Senin, 27 Maret 2023

Bermegah-megah Membangun Masjid

                                                
                                               (Halaman Depan Masjid Syekh Zayed, Solo)

Oleh : Kholid Misy'alul Haq*

Indonesia makin bermasjid beberapa tahun ini. Masjid Raya Sheikh Zayed (Surakarta) dan Masjid Al Jabbar (Jawa Barat) yang baru diresmikan akan segera disusul Masjid Seribu Bulan (Banyumas). Sudah banyak masjid megah mendahului mereka, sedikitnya ada Masjid Kubah Emas (Depok), Masjid Istiqlal (Jakarta), Masjid Raya Baiturrahman (Aceh), Masjid Agung (Jawa Tengah), Masjid Al Akbar (Surabaya), Masjid Kubah 99 Asmaul Husna (Makassar), Masjid Al-Irsyad (Bandung), Masjid Raya Sumatra Barat, Masjid Raya Makassar, dan Masjid Agung Tuban. Menurut Ayub dalam Manajemen Masjid (1996), rata-rata masjid megah dan besar menyempit aspek fungsionalnya. Masjid hampir hanya tempat untuk sholat dan menyelenggarakan acara tahunan hari besar Islam.

Aktivitas muamalah masyarakat dipinggirkan keluar masjid. Masjid menjelma wisata religi lengkap dengan pedagang oleh-oleh dan suvenir. Jual beli, interaksi sosial dan lain sebagainya seringkali bermotif ekonomi untuk mengisi kantong pribadi. Persaingan kepentingan tak terhindarkan. Masjid bisa berperan menghadapi permasalahan di atas. Takmir misalnya bisa mengadakan penyuluhan dan pelatihan mengenai konsep muamalah (terkhusus jual beli). Jika terjadi perselisihan, masjid bisa mengadakan advokasi. Kita berharap masyarakat mendapatkan kesejahteraan yang merata. Dalam kasus masjid megah sebagai wisata religi, “mendandani” bangunan masjid menjadi prioritas pihak pengelola. Ini dilakukan untuk menarik minat berkunjung masyarakat muslim.

Masjid yang menjadi wisata religi pun belum mampu mencipta ikatan sosiologis-psikologis- spiritual para pengunjung. Kedatangan mereka yang insidental tidak mampu mengekalkan ikatan ini. Masjid terancam kehilangan Jemaah tetap. Kebutuhan sosiologis (membangun masyarakat), psikologis (kedekatan batin, rasa rindu), dan spiritual (peningkatan iman dan takwa) teralihkan keindahan bangunan dan ornamen (estetika). Kehadiran masjid di tengah masyarakat semestinya bisa menjangkau dimensi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, lingkungan (ekologi), dan berbagai aspek lain dalam kehidupan umat Islam.

Pada tahun 2020, Kementrian Agama menetapkan 8 klasifikasi masjid yang dibedakan berdasarkan kududukan dan tipenya. Pertama, Masjid Negara yang berada di Ibu Kota Negara Indonesia. Kedua, Masjid Nasional yang berada di Ibu Kota Provinsi (ditetapkan oleh Menteri Agama). Ketiga, Masjid Raya yang berada di Ibu Kota Provinsi (ditetapkan oleh gubernur). Keempat, Masjid Agung yang berada di Ibu Kota Kabupaten/Kota (ditetapkan oleh bupati/walikota). Kelima, Masjid Besar yang berada di Kecamatan. Keenam, Masjid Jami yang terletak di pusat pemukiman di wilayah pedesaan/kelurahan. Ketujuh, Masjid Bersejarah yang berada di kawasan peninggalan Kerajaan/Wali penyebar Agama Islam/memiliki nilai besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Kedelapan, Masjid di tempat publik yang terletak di kawasan publik untuk memfasilitasi pelaksanaan ibadah masyarakat. Masjid Agung, Masjid Negara, Masjid Nasional, dan Masjid Raya ialah kategori masjid yang saya bicarakan di alinea-alinea sebelumnya.

Klasifikasi masjid juga dilakukan oleh Andika Saputra berdasarkan aspek fungsionalnya. Pertama, Masjid Permukiman yang terletak di tengah-tengah ruang kehidupan umat Islam. Dengan begitu masjid menjadi bagian dari realitas masyarakat sebagai pusat ibadah dan komunitas umat Islam. Kedua, Masjid Pasar yang terletak di pasar (pusat arus ekonomi umat Islam). Masjid Pasar bertugas sebagai penyedia kaum profesional, penghubung dengan swasta dan sumber pendanaan.

Ketiga, Masjid Kampus sebagai penyedia kaum intelektual. Letaknya di pusat pengembangan ilmu pengetahuan bertugas untuk menyediakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan umat. Kalangan akademisi berperan sebagai penyusun agenda, program, dan rencana serta mengadakan pendampingan, pembimbingan sekaligus pengawasan. Keempat, Masjid Jami yang terletak di tengah kota. Masjid Jami bertugas sebagai koordinator jejaring masjid yang meliputi tiga masjid sebelumnya. Masjid Jami bisa menjadi penghubung umat Islam dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan sumber pendanaan.

