Minggu, 30 Oktober 2022

KONSUMERISME DAN TANTANGAN HIDUP SEHAT

Sumber: unsplash.com


Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Ahad pagi ini (30/10) ketika saya memberi makan ikan-ikan di kolam Madjid Baitul Atiiq, Kartasura saya melihat Bunda Nurul Ummatun Kamal dan kedua anaknya (Dek Esa dan Dek Nalar) di halaman masjid. Saya lalu menghampiri beliau yang kelihatannya sedang istirahat setelah berolah raga pagi. Pak Andika masih jalan, kata Bunda.

Kami membicarakan banyak hal, mulai dari percakapan ringan tentang kehidupan sehari-hari sampai isu-isu kekinian. Kita masih kekurangan ilmu tentang gaya hidup sehat berdasarkan pandangan alam Islam (Islamic worldview), begitu kurang lebih kata Bunda. Saya lalu mengatakan kalau dua hari yang lalu saya dan Pak Andika juga membicarakan hal serupa. Saat itu beliau juga sedang rehat setelah jalan pagi di depan masjid.

Pembicaraan mengenai perlunya ilmu (dan teks) tentang gaya hidup sehat yang berlandaskan pada pandangan alam Islam meliputi pola makan dan minum, olah raga, istirahat, dan yang serupa itu. Tentu saja kesemuanya tidak hanya harus sesuai dengan turots ulama klasik, tetapi juga harus memperhatikan kondisi masyarakat manusia hari ini: alam dan masyarakat yang melingkupinya. Pertimbangan ini diperlukan karena pengkajian terhadap teks-teks klasik yang ditulis oleh para ulama terdahulu dengan segala kebesarannya, tetap saja terbatas konteks yang jauh berbeda dengan hari ini.

Apa yang dikatakan oleh Pak Andika dan Bunda Uum menurut saya sangat penting dan mendesak jika melihat gaya hidup masyarakat Indonesia (paling tidak masyarakat di sekitar Kartasura dan kampus saya) hari ini. Mulai saya masuk pada tahun 2017 hingga hari ini, terjadi perubahan besar dalam lingkungan alami dan buatan di Kartasura: sawah-sawah tergantikan dengan kafe-kafe, volume kendaraan meningkat, dan jumlah pedagang jajanan semakin banyak. Ketiga perubahan ini bisa kita generalisasikan menjadi dua masalah umum, yakni 1) meningkatnya daya konsumsi yang berdampak pada 2) meningkatnya potensi gangguan kesehatan.

Konsumerisme di kalangan manusia merupakan fenomena yang kompleks. Tapi karena keterbatasan ruang cukuplah saya sederhanakan persoalannya sebagai tingginya daya konsumsi mahasiswa yang tidak lagi berdasarkan pemenuhan kebutuhan, melainkan pemuasan keinginan. Fenomena mahasiswa yang mengerjakan tugas atau cuma nongkrong di kafe selain karena nyaman dan menyediakan makanan dan minuman yang enak, juga dapat meningkatkan status (citra?) sosial.

Kalau kita menanyakan fenomena menjamurnya kafe yang menggantikan sawah pada skala kebutuhan manusia, lebih butuh mana antara kopi atau beras? Tentu saja kebutuhan terhadap beras sebagai salah satu bahan pokok pangan lebih utama daripada kopi (dengan segala jenis minumannya) yang disediakan di kafe-kafe. Hal ini bukan berarti mahasiswa yang rajin ke kafe tidak lagi menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Mereka tetap makan nasi kok. Hanya saja kopi yang seharusnya menjadi kebutuhan lapis ketiga (tersier), dibuat seakan-akan menjadi kebutuhan lapis kedua (sekunder) bahkan lapis pertama (primer), kalau mau nongkrong ya di kafe, minum kopi, sambil menatap matahari terbenam di sore hari. Minum kopi lalu menjadi kebiasaan yang harus dipenuhi secara berkala 

Di sisi yang lain persoalan pengurangan lahan produksi pertanian jika dibawa ke lingkaran yang lebih besar maka bisa juga kita kaitkan dengan import beras yang terus dilakukan oleh pemerintah. Tapi bukan di sini tempatnya untuk membicarakan hal tersebut.

Selanjutnya dengan berkurangnya lahan hijau di dalam ruang kehidupan manusia. Belum lagi ditambah dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, menyebabkan kondisi udara semakin hari semakin tidak sehat. Dalam kondisi ini, manusia di luar tempat tinggalnya selalu menghirup udara kotor yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Selain tentang kualitas udara yang berkurang, manusia sebagai pengendara pengendara melakukan mobilisasi ruang kehidupan setiap hari tidak lagi melibatkan badan secara aktif. 

Di satu sisi kendaraan bermotor berhasil mengurangi waktu dan jarak dalam berpindah tempat, juga meminimalisir jumlah tenaga yang dikeluarkan. Namun di sisi yang lain badan semakin lama semakin sedikit geraknya, misalnya dengan kebiasaan berjalan kaki tidak lagi menjadi pilihan.

Problem terakhir ialah jumlah pedagang jajanan semakin banyak. Jajanan yang dijual di pinggir jalan itu praktis, murah dan enak, tapi seringkali tidak memenuhi standar kesehatan: gizinya tidak seimbang, minyaknya digunakan berkali-kali, serta banyaknya terpapar debu dan asap kendaraan. Apakah kekurangan-kekurangan ini menjadi perhatian dan bahan pertimbangan para pembeli dan penjual? Tentu saja tidak. 

