanaannya yang merupakan ranah ilmu pengetahuan. Agar fungsional untuk dapat berhadapan dalam ranah yang sama, Islam seharusnya diderivasi menjadi ilmu pengetahuan Islam sehingga dapat digunakan sebagai pisau analisis terhadap kebijakan dan rencana pemindahan IKN secara menyeluruh tanpa menyisakan lagi tanda tanya dan dugaan-dugaan. 

Sementara itu narasi kedua dan ketiga dilandasi nalar begini: Rencana pemindahan IKN oleh pemerintah telah disetujui anggota dewan dan karenanya mulai memasuki tahap pelaksanaan pemindahan dengan memulai pembangunan di lokasi. Seakan ruang penolakan telah tertutup rapat. Karenanya nalar dakwah Islam yang digunakan adalah meminimalkan mafsadat dan memaksimalkan manfaat. Daripada IKN dikuasai pihak-pihak lain yang dinilai berseberangan dengan Islam, lebih baik diupayakan agar dakwah Islam dapat mengambil ruang di IKN baru. 

Saya mencoba memupus pemikiran terkait kepentingan materi yang melatarbelakangi narasi kedua dan ketiga. Yang terlihat jelas di depan mata kita adalah tiga narasi dakwah di atas menunjukkan ketidakmampuan umat Islam mendayagunakan Islam sebagai penggerak transformasi. Islam dan umatnya selalu berada dalam posisi terjepit; karena sudah kadung terjadi maka digunakan nalar sebagaimana di atas. Ironis memang, (negara dengan-red) umat Islam terbanyak di dunia menjadi buih di bawah gempuran ombak penguasa dan pemodal!

___

*Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Editor: Ferdi

Selasa, 15 Maret 2022

HIJRAH RASULULLAH BERBEDA DENGAN PEMINDAHAN IKN!

Picture by : kompas.com

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Tulisan sederhana ini merupakan sedikit tanggapan saya terhadap pernyataan KH Marsudi Syuhur selaku Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pemindahan IKN. Dilansir dalam media online kumparan.com, beliau mengatakan bahwa tujuan proses hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah tidak jauh berbeda dengan pemindahan IKN (Ibu Kota Negara) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Terhadap pernyataan beliau dalam media tersebut, ada tiga poin perbedaan yang perlu saya terangkan dalam kapasitas “tidak jauh berbeda” tersebut, yaitu:

Pertama, menurut KH Marsudi tujuan pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur dan hijrah Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah adalah untuk mengubah kondisi suatu kaum.

Coba kita perjelas kondisi keduanya.

Kala itu kondisi umat Muslim mengalami penindasan dan penganiayaan, fisik dan mental. Bahkan tidak sedikit yang merenggut nyawa karena memegang teguh agama Islam, contohnya Sumayyah binti Khayyat. Dakwah Islam menghadapi banyak tantangan berat. Rasulullah saw. kemudian berhijrah bersama umat Muslim yang lemah. Mereka rela meninggalkan keluarga dan seluruh harta kekayaan mereka di Makkah untuk mengubah kondisi mereka.

Ketika sampai di Yatsrib Rasulullah saw. mempersaudarakan kaum Muhajirin (yang berhijrah) dan kaum Anshar (tuan rumah) agar mereka memiliki keluarga baru dan tempat tinggal yang layak. Setelahnya beliau bersama para sahabat membangun Masjid Nabawi sebagai pusat kehidupan umat Muslim. Beliau lalu membangun suatu masyarakat Islam yang kuat atas dasar iman (tauhid) dan mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah. Pembangunan bersifat bottom-up.

Kondisi umat Islam di atas tentu berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang, khususnya di Jakarta. Masyarakat di Jakarta sedang menghadapi masalah kepadatan penduduk dan kondisi alam yang sering mengalami bencana alam. Jakarta sudah tidak kuat untuk mengemban amanah sebagai IKN.