Sidi Gazalba menyebut masjid harus mampu menyeimbangkan dimensi ibadah mahdah (vertikal) dan ghairu mahdah (horisontal). Saat ini kita melihat Masjid Agung hampir semuanya memprioritaskan penggunaan ruang sholat Masjid untuk pelaksanaan ibadah mahdah saja, seperti sholat lima waktu, sholat Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan sholat Jum'at.

Satu lagi ketegori masjid dari Kusnadi selaku Ketua Takmir Masjid Al Falah (Sragen). Ia menyebut Masjid Safar sebagai rujukan orang bersafar maupun belajar dalam memakmurkan masjid dari pergerakan pemudanya. Letaknya di pinggir jalan-jalan besar perkotaan dan sering dilalui musafir ketika perjalanan jauh.

***
Suatu hari saya dan kawan takmir Masjid Kampus bersafari dan studi banding masjid di Yogyakarta. Pertama-tama kami harus menentukan lokasi menginap. Teman saya menyarankan Real Masjid. Real Masjid tak asing bagi para pemuda hijrah dan orang-orang yang dolan ke Jogja. Saya sendiri ingin ke Masjid Agung. Saya ingin menguji stigma Masjid Agung tidak ramah musafir yang hendak beristirahat, terutama perempuan. Berangkatlah rombongan ke Jogja.

Siang harinya kami mendaratkan kaki di Masjid Kampus UGM. Kunjungan digenapi diskusi bersama kawan-kawan aktivis masjid. Sorenya kami meluncur ke Masjid Jogokariyan. Nuansa kemakmuran dan kesejahteraan warga mengelilingi masjid permukiman tersebut. Masjid Jogokariyan bisa seramai ini karena senantiasa memberikan dan mengedepankan kemakmuran serta kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya. Masjid mampu berperan sebagai sebagai pusat ibadah dan komunitas masyarakat muslim.

Malam hari kami ke Masjid Teras Dakwah. Masjid ini menjadi salah satu kesukaan anak muda sekarang. Nuansa majelis yang dihadirkan oleh masjid ini dikonsep mengasikkan. Menjelang tengah malam, tibalah waktu pembuktian. Rombongan lain langsung menuju Real Masjid untuk istirahat. Penemuan kami terjawab sudah. Beberapa Masjid Agung melarang Jemaah menginap. Ada juga yang memerlukan izin khusus dari pihak keamanan sekitar. Lelah dan kecewa menyeret kami ke Real Masjid

Sampai di sana, kami disambut suasana berbeda: masjid masih “hidup”. Beberapa anak muda mengisi malam di sekitar masjid dengan obrolan dan permainan. Kami pun terkejut mendapati masjid semakin ramai pengunjung. Terkenanglah masjid megah, besar, dan monumental yang kami kunjungi tadi.

Berdasarkan pengalaman ini, saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, terdapat perbedaan keramaian Masjid Agung, Masjid Permukiman, Masjid Kampus dan Masjid Safar. Masjid Agung ramai dikunjungi orang-orang karena keindahan bangunan. Jemaah tak akan lama berkunjung ke masjid, dan masih lama untuk berkunjung lagi. Keadaan berbeda di Masjid Permukiman. Masjid ramai masyarakat yang rutin datang. Mereka mengalami masjid berperan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Masjid kampus dengan berbagai majelis ilmunya juga dapat mengekalkan kehadiran jemaahnya. Begitupun Masjid safar yang menarik orang datang karena kenyamaman dan keramahan bagi musafir yang beristirahat.

Kedua, pengalaman tadi menegaskan bahwa besar atau kecil ukuran fisik masjid, kemegahan dan kemonumentalannya tidak linear dengan optimalisasi fungsi masjid. Justru masjid-masjid kecil dan sederhana seperti Masjid Jogokariyan dan Real Masjid lebih berhasil menyelenggarakan fungsi masjid dengan baik.

Memang menikmati estetika keindahan suatu bangunan dalam arsitektur bisa memberikan penyegaran dan pengalaman ruang kepada orang yang mengunjunginya. Tapi apakah menikmati keindahan bangunan yang sementara itu bisa menjawab kebutuhan masyarakat sekitarnya? Jawabannya bisa kita tunda. Tentu kebutuhan umat yang kompleks dalam berbagai aspek jelas sulit terpenuhi jika masjid hanya mampu menyenangkan mata.

Umat Islam semestinya mampu berkaca dari pengalaman keseharian mereka. Bermegah-megah dalam perlombaan membangun masjid dapat membuat kita abai pada hakikat masjid. Dari sini kita bisa mulai berpikir dan bergerak “membangunkan” masjid permukiman. Dengan begitu masjid tak melulu urusan akhirat. Masjid kembali relevan bagi kehidupan dunia umat Islam.

Wallahu a’lam.

----

*Mahasiswa Arsitektur UMS, Pegiat SEED Institute dan Relawam Maskam Sudalmiyah Rais, UMS.

Editor: Alfisa Ica