Konsumsi jajanan secara rutin tentu saja tidak baik untuk kesehatan, terutama anak-anak. Dilansir oleh situs halodoc.com, beberapa dampak konsumsi jajanan bagi anak-anak seperti keracunan makanan, diare, tipes, kerusakan hati, hingga dapat memicu kanker karena pewarna, pemanis, dan pengawet buatan yang dikonsumsi terus menerus. Selain itu kekurangan gizi juga bisa terjadi karena bahan baku yang digunakan tidak segar dan pengolaannya tidak memperhatikan kualitas gizinya. Bahaya ini belum termasuk bahaya mengkonsumsi makanan cepat saji (junk food) yang sangat mudah diperoleh di lingkungan perkotaan.

Dalam kondisi inilah manusia hidup. Di satu waktu masalah Konsumerisme semakin hari semakin luas (terutama mahasiswa sebagai objek potensial untuk perluasan pasar) dan masalah kesehatan yang senantiasa mengintai kehidupan modern. Meskipun dikatakan kalau ilmu kedokteran yang semakin canggih turut meningkatkan angka harapan hidup manusia, akan tetapi ancaman akan kesehatan hidupnya juga semakin kompleks. Berbagai gangguan kesehatan semakin dekat dengan kita semua. Maka untuk menanggulangi hal tersebut, perhatian terhadap gaya hidup sehat dan wajar menjadi penting. Mengatur pola makan dengan gizi seimbang, memenuhi kebutuhan air putih, serta berolah raga secara rutin adalah upaya yang harus dilakukan secara rutin.

Beberapa upaya di atas dapat kita lakukan secara mandiri untuk menjaga pola hidup sehat. Pemahaman yang baik tentang hirarki prioritas kebutuhan hidup juga sangat penting, agar kita tidak terjebak pada tren populer saja. Untuk itu upaya yang lebih serius, terstruktur dan berkesinambungan perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan merumuskan ilmu kesehatan yang bernafaskan Islam tadi: bagaimana pola olah raga, pola makan dan minum,  pola istirahat dan sebagainya sesuai dengan ajaran Islam (bersifat universal dan melampaui zaman) dan ibrah dari kehidupan Rasulullah saw. (memiliki keterbatasan konteks masyarakat Arab 14 abad lalu tapi dapat menjadi inspirasi kehidupan hari ini). Wallahu a'lam.**

_____
*Mahasiswa PAI UM Surakarta, Pegiat SEED Institute
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis dengan judul Konsumerisme dan (impian) Hidup Sehat dengan hari Ahad, 30 Oktober 2022. 

Penyunting: Ferdi

Selasa, 25 Oktober 2022

MENYOAL TULISAN MUHAMAD BUKHARI MUSLIM “NON-MUSLIM JUGA BISA MASUK SURGA”

Sumber: unsplash

Oleh: Muhammad Ibnu Masngud*

Masuk surga harus Muslim dulu

Tulisan ini adalah tanggapan untuk sebuah artikel dengan judul Non-Muslim Juga Bisa Masuk Surga! yang ditulis oleh Muhamad Bukhari Muslim dan diterbitkan di website IBtimes pada tanggal 29 Maret 2021. Artikel tersebut kembali diangkat oleh akun instagram IBtimes pada tanggal 20 Oktober 2022 sehingga memancing kegaduhan netizen di kolom komentar, dari situlah saya mencoba untuk memberikan tanggapan yang sepadan dengan menulis artikel ini.

Artikel tersebut dibuka dengan menjelaskan pandangan umum ulama maupun orang awam yang menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan di akhirat. Penulis menyatakan "Tentu berpandangan seperti itu adalah hal yang sah-sah saja. Sebagaimana halnya juga akan sah jika ada yang memiliki pandangan yang berbeda dengan pendapat tersebut." Penulis mencoba memperkuat argumentasi dengan mengatakan bahwa "Pandangan dalam Islam tidaklah seragam. Pandangan dan pemikiran dalam Islam sifatnya warna-warni. Dan kesemua itu diridai dan direstui oleh Tuhan." Seolah dia telah mendapat 'verifikasi' dari Tuhan. 

Dari bagian awal tulisan tersebut nampak sangat jelas hegemoni worldview dan konsep-konsep Barat dalam kepala penulis, khususnya paham Relativisme yang menihilkan kebenaran mutlak dan Pluralisme Agama yang targetnya adalah memperkenalkan ide kesamaan semua agama. Salah satu upayanya dengan menjelaskan keselamatan Ahlul Kitab. Penulis lupa bahwa dalam Islam ada persoalan-persoalan yang masuk ranah ushuliyyah sehingga tidak memungkinkan adanya pertentangan pendapat. Berbeda dengan masalah furu’iyyah yang membuka pintu ijtihad sehingga memungkinkan terjadinya ikhtilaf. 

Masalah keselamatan ahlul kitab dan penganut agama lain adalah masalah ushuliyyah yang sifatnya tsawabit atau permanen dengan landasan yang qath’i atau mutlak. Untuk membenarkan judul tulisannya dikutiplah surat Al-Baqarah ayat 62 yang kemudian ditafsirkan dengan sangat tekstualis. Satu terma yang biasa digunakan untuk melabeli kelompok yang berbeda pandangan dengan kaum pluralis. Surat Al-Baqarah ayat 62 itu tidak ditafsirkan dengan melihat asbabun nuzulnya maupun dengan pendekatan historis. Inkonsisten! 

