Jumat, 24 Februari 2023

Aktivasi Masjid: Jamaah Temporer vs Jamaah Kekal




(Rg. Utama"Haram" Masjid Sudalmiyah Rais, UMS)
   
Oleh : Kholid Misy'alul Haq*

Saat ini, Saya sedang menuntut ilmu sebagai mahasiswa di program studi Arsitektur sekaligus menjadi marbot masjid di kampus. Pernah menjadi penggerak Masjid melalui Remaja Masjid di desa, menjadikan diri saya secara personal mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masjid saat ini. Memiliki keterikatan secara emosional dan sosial dengan masjid saat ini merupakan hasil dari berbagai bentuk didikan orang tua serta aktivitas saya dulu yang lebih sering ke masjid. Bersamaan dengan itu, saat ini saya menjadi bagian dari Pejuang Masjid Kampus dimana berisi sekumpulan mahasiswa yang mempunyai visi sama yaitu memakmurkan Masjid. Problematika yang sering saya dan teman-teman pejuang Masjid bahkan juga para aktivis masjid lainnya hadapi adalah bagaimana cara memakmurkan Masjid.

Adapun makna memakmurkan masjid sependek pengetahuan yang saya tangkap secara umum dibagi menjadi 2, yakni memakmurkan Masjid secara fisik dan non fisik. Pertama, memakmurkan secara fisik artinya memakmurkan bangunannya seperti memperbaiki bangunan Masjid, memperindah arsitektur Masjid, membersihkan bagian-bagian Masjid serta memberikan pelayanan untuk Masjid. Kedua, memakmurkan Masjid secara non fisik maksudnya menghidupkan Masjid dengan berbagai ibadah-ibadah mahdhah dan ghairuh mahdhah seperti shalat di masjid, berdzikir di dalamnya, menunjuk imam sholat juga muadzin yang fasih bacaannya, menyelenggarakan kajian-kajian agama dan keilmuan seperti halaqah qur’an, tafsir, ulumul hadits, fiqih, syariah, dakwah, filsafat, membahas problematika ummat, dan berbagai ilmu-ilmu yang bermanfaat lainnya. Intinya dalam memakmurkan Masjid perlu mengembalikan dan menyelenggarakan fungsi masjid kepada masyarakat atau jamaahnya.

Kembali pada cerita dimana para pejuang Masjid yang terus merencanakan, mengkonsep, dan merealisasikan bagaimana terwujudnya visi memakmurkan Masjid itu bisa tercapai. Konsep tersebut ternodai oleh cara instan dengan tuntutan nilai memaksa mahasiswa untuk meramaikan masjid melalui kebijakan kampus. Saya ingin bercerita terlebih dahulu tentang kegiatan pendidikan keagamaan wajib dari kampus untuk mahasiswa baru yang dilakukan di semester 1 dan 2. Kegiatan itu bernama baitul arqam yang merupakan kegiatan pembinaan serta peningkatan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bagi seluruh sivitas akademika kampus. Kegiatan ini menurut saya sangat pantas dan memang harus dilakukan bahkan dicontoh oleh kampus-kampus Islam yang lain sebagai pondasi awal dari menuntut ilmu yaitu pembentukan adab, akhlak dan karakter Islami. Ditambah pendidikan tentang fiqh dan keislaman yang lain menjadi pengisi mahasiswa baru di awal perkuliahan mereka. Kegiatan ini dilakukan bermukim selama 4 hari di pondok.

Dalam waktu dekat ini setelah pandemi covid berakhir penempatan baitul arqam dipindah ke masjid kampus karena renovasi dan pembangunan pondok. Kegiatan Baitul Arqam kali ini dengan kloter 4 hari sekali secara rutin non-stop dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore dilaksanakan di Masjid Kampus. Pemilihan tempat pemindahan yang full di satu masjid kampus beralasan karena ingin memakmurkan masjid kampus dengan keramaian tiap harinya yang terjamin dari peserta baitul arqam. Memang betul kata gus baha dalam mendidik seseorang itu harus dimulai dari keterpaksaan. keterpaksaan yang akhirnya berubah menjadi kebiasaan. Namun, hal itu hanya akan efektif pada lingkup pondok pesantren lama. Positifnya dari pemindahan tempat baitul arqam ini adalah membuat kesan pertama yang bagus untuk peserta baitul arqam kepada Masjid kampus. Peserta baitul arqam akan mendapatkan pengalaman pertama belajar tentang keislaman di tempat paling sakral kampus yaitu Masjid.