Kondisi ini mengharuskan adanya alternatif berupa IKN baru yang sanggup menggantikan posisi Jakarta. Pilihan akhirnya jatuh ke Kalimantan Timur.

Pemilihan nama Nusantara di Kalimantan Timur sebagai IKN baru menjadi penegasan identitas IKN. Pembangunan infrastruktur kota dilakukan secara besar-besaran memakan modal dalam hitungan triliyunan rupiah. Harapannya adalah dengan adanya IKN baru, meliputi berbagai infrastruktur dan fasilitas pendukungnya, akan melancarkan proses pembangunan dan pemerataan masyarakat. Dalam konteks ini pembangunan bersifat top-down.

Bedanya lagi, umat Islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah tidak membawa harta selain pakaian dan makanan sekedar untuk bekal perjalanan. Mereka adalah orang-orang yang lemah. Sedangkan dalam konteks pemindahan IKN, saya menduga (hampir yakin) hanya orang-orang yang kuat secara sosial, politik, dan ekonomi yang akan mendapatkan kehidupan di tempat yang strategis di Nusantara. Butuh modal besar untuk pindah dari Jakarta ke Nusantara.

Rasulullah saw. ketika hijrah tidak kemudian membangun istana megah, kompleks pemerintahan dan perumahan para pejabat negara. Beliau membangun masjid sederhana sebagai pusat pembinaan masyarakat, ruhani dan jasmani. Semua kegiatan pembangunan masyarakat berorientasi ibadah mahdhah (vertikal) dan ghairu mahdhah (horisontal).

Kedua, menurut KH Marsudi pemindahan IKN adalah untuk kemaslahatan, baik melalui pengurangan kepadatan penduduk maupun menjaga keselamatan dari bencana karena Kalimantan minim bencana.

Mengenai pengurangan kepadatan penduduk, jika nalarnya tetap nalar ekonomi, maka kita hanya tinggal menunggu sampai tiba masanya pulau Kalimantan akan lebih padat dari pulau Jawa. Seperti halnya di Jawa, banyak perantau dari luar datang mengadu nasib untuk meningkatkan kualitas hidup dibanding daerah asalnya.

Setelah penduduk sudah padat lagi, ruang kehidupan akan diperluas dengan mengganti pepohonan dengan gedung di mana-mana. Maka kita tinggal menunggu bencana apa yang akan mengancam keselamatan penduduk di Nusantara. Jika pemerintah tidak bisa mengatasi masalah yang kompleks ini, maka akan tiba masanya IKN baru dibutuhkan lagi.

Hal ini tentu berbeda dengan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah yang tidak mengutamakan pembangunan ekonomi, melainkan pembangunan jiwa manusia. Semua diajarkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Tujuan hidup adalah untuk kembali ke rumah yang sesungguhnya, yaitu Surga. Bukan untuk mengejar kedudukan dan menumpuk kekayaan di dunia.

Ketiga, mengaitkan ajaran Islam ketika hijrah, secara khusus sikap Rasulullah saw. yang berdoa agar diberi kecintaan kepada Madinah (tanah hijrah) tanpa mengurangi cintanya kepada Makkah (tanah kelahiran), tidaklah relevan untuk dikaitkan dengan pemindahan IKN.

Seakan dengan kisah ini kita diajak untuk bersama-sama mewajarkan adanya pemindahan IKN. Narasinya adalah kalau Rasulullah saw. saja memikirkan untuk berhijrah, bahkan berdoa agar diberi kecintaan kepada Madinah tempat hijrahnya. Maka begitu juga dengan pindahnya IKN dari Jakarta ke Nusantara. Tidak ada masalah, dalam hal ini kita mesti turut berdoa agar diberi rasa cinta kepada IKN baru.

Dengan tiga poin yang saya utarakan di atas, saya berharap agar para ulama dapat bersikap lebih bijaksana mengenai pemindahan IKN. Saya tidak menyoroti apakah para ulama mau mendukung atau menolak. Akan tetapi, saya berharap agar dalil agama dapat dipakai secara arif. Ahli ilmu harus kritis dalam menentukan sikap dan membimbing masyarakat.

