Jumat, 01 April 2022

DISRUPSI: DARI MANA DAN HARUS BAGAIMANA?

Sumber: kompasiana.com

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Sebelum marak penggunaan istilah Revolusi Industri 4.0 dan Metaverse, istilah Disrupsi lebih dulu menjadi perbincangan, terutama setelah terbitnya buku Rhenald Kasali berjudul Disruption. Pada saat itu pun berbagai kuliah umum, seminar, hingga makalah jurnal dihiasi penggunaan istilah disrupsi untuk menunjukkan kebaharuan (novelty), selain tentu saja untuk memberikan kesan kemajuan.

Disrupsi merupakan perubahan kehidupan manusia secara fundamental dan menyeluruh akibat penggunaan teknologi baru. Fenomena ini oleh Toffler dianalogikan dengan gelombang (wave) yang menyapu bersih kehidupan sebelumnya untuk berganti dengan yang baru. Toffler dikenal luas setelah memperkenalkan frasa gelombang ketiga (the third wave) yang menandakan telah terjadi tiga kali gelombang besar atau disrupsi sepanjang sejarah manusia yang diidentifikasi olehnya.

Gelombang pertama terjadi pada masa revolusi pertanian ketika manusia hidup menetap dengan membuat permukiman untuk mengakhiri masa hidup berpindah-pindah atau nomaden. Setelah itu kehidupan manusia cenderung stabil, hanya pengembangan yang berpijak dari gelombang pertama, sampai datang gelombang kedua pada revolusi industri pertama yang dimulai pertengahan abad ke-17 di Inggris dan kemudian menjalar ke wilayah Eropa lainnya hingga Amerika Utara. Di tempat terakhir inilah terjadi hentakan gelombang ketiga pada tahun 1970an yang menandai awal revolusi industri informasi.

Pertanyaannya, dari mana datangnya disrupsi? Sebagaimana telah saya kutip pada paragraf kedua di atas, disrupsi terjadi sebab penerapan teknologi baru dalam kehidupan manusia. Di sini relevansi pembedaan antara penemuan (invention) dan inovasi (innovation) yang dilakukan Joseph Schumpeter. Penciptaan teknologi yang merupakan aktivitas penemuan tidak serta merta akan mengubah cara hidup manusia sampai digunakan yang merupakan aktivitas inovasi.

Pandangan Schumpeter memiliki keselarasan dengan pernyataan Jacques Attali, seorang kolega Alvin Toffler yang menjelaskan peran teknologi untuk mempertahankan penguasaan terhadap pasar. Ketika pasar lesu ditandai dengan pendapatan yang terus menurun, maka teknologi baru harus dicipta untuk menggairahkan kembali pasar, sehingga pendapatan dapat kembali tumbuh. Dengan kata lain Attali hendak menyampaikan revolusi industri dengan perangkat teknologi baru yang terus dicipta dan diterapkan dalam kehidupan manusia memiliki orientasi ekonomi yang berasaskan paham Kapitalisme, tidak terkecuali Metaverse yang kini sedang gandrung dirapal sebagai teknologi khas 4.0.

Progresivitas teknologi yang menjadi pusat gelombang disrupsi merupakan pandangan khas Modernisme yang mengandaikan sejarah melaju dalam garis linier ke arah depan dengan meninggalkan masa silam. Teknologi baru dicipta dan diterapkan untuk menggantikan yang telah usang. Barang siapa menolak gelombang besar ini, maka ia akan hanyut tergulung ombak. Anthony Giddens memiliki perumpamaan yang menarik untuk menggantikan gelombang. Disrupsi layaknya Juggernaut yang siap melindas siapa pun jika tak turut ikut dalam gerak kemajuan.

Sebab itu, disrupsi bukanlah fenomena Posmodernisme yang mengandaikan sejarah bagaikan patahan yang tak bermula dan tak memiliki tujuan. Sejarah adalah hari ini tanpa kepastian datangnya masa depan dan raibnya masa lalu ditelan perubahan. Dengan pandangan demikian, Posmodernisme yang berorientasi pada pelepasan hasrat mendapatkan legitimasinya untuk menikmati hidup saat ini dan di sini, sekarang juga tanpa menunggu esok hari. Dalam konteks inilah kita dapat memahami tudingan Jurgen Habermas yang menyatakan Posmodern hanya akal-akalan untuk mendulang keuntungan dengan memanfaatkan capaian Pencerahan.

Teknologi di tangan Modernisme yang ditujukan untuk penguasaan ekonomi, oleh Posmodernisme digunakan untuk pelepasan hasrat. Tinggal menunggu waktu saja persoalan hawa nafsu akan merambah Metaverse yang berjalin kelindan dengan kepentingan ekonomi. Tepatlah analisis Yasraf Amir Piliang yang mengungkap kemenangan Modernisme atas Posmodernisme, sebab Kapitalisme yang lahir dari rahim Modernisme telah mampu memperalat musuh bebuyutannya untuk meraup akumulasi modal berlipat.

Memperhatikan kajian yang dilakukan Attali, kita patut waspada disrupsi akan kembali terjadi berkali-kali semasih industrialisasi yang digawangi manusia tamak terus bergulir. Kita patut waspada terhadap penciptaan teknologi baru, sebab jika diterapkan bisa jadi akan menggulirkan gelombang keempat, kelima, bahkan seterusnya. Dalam kondisi percepatan aliran gelombang ini, patutlah kita merenungi apa yang bisa kita lakukan dengan Islam yang kita yakini untuk menghadapi zaman yang terus berganti. Jangan sekali-kali agama samawi dari penutup para Nabi hanya dijadikan penghibur hati, bahwa semua kekalahan ini ialah takdir Ilahi. Jika begitu sikap kita, habislah umat ini! Lalu kita harus bagaimana?!

___

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Rabu, 30 Maret 2022.

*Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: