Rabu, 03 Januari 2024

JANGAN MAU JADI BIAWAK






(Picture by : Jongfajar Kelana)


Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Semalam saya mungkin telah “mengkerdilkan” pikiran saya sendiri.
Apa sebab? Menurut seseorang yang mengutip ucapan orang lain, bila saya
memperbanyak tidur, sementara badan belum lelah, itulah satu pengkerdilan diri
manusia. Dan masih sebagai manusia, semalam saya memilih tidur setelah melihatjam menunjuk pukul 1 tengah malam.

Memang pikiran saya masih bersemangat mengingat potongan diskusi
bertajuk “Literasi dan Realitas Sosial Akhir Tahun”. Diskusi beralamat di
kampus 1 Universitas Muhammadiyah Mamuju. Ketika moderator memberi kesempatan
pada peserta untuk bertanya dan menanggapi, ada hening cukup panjang. Melihat
suasana khidmat begitu, saya sambar saja kailnya.

Ada dua hal yang saya tanggapi. Dan baru tadi malam saya menyadari
kalau tanggapan itu masih terburu-buru. Ibarat masak nasi, beras belum sempurna
jadi nasi. Maka, malam tadi di kepala saya terjadi dialog imajiner. Seolah saya
mengulang diskusi Sabtu (30/12/2023) lalu.

Salah satunya ialah mengenai hakikat manusia sebagai makhluk
berakal. Pemateri menyebut manusia sebagai makhluk yang berpikir dan berbicara.
Hewan punya otak, tapi tak berpikir. Mereka hidup berdasar insting. Sedang
manusia, dengan otaknya, diberi potensi berpikir. Dari “keberpikirannya” itulah
manusia lalu berbicara (saya sendiri lebih cocok dengan “berbahasa”).
Konsekuensinya, manusia diangkat derajatnya dari makhluk ciptaan Tuhan yang
lain. Sudah fitrah manusia lebih tinggi dari kucing yang biasa kita lihat berak
di muka umum.

Pengecualian tentu ada. Ini kebiasaan manusia. Salah satunya kita temukan dalam salah satu lirik lagu band Hello: Di antara beribu bintang / hanya kaulah yang paling terang / Di antara beribu cinta / pilihanku hanya kau sayang. Memilih yang satu, membuat lainnya sebagai “yang tak terpilih”.

Pengecualian juga dilakukan pemateri dalam diskusi. Kita maklum ia
pun manusia pada umumnya. Kalimatnya berbunyi begini: “Manusia yang kehilangan
keberpikirannya lebih rendah dari hewan.” Manusia yang tidak memanfaatkan
dengan baik kemampuannya untuk berpikir, adalah pengecualian dari ketinggian
derajat sebagai makhluk sempurna ciptaan Tuhan. Mereka bisa tak sengaja menjadi
makhluk lain bernama massa yang tak ubahnya hewan ternak. Itu kata Sanu dalam
novel Sanu Infinita Kembar (2002) karangan Motinggo Busye.

Malahan, nasibnya bisa lebih rendah di bawah kaki kecoa di kakus
atau comberan. Ini diantara konsekuensi (menurut kalimat pemateri) jika manusia
“kehilangan keberpikirannya”.

Setelah pengecualian, masih ada pengecualian. Manusia yang
berpikir sekalipun masih bisa turun derajatnya jadi sebangsa hewan atau
tumbuh-tumbuhan. Devolusi ini terjadi apabila manusia menyalahgunakan akal
pikirannya. Dan uanglah yang paling sering membuat manusia terpelanting dari
singgasana kemanusiaannya.

Mengenai hal ini, saya suka sekali dengan tulisan Mahbub Djunaidi
berjudul “Bendaharawan” di kolom Asal Usul Harian Kompas tertanggal
8 Februari 1987. Ia menulis begini mengenai seorang yang jadi bendaharawan:
“Jika Anda lurus dan normal, orang akan menyanjung Anda, akan jadi buah bibir
orang sekampung, dan boleh jadi tangan Anda akan diciumi orang bertubi-tubi.
Sebaliknya, sedikit saja Anda menyelipkan uang kepercayaan itu ke dalam kocek
Anda sendiri, orang akan menggunjingkan Anda, dan Anda bukan lagi manusia,
melainkan kadal. Dan apabila jumlah yang Anda ambil itu amat banyak, maka Anda
bukan lagi disebut kadal, melainkan biawak.”

Beda lagi dengan manusia yang secara harfiah benar-benar
“kehilangan keberpikirannya”. Keadaan seperti ini dapat terjadi sejak awal atau
di tengah keasikannya menjalani kehidupan sebagai manusia. Kondisi inilah yang
sempat terpikir di lantai tiga kampus 1 sore kemarin. Ini alasan saya tidak
sepaham dengan pendapat pemateri.

Yang teringat oleh saya ialah buku Gelandangan di Kampung Sendiri (2016)
karangan Emha Ainun Nadjib. Buku
itu bersampul kuning. Di buku, ia menulis balasan atas surat permohonan maaf
kepada dirinya: “Saya tidak berhak memberi maaf kepada Anda sebab menurut
pengetahuan saya Anda bersalah tidak kepada saya, tetapi kepada Tuhan, kepada
gadis gila itu dan kepada diri Anda sendiri.”

Cerita singkatnya, sekelompok anak muda Tariqah berkunjung
ke rumah Emha. Memang rumah itu tak pernah ia kunci. Semua orang boleh datang.Termasuk Si Inur, “seorang yang dirahmati oleh Allah dengan kegilaan,” tulis Emha. Ia panggil Si Inur (yang tiba-tiba saja nongol) dan diajak bersalaman
dengan mereka. Melihat mereka enggan menerima uluran tangan Si Inur (walau
tetap berkata sopan), Tuan rumah “bukan hanya marah, tetapi juga meledak-ledak dengan kata-kata amat keras dan terus terang.”

Sebaiknya saya tuliskan satu paragraf utuh pendapat Emha mengenai
kejadian ini:

“Apakah tamu-tamu saya ini merasa yakin akan masuk surga dan Si
Inur pasti masuk neraka sehingga tak punya kehormatan setitik pun untuk
diterima uluran tangannya? Sedangkan, gadis ini sejak beberapa tahun yang lalu
telah selamat hidupnya karena segala perbuatannya akan tidak dikalkulasikan
oleh Allah berkat kegilaannya, sementara tamu-tamu ini masih menapakkan kakinya di jalanan licin penuh lumpur dosa-dosa?”

Membaca pandangan dan sikap Emha yang bersedia menerima dan ngewongke
seorang gadis yang “kehilangan keberpikirannya”, membuat saya mengoreksi diri.
Dengan akal-budi manusia dapat memikirkan hal-hal yang muluk-muluk seperti
peradaban, kebudayaan, globalisasi, dan filsafat. Akal-budi menentukan
(potensi) kemuliaan manusia. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tak
berakal-budi? Tuhan sendiri yang memuliakannya!

Saya membayangkan, orang-orang gila yang ditertawakan oleh
orang-orang berakal, tak akan kerepotan dengan hinaan tersebut. Kita bisa
sangat bersyukur karena tak mengalami nasib seperti mereka. Tetapi, bila sudah
di hadapan mahkamah akhirat, adakah penyesalan bermanfaat untuk kita.


----
* Pegiat SEED Institute
Editor : Alfrisa Ica