Tapi disini negatifnya adalah porsi Masjid yang juga diperuntukkan untuk aktifitas ibadah mahdhah bahkan ibadah ghairu mahdhah dari ranah lainnya harus membatalkan kegiatannya karena waktu setiap harinya di Masjid dari pagi sampai sore diperuntukkan untuk kegiatan baitul arqam saja. Memang memberikan kebijakan untuk memaksa mahasiswa menempati Masjid sebagai kewajiban mengikuti baitul arqam bisa menjadi cara untuk aktivasi Masjid. Tapi tak jarang dalam kasus ini jika kita melihat fakta di lapangan yang sering terjadi adalah keterpakasaan tersebut hanya mengahasilkan pemenuhan tujuan jangka pendek. setelah tuntutan nilai itu sudah tercapai, tidak ada keterikatan secara emosional, sosial maupun kenyamanan dengan masjid jika tidak diiringi dengan memakmurkan Masjid secara fisik maupun non fisik berupa pengalaman yang nyaman untuk berdiskusi, belajar maupun beristirahat di dalam masjid. Apalagi jika melihat kebijakan yang diambil adalah memenuhi waktu dan tempat masjid untuk kegiatan yang sama selama 4 hari berulang-ulang tanpa berhenti dan tidak dibarengi dengan pengaktifan dari ranah kegiatan yang lain juga.

Bahkan tak jarang pelaksanaan kegiatan tersebut yang non-stop dan tergolong ibadah ghairu mahdhah justru ikut mengganggu pelaksanaan ibadah mahdhah yang dilakukan jamaah lain di ruang sakral. Mendiang Gurunda saya, Ustadz Andika Saputra Allahuyarham selalu mengatakan dalam diskusinya bahwa Masjid secara ruang dibagi menjadi 2, yaitu ruang sakral dan ruang profan. Ruang sakral untuk pemenuhan ibadah mahdhah agar tidak terganggu oleh aktifitas ibadah ghairu mahdhah yang sudah disediakan ruang profan di masjid.

Sebagaimana fungsi Masjid yang merujuk pada asal katanya berarti tempat bersujud tapi bukan berarti Masjid sebagai tempat orang bersujud seperti sholat saja. Memang dalam pengertian awal masjid adalah tempat untuk bersujud tapi yang diartikan bersujud disini bukan hanya semata-mata menunaikan sholat. Melainkan juga bersujud adalah bentuk ibadah kita yang kita pasrahkan dan niatkan kepada Allah azza wajalah sebagai contoh ibadah muamalah dan sejenisnya. Sidi gazalba dalam bukunya Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan mengartikan sujud adalah sebagai ungkapan ibadah, ungkapan yang mendalam. Sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kesaksian atau pengakuan lidah diakui oleh seluruh tubuh manusia berupa gerak lahiriah yang terkait dengan iman dan gerak batin yang mendukung iman adalah salah satu bentuk bersujud atau beribadah.

Teringat oleh pendapat Sidi gazalba yang menjelaskan bahwa ada 2 hukum yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan fungsi Masjid yaitu hukum keseimbangan hubungan antara manusia dengan tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia serta hukum keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Oleh karena itu, fungsi Masjid sebagai pusat peradaban Islam harus meliputi fungsi yang berdimensi akhirat yaitu ibadah mahdhah, dan fungsi yang berdimensi dunia yaitu ibadah ghairu mahdhah. Aktivitas pemenuhan dari ibadah ghairuh mahdhah salah satu lingkupnya adalah bermuamalah. Apalagi dalam konteks masjid ini, pemenuhan kebutuhan masyarakat di sekitarnya juga menjadi bagian penting dalam memakmurkan masjid.

Melihat beberapa pandangan dari hakikat fungsi masjid dan yang seharusnya dilakukan dalam memakmurkan Masjid adalah dengan memberikan porsi pada masing-masing aktivitas ranah ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah sehingga jamaah yang tercipta bukan hanya menjadi jamaah sementara atau temporer dengan tuntutan nilai tapi akhirnya tercipta jamaah kekal dalam artian memiliki keterikatan emosional, sosial dan keilmuan selamanya dengan masjid serta masjid bisa menjadi tempat untuk pemenuhan kebutuhan ummat dari berbagai ranah.

Wallahu’alam bishawab.


----

*Mahasiswa Arsitektur UMS, Pegiat SEED Institute dan Relawam Maskam Sudalmiyah RaisUMS.

Editor: Alfisa Ica