Terakhir saya ingin menegaskan bahwa peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. jauh berbeda dengan pemindahan IKN. Maka dari itu, jangan disamakan!

----

*Mahasiswa PAI UMS, Pegiat SEED Institute

DUALISTIC MAN: IKN BARU DALAM SENGKARUT NALAR KEMAJUAN DAN RITUAL

Picture by : cnnindonesia.com

Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Senin kemarin, Jokowi sebagai presiden memimpin langsung ritual kendi nusantara yang berlangsung di titik nol IKN baru Indonesia. Pada kesempatan itu hadir 34 pemimpin provinsi yang diperintahkan membawa 2 kg tanah dan 1 liter air dari daerah masing-masing untuk disatukan di dalam kendi yang diberi nama bejana nusantara sebagai simbol persatuan Indonesia. Berita lebih lengkap silahkan menulis sendiri di mesin pencari karena berbagai media online telah mengabarkan acara tersebut.

Disisi lain, IKN didaulat akan menjadi kota paling maju, canggih, dan ramah lingkungan di Indonesia ketika telah rampung pembangunannya. Paling tidak begitu pernyataan yang saya ingat dari buku saku IKN baru yang dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk mencapai tujuan itu, desain IKN baru menerapkan pendekatan smart city yang diklaim mampu mewujudkan kota menjadi ruang kehidupan yang nyaman dan manusiawi, sekaligus berdampak minimal terhadap lingkungan.

Sebelum ribut-ribut soal penamaan Nusantara untuk IKN baru, Bappenas menyatakan akan direncanakan pembuatan IKN versi metaverse agar seluruh bangsa Indonesia dapat berkunjung ke IKN yang secara fisikal berlokasi di Kalimantan Timur melalui teknologi digital. Sampai di sini kita akan mendapati informasi dan fakta yang tidak koheren. Paragraf pertama, yakni ritual kendi nusantara tidak selaras dengan informasi smart city dan metaverse.

Saya langsung teringat dengan Syed Hussein Alatas dalam bukunya berjudul Intelektual Masyarakat Berkembang yang mengungkap fenomena dualistic man. Langsung saja saya kontekskan pandangan Syed Hussein Alatas dengan bahasan status ini menyoal IKN baru Indonesia. Industrialisasi yang bergulir untuk memodernisasi Indonesia ternyata tidak menjadikan manusianya menjadi rasional yang merupakan syarat dari industrialisasi dan modernisasi. IKN baru dengan pendekatan smart city dan versi digitalnya dalam ruang metaverse yang mewakili teknologi terkini dari zaman revolusi industri 4, tidak absen dari penyelenggaraan ritual yang tidak rasional. Inilah dualistic man.

Industrialisasi yang merupakan motor modernisasi memiliki sifat antri tradisi karena bergerak di atas rel sejarah yang linier. Dalam perspektif modern, sejarah bergerak ke arah depan, terus maju meninggalkan masa lalu, sehingga tradisi mau tidak mau harus ditinggalkan di belakang agar tak menjadi beban dalam melangkah mencapai kemajuan. Tradisi dengan nalarnya yang tidak rasional tidak relevan dipertahankan sebab tidak memiliki nilai guna di tengah gerak zaman industri yang rasional. Kalau memang pemerintah dengan sepenuh hati sambil membawa modal pengetahuan yang mumpuni hendak menempatkan Indonesia di dalam gerbong 4.0, apalagi menggadang-gadang IKN baru sebagai model, maka pemikiran, pandangan, dan sikap yang tidak rasional harus ditanggalkan.

