Minggu, 01 Mei 2022

KALANGAN AWAM SEBAGAI BENTENG TERAKHIR



Picture by : dibawaasik.wordpress.com


Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc*


Tulisan ini masih merupakan kelanjutan dari dua tulisan sebelumnya mengenai peran kalangan awam sebagai subjek aktif yang memiliki hak sekaligus pengawas terhadap kerja keilmuan dan dakwah kalangan ahli, serta perbedaan antara keduanya yang memiliki batas dan kedudukan masing-masing dalam struktur sosial masyarakat Islam.

Sebagai subyek aktif, meminjam penjelasan Peter Berger dalam bukunya berjudul Pyramids of Sacrifice, kalangan awam pun memiliki kesadaran. Berger menegaskan kesadaran tidak hanya identik dan hanya dimiliki oleh kalangan ahli. Namun demikian memang, dalam kesimpulan Berger, kesadaran kalangan ahli menempati kedudukan lebih tinggi dibandingkan kalangan awam disebabkan terbentuknya kesadaran tidak dapat dipisahkan dari penguasaan ilmu dan informasi. Dalam status ini, kesadaran kita samakan dengan akal sehat, yakni nalar umum yang digunakan untuk memahami dan menilai kondisi kehidupan yang sedang dialami.

Dengan akal sehatnya, kalangan awam memiliki peran lain yang sangat penting dalam penjagaan ajaran agama untuk menghadapi dan mencegah terjadinya pengrusakan agama yang pada zaman kini dilancarkan oleh dua pihak, yakni (1) penganut liberalisme agama; dan (2) penganut sekularisme dengan berbagai varian dan gradasinya.

Berbeda dengan kalangan ahli yang menempati garda terdepan dalam menghadapi berbagai gerakan perlawanan dan pembongkaran agama dengan penguasaan ilmu yang dimiliki, sehingga menekankan pada kemampuan intelektualitas, misal pada kasus pemikiran yang menggugat otentisitas Al-Quran sebagai Wahyu dari Tuhan, faktualitas sosok Rasul Muhammad, dan sebagainya. Dalam persoalan yang sama, kalangan awam menempati benteng terakhir penjaga ajaran agama dengan nalar sehat yang dimilikinya.

Saya masih ingat tahun ketika ITJ muncul untuk menghadapi serbuan liberalisasi Islam, tidak sedikit disambut oleh kalangan awam yang pada masa itu beberapanya berasal dari kalangan artis. Bagi mereka, pemikiran yang dilontarkan mengenai Al-Quran dan kenabian adalah tidak patut dialamatkan pada agama yang suci. Kasus lainnya, gagasan dan praktik shalat Jumat secara daring pada awal pandemi pun menyulut tanggapan kalangan awam yang berdasarkan akal sehatnya dinilai nyeleneh. Di sinilah pentingnya persepsi kalangan awam mengenai agama yang dianut dan dipraktikkannya sebagai entitas suci dari Tuhan, sehingga mendorong mereka untuk berani menghadapi berbagai pihak yang mencoba mengotori dan menghilangkan kesucian agama. Kesadaran semacam inilah yang dikatakan Berger sebagai Sacred Canopy.

Persepsi kalangan awam berbeda dengan persepsi kalangan ahli yang sebagiannya memahami agama sebatas ilmu pengetahuan yang menekankan pada dimensi intelektualitas semata, sehingga dalam melakukan kajian terhadap agama menekankan pada kebaharuan (novelty) yang tidak selalu sejalan dengan kebenaran maupun kebermanfaatan. Dari sinilah liberalisasi agama berawal yang pada banyak kasus didukung faktor finansial dari pemberi dana di negeri Barat untuk melangsungkan proyek Pluralisme dan Liberalisme.

Memang harus dipahami dan dimaklumi cara kalangan awam menjadi benteng terakhir dalam menjaga ajaran agama tidak sama dengan kalangan ahli yang mengandalkan intelektualitas. Kalangan awam lebih didorong perasaan emosional setiap kali mendapati agama yang dianutnya digugat, direndahkan, dan dibongkar dengan melancarkan mekanisme pengucilan sosial, merendahkan kehormatan, hingga dengan perkataan yang oleh kalangan ahli akan dinilai tidak pantas disampaikan di lingkup akademik. Namun demikianlah mekanisme yang dimiliki kalangan awam yang selalu berupaya menurunkan kedudukan, bahkan mengeluarkan pihak yang dianggap sebagai ancaman bagi ajaran agama yang dianut kan dari struktur sosial masyarakat Islam.

Menempati struktur sosial yang sama dengan kalangan ahli, menjadikan mekanisme penjagaan agama yang dimiliki dan dilakukan kalangan awam tidaklah sepenuhnya atas inisiatif golongannya sendiri, tetapi sedikit banyaknya dipengaruhi pula oleh kalangan ahli berupa pemberian fatwa, penjelasan yang mengungkapkan suatu masalah, hingga pembiaran yang dianggap oleh kalangan awam sebagai lampu hijau untuk melajukan penyerangan terhadap pihak yang dinilai sebagai pembongkar agama.

Pada zaman kontemporer saat ini, penjelasan perihal keberlangsungan mekanisme di atas terkait soliditas struktur sosial masyarakat Islam tidak sepenuhnya tepat sebab terdapat jarak yang semakin menganga lebar antara kalangan awam dan kalangan ahli akibat revolusi informasi salah satunya yang menjadikan kalangan awam sedikit demi sedikit merasa memiliki otonomi, sehingga merasa tidak sepenuhnya bergantung pada kalangan ahli. Relasi dua kalangan umat Islam yang oleh Kuntowijoyo disebut relasi abstrak turut menyebabkan terjadinya mekanisme penjagaan ajaran agama oleh kalangan awam tanpa kontrol dan pengawasan dari kalangan ahli, sebagaimana kita dapati di media sosial. Tentu saja efek mekanisme ini semakin kuat dirasakan oleh pihak yang dianggap berseberangan oleh kalangan awam tanpa hampir dapat dibendung dan dihentikan, sampai fokus kalangan awam beralih pada masalah lain.

Di satu sisi kalangan ahli harus berupaya mendekatkan jarak dengan kalangan awam agar memperkuat soliditas dan solidaritas struktur sosial masyarakat Islam yang merupakan syarat terwujudnya masyarakat yang kuat dan tangguh. Dengan begitu mekanisme penjagaan ajaran agama yang dimiliki kalangan awam dapat diarahkan dan dikontrol dengan benar, tepat, dan efektif. Sementara di sisi lain, pada banyak kasus terlebih di era informasi dengan media sosial sebagai ruang publik yang sarat diwarnai pelecehan dan penistaan terhadap ajaran agama, keberadaan kalangan awam sebagai benteng terakhir sangat diharapkan perannya. Tanpa keberadaan mereka, agama dengan mudah akan dijadikan sebagai objek permainan dan proyekan sebagian kalangan intelektual.



----

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Editor : Alfrisa Ica