Dari ayat tersebut penulis menyimpulkan bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi'un akan diganjar surga oleh Allah dengan tiga syarat: beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat baik. Padahal ayat itu berkaitan dengan pertanyaan Salman Al-Farisi kepada Rasulullah Saw. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, dari Mujahid, Ibnu Abi Hatim mengatakan, Salman bercerita, "Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw, mengenai pemeluk suatu agama, yang aku pernah bersama mereka. Lalu aku kabarkan mengenai shalat dan ibadah mereka. Maka berkenaan dengan itu, turunlah firman Allah Swt", yakni Al-Baqarah ayat 62. Jadi ayat tersebut adalah jawaban untuk pertanyaan Salman tentang penganut agama yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah Saw.

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Allah tidak akan menerima suatu jalan atau amalan dari seseorang kecuali yang sesuai dengan syariat Muhammad Saw. setelah beliau diutus sebagai pembawa risalah. Sedangkan sebelum itu, maka semua orang yang mengikuti Rasul pada zamannya, mereka berada di atas petunjuk dan jalan keselamatan. Jikapun para pengikut nabi-nabi terdahulu masih hidup mereka akan mengikuti risalah Muhammad Saw., karena kitab-kitab terdahulu telah mengisyaratkan akan kedatangannya.

Buya Hamka dan Quraish Shihab

Di bagian selanjutnya Mas Bukhari yang "bukan perawi hadis" itu, mengutip pendapat beberapa tokoh untuk mencoba melegitimasi judul artikelnya. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Abdul Muqsith Ghazali, Muhammad Ali, Mun’im Sirry, Abdul Aziz Sachedina, Fazlur Rahman, Buya Hamka, dan M. Quraish Shihab. 

Untuk dua nama terakhir tentu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi otoritasnya sebagai mufassir. Namun nama-nama lainnya bagi saya keotoritasannya masih perlu dipertanyakan. Jika pembaca bisa memberikan keterangan tentang otoritas mereka dalam bidang tafsir silakan berkomentar.

Dalam tulisan itu dicantumkan sitiran dari Buya Hamka yang menyatakan bahwa surat Al-Baqarah ayat 62 itu tidak ter-mansukh-kan oleh ayat mana pun dan Quraish Shihab yang menyatakan, "Kita bersaudara, tidak perlu saling tegang. Surga itu luas, sehingga tidak perlu memonopoli surga hanya untuk diri sendiri." Seolah kedua tokoh tersebut mendukung ide Pluralisme Agama dan berpendapat bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga. Penulis tidak menjelaskan pendapat mereka secara utuh tentang hal ini. Jika karena kesengajaan maka ini adalah ketidakamanahan ilmiah. 

Buya Hamka sama sekali tidak pernah membenarkan paham Pluralisme Agama ataupun mengatakan bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga. Bahkan secara gamblang beliau menyatakan, "Orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama." Quraish Shihab menyatakan, "Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogratif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mudah dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama."

Abdul Muqsith Ghazali 

Dalam pernyataan tokoh-tokoh yang dikutip dalam tulisan tersebut juga terdapat beberapa kerancuan yang membingungkan. Penulis mengatakan, "Perkataan bahwa golongan-golongan dari Yahudi, dan Nasrani wajib mengimani Nabi Muhammad, menurut Muqsith, bukanlah perkataan Al-Qur’an. Melainkan perkataan para mufasir." 

Pertanyaannya bagaimana kita menempatkan sabda Nabi Saw, "Demi (Allah) yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang-pun dari umat ini yang pernah mendengarkan tentang aku, apakah ia seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian ia mati sebelum beriman dengan ajaran yang aku bawa, kecuali ia termasuk penghuni neraka" (Hadits Muslim no. 153). Lantas apakah perkataan para mufasir yang menolak surat Al-Baqarah ayat 62 sebagai dalil keselamatan bagi non-muslim semuanya salah, sedangkan Muqsith sendiri yang benar? Atau jangan-jangan perkataan Nabi yang sangat gamblang itu juga direlatifkan kebenarannya? 

Muhammad Ali

"Jika iya orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabi'un yang dimaksud pada ayat itu adalah orang-orang yang hidup sebelum datangnya nabi Muhammad, apakah itu berarti bahwa orang Islam yang juga dimaksud oleh Al-Quran hanyalah orang Islam yang hidup di zaman Nabi?. Jawabannya tentu tidak."

Dalam statement ini, ada kekacauan antara premis dan kesimpulannya. Karena dengan memahami bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabi'un yang dimaksud dalam ayat itu adalah mereka yang hidup sebelum Nabi diutus, sama sekali tidak membawa implikasi pemahaman bahwa orang Islam yang dimaksud dalam Al-Quran hanya mereka yang hidup di zaman Nabi. Keterputusan antara premis dan kesimpulan yang dibangun boleh jadi karena Muhammad Ali hanya menafsirkan ayat ini secara literal dan tidak melihat sisi historis ayat ini. Pertanyaan yang sangat tidak menohok.

Fazlur Rahman

"Yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah ketakwaannya. Takwa tidak identik dan terikat pada satu agama tertentu. Takwa bersifat universal. Sehingga ia dapat saja bertempat pada diri orang Islam, Kristen, Yahudi, ataupun Shabiun." Memisahkan takwa dengan agama berarti memisahkan takwa dengan keimanan. Padahal takwa adalah wujud atau manifestasi dari keimanan, dan keimanan adalah hasil dari ajaran agama. Yang pasti ajaran dan doktrin masing-masing agama berbeda secara fundamental. 

Menurut Ibnu Qayyim, takwa adalah amal ketaatan kepada Allah karena iman. Menurut Abdullah Nasih Ulwan, takwa adalah konsekunsi logis dari keimanan yang kokoh. Bahkan Fakhruddin ar-Razi malah mengartikan takwa itu sama dengan iman. Jadi takwa itu didahului iman dan iman bersumber dari ajaran agama. Memisahkan salah satu dari ketiganya adalah dikotomis dan sangat tidak logis.

Semua Agama adalah beda

Pada hakikatnya kaum pluralis tidak memiliki tolok ukur yang jelas untuk ide penyamaan agama-agama. Ujung-ujungnya mereka hanya akan mengatakan bahwa setiap agama sama-sama mengajarkan kebaikan, menuju Tuhan yang sama, atau dengan narasi-narasi semisal. Bahkan mereka sering kali mendekontruksi makna-makna yang permanen dari terma-terma dalam Al-Quran.

Seperti kata Allah yang mereka anggap bukan nama Tuhan, tetapi berasal dari kata Ilaha yang berarti Tuhan dan ditambahi huruf Alif dan Lam sehingga artinya menjadi Tuhan itu. Makna Islam juga direduksi menjadi sekedar berserah diri, sehingga sampai pada kesimpulan agama lain juga diterima Tuhan asalkan menyerahkan diri pada-Nya. Padahal Islam jelas sangat berbeda dengan agama-agama lain secara fundamental dari berbagai aspeknya.

Prof. Rasjidi memberikan contoh yang tegas mengenai perbedaan fundamental islam dengan yang lainnya dalam aspek sosiologis dan teologis. Dari aspek sosiologis misalnya dalam agama Hindu, pembagian derajat manusia dari yang tertinggi (Kasta Brahmana, meliputi kalangan ahli agama) sampai yang terendah (Kasta Sudra, meliputi rakyat jelata dan hamba sahaya). Tentu saja kasta Sudra dipandang sangat redah dan mereka tidak boleh bergaul selain kalangan mereka sendiri. Hal ini tentu berseberangan dengan konsep kesetaraan manusia dalam Islam dimana yang membedakan mereka di hadapan Allah hanyalah ketakwaannya. 

Dari aspek teologis yang paling jelas dan tidak pernah berubah mengenai doktrin keesaan Tuhan ini adalah agama Islam, sebagai termaktub dalam surat Al-Ikhlas ayat 1-3. Tauhid mendapat penegasan yang terang dalam Islam. Ini sangat bertentangan dengan agama Kristen yang melalui jalan cukup panjang untuk sampai kepada keyakinan mengenai Trinitas.

Surga bukan hanya luas, tapi sangat luas

Saya ingin mengatakan kepada para pembaca bahwa berbicara tentang surga dan neraka adalah tugas dan kewajiban kita. Dalam arti membahas bagaimana surga itu dapat diraih agar kita bisa sama-sama bergandengan tangan masuk ke dalamnya karena surga terlalu luas untuk dihuni sendiri. Yang salah adalah ketika kita menjustifikasi seseorang secara personal akan masuk ke dalam neraka dan menganggap diri pribadi adalah ahli surga yang tanpa dosa. 

Saya sepakat dengan Mas Bukhari bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga, namun dengan melewati jalan Islam. Tugas kita adalah menjadi muslim yang baik, karena non-muslim tidak membaca Al-Quran, namun mereka membaca kita sebagai cerminan Islam. Semoga saya, Muhammad Ibnu Masngud, dan saudara saya Muhamad Bukhari Muslim ditunjukan Allah pada jalan yang benar yang dimasukkan ke dalam surga-Nya.

La haula wala quwwata illa billah. Wallahu a’lam bishshawab.

Referensi

Al-Qur’an dan Hadits

Tafsir Ibnu Katsir/Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh; penerjemah, M. 

Abdul Ghoffar; pengedit isi, M. Yusuf Harun [et al.]; muraja’ah, tim Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008.

Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Minhaj: berislam dari Ritual hingga Intelektual. Jakarta: INSISTS

Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Misykat: refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSISTS-MIUMI.

H.M. Rasjidi. 1983. Empat Kuliyah Agama Islam Pada Pada Perguruan Tinggi. Jakarta: Bulan Bintang.

https://www.kuliahalislam.com/2022/04/non-muslim-juga-bisa-masuk-surga.html?m=1

https://ibtimes.id/non-muslim/


_____

*Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UMS, Kader PK IMM Shabran 2021

Penyunting: Ferdi

Senin, 24 Oktober 2022

BELAJAR ILMU SEJARAH DARI KUNTOWIJOYO

Sumber: koleksi penulis

Oleh:  dr. Iwan Mariono*

Saya harus selalu menyediakan bolpoin, penggaris, dan stabilo, setiap kali membaca buku pak Kunto. Itu artinya saya harus baca buku fisik (bukan buku digital), dan tentu saja buku saya sendiri, bukan buku pinjaman. Ada kepuasan yang tidak bisa dijelaskan. Selain itu, juga ini untuk arsip pribadi jika suatu saat nanti saya mau buka-buka lagi bukunya. 