Para pendukung tradisi, terlebih pendukung pemerintah bisa jadi mendukung ritual tersebut, apa pun alasannya, sebagaimana dahulu dukungan terhadap pemindahan IKN gencar dilakukan. Saya tidak mempersoalkan masalah dukung mendukung dalam status ini. Yang hendak saya persoalkan adalah tidak terpenuhinya prinsip koherensi antara fakta dan informasi menunjukkan kebingungan khas seorang dualistic man yang hendak maju tetapi ragu-ragu karena harus meninggalkan tradisi dari masa lalu. Di antara melangkah maju dengan hati ragu-ragu, mau di bawa ke arah mana Indonesia dengan IKN baru?! Jangan sampai 4.0, metaverse, dan IKN hanya menjadi mantra yang terus dirapal untuk menang pada pilihan depan!


----

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Editor : Alfrisa Ica

LOGO HALAL DI TENGAH PUSARAN POLITIK DAN TEGANGAN PERSEPSI

Sumber: www.hidayatullah.com

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Sejak diresmikan oleh Kemenag pada hari Sabtu yang lalu, desain logo halal yang baru langsung saja mengundang keributan di media sosial. Dari cemooh hingga analisis ilmiah dilakukan terkait teks, desain logo, dan pembacaannya. Sebenarnya saya tidak tertarik mengulas masalah ini, tetapi mahasiswa terus mendesak saya memberikan tanggapan. Desakan tersebut bukan tanpa alasan karena bidang desain grafis memiliki kesamaan dengan bidang arsitektur yang saya geluti sebagai seni terapan, selain itu karena saya mengampu mata kuliah kritik arsitektur. Mempertimbangkan permintaan mahasiswa sekalian saja saya tuliskan tanggapan ini agar dapat diakses terbuka.

Saya memiliki beberapa tanggapan terkait desain logo halal yang baru dari Kemenag. Pertama, perlu dipahami bahwasanya desain, termasuk logo, tidaklah murni persoalan seni dan teknis belaka. Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, desain sedikit banyaknya dipengaruhi unsur politik, selain unsur-unsur lainnya. Saya hendak menyoroti khusus unsur politik ini mengingat kedudukan Kemenag sebagai bagian dari struktur pemerintahan yang bersifat politis.

Logo halal baru yang dikeluarkan Kemenag hendak menunjukkan kekuasaan politik dan otoritasnya sebagai satu-satunya pihak yang sah untuk mengeluarkan sertifikat halal. Logo baru sama sekali tidak terkait dengan logo lama, baik dari aspek komposisi, desain, hingga jenis huruf yang secara politis sebagai penanda terputusnya otoritas MUI yang dahulu berwenang mengeluarkan sertifikat halal suatu produk untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada konsumen Muslim di Indonesia.

Di bidang arsitektur strategi yang disebut politik memori telah jamak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun pemodal yang tujuannya tidak lain membentuk persepsi publik. Misal saja kasus lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta yang pernah didaulat sebagai pusat seks komersial terbesar di Asia Tenggara, diluluhlantahkan secara fisikal maupun persepsional dengan membangun Jakarta Islamic Center. Dari hitam menjadi putih. Kasus yang lain adalah area olahraga Manahan di Solo yang diinisiasi dan diresmikan Bu Tien Suharto, kini terpasang patung Sukarno sedang duduk sambil membaca buku di pintu gerbang utama. Tentu mengaburkan sejarah untuk kepentingan pembentukan persepsi publik. Mekanisme yang sama digunakan Kemenag terhadap logo halal MUI.

Kedua, desain tidak saja menyangkut kepentingan antara desainer atau perancang logo dengan pemberi kerja atau pemilik dalam hal ini adalah Kemenag. Desain yang hadir dan digunakan di ruang publik oleh masyarakat dalam skala yang luas selalu melibatkan persepsi publik. Oleh karena itu dalam perancangan desain pun harus melibatkan, paling tidak memperhatikan persepsi, pandangan, dan pemahaman masyarakat. Berdasar aspek inilah saya menyalahkan Ridwan Kamil sebagai perancang Masjid As-Safar yang diributkan beberapa tahun lalu karena sama sekali tidak memperhatikan pemahaman keagamaan umat Islam di Indonesia yang melatarbelakangi munculnya tafsir masjid Illuminati.