Sampai sekarang saya baru bisa mengumpulkan 23 buku karangan Kuntowijoyo (masih ada beberapa judul yang belum saya dapatkan). Dan buku Pengantar Ilmu Sejarah ini adalah salah satunya yang baru saja saya khatamkan.

Dalam buku ini pak Kunto benar-benar seperti seorang filsuf sejarah yang memaparkan ilmu sejarah dari hal yang paling mendasar: apakah sejarah itu, gunanya, sejarah penulisan, sejarah sebagai ilmu dan seni, pendidikan sejarawan, penelitian sejarah, sejarah dan ilmu-ilmu sosial, kekuatan sejarah, generalisasi sejarah, kesalahan-kesalahan sejarawan, sejarah dan pembangunan, sampai dengan ramalan sejarah. 

Sekalipun tidak mengenyam pendidikan akademik formal sebagai sejarawan, orang yang membaca buku ini akan dibuat terpesona oleh profesi tersebut. Setidaknya, itulah yang saya rasakan setelah membacanya. Apalagi penulisan sejarah itu memang tidak mesti hanya dilakukan oleh sejarawan profesional, melainkan siapa pun boleh, sebagaimana dalam buku ini pak Kunto membagi sejarawan menjadi tiga kelompok: (1) sejarawan profesional, (2) sejarawan dari disiplin lain, dan (3) sejarawan dari masyarakat. Contoh sejarawan dari disiplin lain adalah seorang dokter yang menulis sejarah epidemi di tempatnya, sedangkan sejarawan dari masyarakat adalah para kiai, lurah, atau santri yang menulis sejarah pondoknya sendiri (h. 66).

Pak Kunto memulai buku ini dari bab 1 dengan memantik pertanyaan apakah sejarah itu serta istilah yang memakai kata sejarah. Beliau menulis, "Apa yang sudah terjadi atau sejarah itu dua macam, yaitu yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut juga sejarah objektif) dan yang terjadi sepengetahuan manusia (disebut juga sejarah subjektif)" (h. 2).

Pernyataan itu membuat saya teringat nasihat sejarawan Prof. Taufik Abdullah dalam salah satu acara seminar yang saya tonton di YouTube, beliau mengatakan tidak setuju dengan penggunaan istilah "meluruskan sejarah", silakan membuat tulisan sendiri kalau punya versi yang berbeda. 

Prinsipnya ada di metodologi, pekerjaan sejarawan adalah pekerjaan merekonstruksi. Mengenai metodologi, pak Kunto juga sudah membahasnya lebih detail dalam buku tersendiri berjudul Metodologi Sejarah. Jadi buku ini sebenarnya merupakan trilogi dari buku Pengantar Ilmu Sejarah yang beliau tulis. Satu buku lagi berjudul Penjelasan Sejarah, semuanya diterbitkan oleh penerbit Tiara Wacana. Kedua buku tersebut sedang proses saya khatamkan secara paralel. 

Jadi, sejarah memang punya sisi subjektif dalam penulisan, apa yang dianggap pemerintah Belanda sebagai pendudukan sebaliknya dianggap sebagai agresi bagi pemerintah Indonesia. Perang Jawa 1925-1930 akan dicatat sebagai pemberontakan oleh pemerintah Hindia Belanda, sebaliknya pengikut Pangeran Diponegoro akan mencatat hal tersebut sebagai perlawanan terhadap penjajahan Belanda. 

Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Sejak saat itu, penulisan sejarah lebih menekankan Indonesia-sentris dari yang sebelumnya Belanda-sentris. 

Masih di bab yang sama. Mungkin banyak di antara kita menganggap ilmu sejarah itu sama seperti ilmu sosial lainnya. Sekurang-kurangnya, kita tidak bisa membedakan apa batasan (epistemologi) antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. 

Dalam buku ini pak Kunto menjelaskan definisi itu secara gamblang bahwa sejarah ialah ilmu tentang manusia. Hal itu ditegaskannya saat menulis, "Peristiwa masa lalu itu sangat luas. Terjadinya alam semesta memang sudah berlalu, tetapi itu menjadi objek penelitian astronomi, bukan sejarah. Demikian pula pergeseran-pergeseran bumi di masa lalu merupakan pekerjaan geologi dan bukan sejarah. Jadi sejarah hanya bercerita tentang manusia. Akan tetapi juga bukan cerita tentang masa lalu manusia secara keseluruhan. Manusia yang berupa fosil menjadi objek penelitian antropologi ragawi dan bukan sejarah. Demikian juga benda-benda, yang meskipun itu perbuatan manusia juga, tetapi lebih menjadi pekerjaan arkeologi. Sejarah hanya mengurusi manusia masa kini. Ada persetujuan tidak tertulis antara arkeologi dan sejarah di Indonesia yang sampai sekarang pada umumnya masih berlaku. Sejarah akan meneliti peristiwa-peristiwa sesudah 1500" (h. 10).

Namun demikian dalam prosesnya, objek manusia itu juga menjadi kajian beberapa ilmu sosial lain seperti sosiologi, politik dan antropologi. Tentu latar belakang tulisan bisa menelisik waktu yang lebih jauh ke belakang. Sehingga seorang sejarawan yang baik dituntut untuk menguasai cabang ilmu-ilmu sosial lain. Mungkin itu pula sebabnya di awal Prakata buku ini pak Kunto menulis, "Bela diri tangan kosong itu boleh. Tapi menulis sejarah dengan otak kosong tidak demikian."