Kali ini pun dengan memperhatikan aspek yang sama saya menyalahkan logo halal yang baru. Keributan dalam konotasi negatif yang terjadi di berbagai media sosial cukup menjadi indikator terjadinya perbedaan persepsi antara pemerintah bersama desainer dengan masyarakat, yang menandakan terdapatnya masalah pada logo tersebut. Saya akan mengulas dua poin saja terkait aspek ini.

Poin pertama adalah kemudahan memahami logo, terlebih logo halal bersentuhan dengan kehidupan umat Islam sehari-hari. Keributan yang terjadi mempersoalkan huruf pada logo baru tidak mudah dibaca sebagai "Halal", padahal dalam memilih dan membeli produk, salah satu pertimbangan konsumen Muslim adalah keberadaan logo ini yang secara persepsional harus mudah ditemukan dan secara kognitif mudah dibaca serta dipahami.

Kemenag boleh saja secara politis menegaskan posisinya sebagai pihak pemilik otoritas sambil memutus persepsi publik terhadap wewenang MUI dengan menggunakan logo halal baru yang tidak menyisakan unsur-unsur logo yang lama. Tetapi yang tidak boleh dilupakan Kemenag adalah logo halal yang menyangkut hajat hidup seluruh umat Islam di memiliki unsur utama sebagai pakem, yakni tulisan "Halal" berbahasa Arab dengan jenis huruf yang mudah dibaca dan digunakan secara luas di Dunia Islam serta di berbagai wilayah Dunia Barat. Pemenuhan unsur ini bukan saja akan memudahkan umat Islam di indonesia untuk mengidentifikasi produk halal, tetapi juga bagi umat Islam dari luar negeri yang sedang berkunjung ke Indonesia. Pun demikian bagi umat Islam di Indonesia yang melakukan kunjungan ke luar negeri juga akan mudah mengidentifikasi produk halal karena adanya unsur yang sama pada logo halal.

Di luar unsur utama tersebut merupakan unsur pendukung pada desain logo halal, seperti bingkai logo, warna, dan unsur-unsur lainnya. Pada unsur inilah poin kedua yang akan saya ulas merujuk pada bingkai gunungan wayang yang mendominasi desain logo, bahkan seakan diposisikan sebagai unsur utama karena huruf yang membentuk kata "Halal" disesuaikan agar membentuk bingkai, sehingga dampaknya tidak mudah untuk dibaca karena terjadi perubahan bentuk huruf.

Selain itu, penggunaan bingkai gegunungan tidak tepat untuk logo halal yang harus mencerminkan identitas umat Islam secara universal maupun lokal. Identitas universal merujuk pada unsur utama sebagaimana telah dibahas di atas, sedangkan unsur lokal yang berkedudukan sebagai unsur pendukung merujuk pada lingkup Indonesia yang terdiri dari berbagai etnik. Dengan begitu unsur gegunungan menjadi bermasalah karena hanya mencerminkan identitas Jawa yang hanya merupakan salah satu etnik dari beragam etnik umat Islam di Indonesia.

Demikian tanggapan saya. Kemenag sebagai pihak pemilik otoritas memang salah telah mensahkan logo halal yang memuat masalah-masalah desain pada unsur utama dan pendukungnya. Toh Kemenag, terlebih lagi Menag, lebih sering salah daripada benar. Bagi saya, kesalahan lebih besar dialamatkan kepada pihak perancang logo yang tidak mematuhi aturan dasar, sebagaimana telah saya ulas pada tulisan ini. Menjadi lebih salah lagi jika pihak perancang yang telah menempuh pendidikan desain mengikuti dan memenuhi semua permintaan pemberi tugas yang awam terhadap ilmu desain, terlebih selama ini seringkali melakukan kesalahan. Sekian.

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang


Editor: Ferdi