Selain itu, perbedaan lainnya adalah sejarah merupakan ilmu tentang waktu (diakronis) sementara ilmu-ilmu sosial lain melebar dalam ruang (sinkronis). Makanya dalam penulisan sejarah terdapat batasan waktu kronologis yang jelas, misal ketika bercerita tentang sejarah Pemberontakan Petani Banten 1888, atau Revolusi Indonesia (1945-1949). Batasan waktu inilah yang membedakannya dengan cabang ilmu lain. 

Demikianlah secuil ringkasan buku ini. Sebenarnyalah kalau kita baca sendiri, semua isinya terasa seperti ringkasan. Bab 11 mengenai Sejarah dan Pembangunan adalah bab yang paling saya sukai, dari pemaparan itu terasa sekali relevansi ilmu sejarah dalam kehidupan sehari-hari. Membaca buku ini membuat kita tidak hanya melek sejarah, tapi juga melek ilmu sejarah. "Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan mitos, dan yang sudah mengenal tulisan umumnya mengandalkan sejarah" (h. 17).**


_____
*Dokter Umum di RSUD Sukoharjo, Pengagum pemikiran Kuntowijoyo.
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Sabtu, 21 Oktober 2022. Untuk membacanya klik di sini.

Penyunting: Ferdi

Sabtu, 15 Oktober 2022

MENYOAL KELEMAHAN PEMIKIRAN SIDI GAZALBA



Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Setelah menyampaikan materi Arsitektur Islam di Prodi Arsitektur UIN Makassar dalam rangka penyelenggaraan Seminar Nasional, kemudian dilanjutkan dengan makan siang, kami membincangkan pemikiran Sidi Gazalba dalam perjalanan kembali ke hotel diantarkan Bapak Sutrisno. Beliau membuka perbincangan karena hampir selalu dalam ulasan saya mengenai masjid mengutip Gazalba untuk menjelaskan hakikat dan fungsi masjid. Malam sebelumnya saat makan Coto Makassar ketika baru tiba di Makassar selepas waktu isya, beliau juga membuka perbincangan mengenai pemikiran Kuntowijoyo yang juga hampir tidak pernah terlewat ketika saya mengulas Arsitektur Islam.

Memang bisa dikatakan, dua sosok yang saya sebutkan di atas sangat mempengaruhi pemikiran saya dalam mengkonstruksi pemikiran mengenai idealitas masjid dan permasalahannya hingga hari ini. Tanpa menutup-nutupi saya selalu mengatakan berhutang besar kepada keduanya, karena saya tidak mungkin sampai pada posisi pemikiran yang sekarang tanpa kontribusi keduanya. Hal tersebut dengan terang dapat disaksikan dalam buku Kemelut Pandemi di mana bagian pertama secara masif saya mengutip Kuntowijoyo, sementara pada bagian kedua saya berganti mengutip Sidi Gazalba.

Oleh karenanya di mana pun, kapan pun, dan melalui media apa pun saya mengulas masjid dengan mengutip Sidi Gazalba. Inilah yang menjadikan Bapak Sutrisno penasaran untuk mempelajari referensi yang saya kutip berjudul Mesjid: Pusat Peribadatan dan Kebudayaan Islam berangka tahun 1962 yang merupakan hasil penelitian skripsi Gazalba. Walaupun hasil skripsi, karya tersebut menunjukkan kematangan pemikiran Gazalba yang ditunjukkan dengan relevansinya hingga hari ini setelah setengah abad lebih diterbitkan.

Saking seringnya mengulas Gazalba, seorang pegiat SEED Institute, Ferdi yang saat ini juga diamanahi sebagai marbot Masjid Baitul Atiiq, turut penasaran untuk berburu dan mempelajari karya Gazalba. Sampai suatu sore di teras masjid ia menyampaikan apresiasinya terhadap Gazalba dengan mengatakan betapa canggihnya pemikiran pendidikan Gazalba. 

Saya selalu berupaya menghindarkan diri dari sikap ideologis yang negatif dengan menilai pemikiran Gazalba telah sempurna, tanpa celah, sehingga menutup diri sebab merendahkan pemikiran lainnya. Sikap inilah yang saya sampaikan kepada Ferdi agar tidak terjebak mensakralkan Gazalba dengan menjelaskan dua kelemahannya.

Pertama, harus disadari Gazalba merupakan seorang Modernis yang berangkat dari capaian khazanah ilmu pengetahuan Barat untuk diserap dan disesuaikan dengan struktur kebangunan Islam. Sebab itulah terlebih dahulu Gazalba berupaya merumuskan struktur kebangunan Islam sebagai Dien yang tidak bisa dilepaskan dari orientasinya untuk membedakan konsep Dien yang dikatakannya khas Islam dengan konsep religion yang mendasari pemahaman agama dalam masyarakat Barat. Sebagai kesimpulan, Gazalba menyatakan perbedaan struktur bangunan Dien yang khas Islam dengan religion yang lekat dengan agama di Dunia Barat.

Kedua, konsekuensi sebagai pemikir Modernis Muslim, Gazalba tidak melakukan kajian terhadap khazanah intelektual Islam terdahulu. Memang ayat Al-Quran dan Hadits dikutip olehnya, tetapi langsung diabstraksi untuk dihasilkan ilmu pengetahuan yang khas Islam, tanpa mengutip sama sekali pendapat dan penjelasan ulama sebelumnya. Dengan kata lain sebagai seorang Modernis, Gazalba menilai tidak lagi relevan capaian pendahulu disebabkan zaman yang berbeda.

Dengan menyadari paling tidak dua kelemahan Gazalba, justru menjadikan kita dapat dengan tepat kapan dan di mana harus mengutip Gazalba, serta ke arah mana mengembangkan pemikirannya. Tidak jauh berbeda dengan kelemahan pemikiran Kuntowijoyo. Setiap dari kita memang berdiri di atas pundak orang besar pendahulu, tetapi kita harus sadar pundak di mana kita berdiri tidaklah sempurna. Pertama, bagaimana pun pundak kita berdiri milik manusia yang tidak luput dari cela. Kedua, realitas kehidupan kita terus mengalami perubahan yang menjadikan pemikiran apa pun harus terus mengalami perkembangan.

Oleh sebab itu masih banyak pekerjaan  yang harus kita selesaikan untuk mengembangkan pemikiran yang kita usung seiring perubahan zaman yang hampir tidak dapat dielakkan. Jangan sampai tertidur dan menyadari tidak ada masalah sama sekali pada dua hal tersebut. Jika terjadi, bagi saya itulah intelektual yang buta!**


_____
*Dosen Arsitektur UM Surakarta, Pembina SEED Institute
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis dengan judul Menyoal Kelemahan Pemikiran Sidi Gazalba pada hari Sabtu, 15 Oktober 2022.

Penyunting: Ferdi

Jumat, 14 Oktober 2022

MAULID DAN KEBUDAYAAN ISLAM

 


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Salah satu tradisi yang rutin berlangsung menjelang hingga datangnya hari Maulid, selain pembacaan Barzanji hingga sekedar pengajian mengambil hikmah dari perjalanan perjuangan Rasul Muhammad, ialah debat mengenai status merayakannya. Dari saya lahir hingga tahun ini tidak pernah sekali pun terlewati Maulid tanpa perdebatan yang terus berulang dengan argumentasi daur ulang, dan bisa dikatakan tanpa sudut pandang baru.

Penolakan terhadap Maulid berasal dari keyakinan akan kesempurnaan Islam, maka segala sesuatu yang tidak dicontohkan dan diperintahkan Rasul Muhammad, dinilai tidak pantas dilekatkan pada Islam. Maulid menjadi salah satunya, karena tidak ada perkataan Rasul Muhammad untuk merayakan hari kelahiran beliau oleh umatnya.

Sementara itu pihak yang merayakan Maulid berangkat dari rasa cinta dan rindu kepada sosok manusia paling mulia yang pernah diciptakan Tuhan. Selain itu ungkapan kecintaan kepada Rasul melalui perayaan Maulid telah dilakukan para ulama terdahulu dengan berbagai rangkaian tradisi yang mewarnai Dunia Islam. Ini sudah cukup untuk menjaga keberlangsungan Maulid menjadi salah satu hari besar umat Islam.

Sekalangan umat Islam yang berupaya menengahi perdebatan, berpandangan perayaan Maulid boleh dilakukan dengan tidak melanggar batas syariat. Jika sesuai koridor syariat, Maulid dapat memupuk kecintaaan dan iman kepada Rasul Muhammad, seperti dengan menggelar acara mempelajari sejarah hidup beliau Shallallahu Alaihi Wasallam. Tetapi jika melanggar batas syariat, maka perayaan Maulid justru menyebabkan kerusakan, terutama pada kerusakan agama dan iman, seperti konser dengan menampilkan goyang erotis dalam rangka memeriahkan Maulid. Dengan demikian perbuatan tersebut adalah terlarang.

Walaupun secara pribadi saya memiliki kedekatan posisi dengan pendapat terakhir di atas yang merebak di kalangan modernis Muslim di tanah air, saya selalu menyampaikan kritik mengenai posisi Maulid dalam struktur kebangunan Islam. Apakah Maulid merupakan bagian dari struktur Islam ataukah berada di luarnya?!

Saya berangkat dari pemikiran Sidi Gazalba mengenai makna Dienul Islam yang tidak hanya terdiri dari aqidah, ibadah ritual, dan nilai, tetapi juga ibadah secara luas yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Berangkat dari tujuan penciptaan manusia oleh Tuhan,  sebagaimana difirmankan oleh-Nya di dalam Al-Quran, tidaklah Tuhan menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada pencipta. Dari firman tersebut kita memahami seharusnya dan memang semestinya, seluruh hidup manusia ialah wujud peribadatan kepada Tuhan, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu.

Karena itulah Gazalba menempatkan ibadah ritual atau ibadah mahdhah dan ibadah dalam arti luas atau ibadah ghairu mahdhah sebagai realisasi aqidah seorang Muslim dalam kerangkan Dienul Islam. Gazalba menyoroti ibadah yang disebutkan terakhir ini karena dimensinya yang luas meliputi seluruh aspek kehidupan umat Islam selain ibadah mahdhah, yang menunjukkan Dienul Islam memang menjadi jalan bagi manusia untuk dapat beribadah sepenuhnya kepada Tuhan sepanjang waktu hidupnya.

Dari pelaksanaan ibadah ghairu mahdhah inilah, menurut Gazalba lahir kebudayaan Islam, yakni cara hidup yang berangkat dari pikiran dan perasaan yang dibentuk oleh Islam. Kita dapat menggunakan kerangka ini untuk memahami Maulid yang merupakan ekspresi dari cara berpikir dan cara merasa umat Islam terhadap kelahiran Nabi terakhir yang diutus Tuhan, sehingga menjadikannya sebagai bagian dari kebudayaan Islam yang tidak dimiliki kebudayaan-kebudayaan lainnya karena secara aqidah mensyaratkan penerimaan Muhammad sebagai utusan Tuhan. 

Konsekuensi selanjutnya, perayaan Maulid yang merupakan bagian dari kebudayaan Islam sebagai realisasi dari pelaksanaan ibadah ghairu mahdhah, menempatkannya secara struktural sebagai bagian dari Dienul Islam. Bagi seorang Muslim, merayakan Maulid memang bukan ibadah mahdhah yang sudah ditentukan secara ketat dan spesifik oleh Tuhan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Tetapi sebagai realisasi dari iman yang dipraktikkan dengan cara berpikir dan cara merasa sesuai dengan Islam. Dengan kata lain bagi seorang Muslim terlibat dalam Maulid adalah bentuk laku mengamalkan Dienul Islam dalam kehidupan.

Dengan perspektif ini, persoalannya bukan lagi boleh atau tidak boleh melaksanakan Maulid di bulan Rabiul Awal, karena telah jelas posisinya sebagai kebudayaan Islam. Menolak satu budaya harus dengan menyertakan budaya penggantinya agar umat Islam dapat hidup sepanjang waktu di dalam alam Islam yang diyakininya benar. Persoalan yang patut diulas sepanjang guliran zaman ialah dengan cara apa Maulid harus dirayakan agar relevan dengan kondisi kehidupan umat Islam yang beragam dan terus mengalami perubahan?**


_____
*Dosen Arsitektur UM Surakarta, Pembina SEED Institute
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis dengan judul Maulid dan Kebudayaan Islam pada hari Selasa, 11 Oktober 2022.

Editor: Ferdi


Minggu, 09 Oktober 2022

SENI

Sumber: Tribunnews.com

Oleh: Arif Wibowo, M.PI*

Siapakah yang menumbuhkan jiwa Indonesia pada masyarakat dengan ribuan pulau yang terpisah-pisah itu? Tanya Buya Hamka dalam Kenang-Kenangan Hidup.

Di Sumatera, tulis Buya Hamka, Bung Karno hanya pidato di kota-kota besar, di Medan, Padang, Pekanbaru. Itupun hanya ribuan orang yang hadir.

Lalu bagaimana Indonesia merdeka bisa masuk menjadi cita-cita mereka yang hidup di pedesaan, pedalaman bahkan pulau-pulau kecil, yang susah terjangkau?

Supratman yang melakukannya, lanjut Buya Hamka. W. R. Supratman hanya sekali menggubah Indonesia Raya. Tapi lagu itu dinyanyikan oleh semua orang, didendangkan saat hendak melakukan pertemuan. Sehingga tumbuhlah jiwa Indonesia itu.

Kutipan bebas dari Buya Hamka di buku Kenang-Kenangan Hidup itu memang menarik. Buya Hamka menjelaskan bagaimana seni bekerja membentuk kesadaran.

Hal yang sama berlaku pada dakwah Islam di negeri ini. Apa itu Islam, siapa itu Muhammad, nama dan sosok yang tentu sangat asing, bahkan tidak dikenal oleh penduduk kepulauan ini pada awal kedatangannya.

Oleh karena itu, kata Abdul Hadi WM, di sinilah peran penting para ulama sufi yang menjelmakan konsep-konsep Islam, ajaran dan kisah-kisahnya melalui berbagai cerita rakyat, syair, pantun, lagu bahkan tari yang dirayakan rakyat kebanyakan pada hajatan pernikahan, selametan dan aneka panggung kultural masyarakat. Orang Jawa bahkan mematrikan nama Muhammad sebagai pola tatah sungging pada tiang penyangga rumah joglo mereka.

Tanpa kreasi-kreasi kultural tersebut, mungkin Islam dan Nabi masih asing di negeri ini. Sebagaimana kini, ketika kegembiraan kultural itu disesatkan, maka ruang kegembiraan masyarakat, diisi oleh kisah-kisah selebritis produk khas masyarakat industri.**


_____
*Laboratorium Dakwah Ki Ageng Henis
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis dengan judul Seni pada hari Sabtu, 8 Oktober 2022.

Editor: Ferdi

Rabu, 05 Oktober 2022

AGAMA SAMAWI TERAKHIR


Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Fasal keempat diberi judul "Agama Islam adalah agama samawi terakhir" oleh penulis. Pada fasal ini pula, gagasan pokok buku ini berada. Setelah menegaskan betapa tetap pentingnya agama di zaman modern dan perbedaan di antara agama-agama yang ada, pada fasal ini Prof. Rasjidi memberikan penjelasan historis agama samawi.

Ada tiga agama yang digolongkan sebagai agama samawi oleh para peneliti, yakni agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Secara ilmiah agama samawi berawal dari Nabi Ibrahin as. yang hiduo sekitar tahun 1900 SM. Keturunan Nabi Ibrahim as. inilah yang nanti akan melahirkan jajaran Nabi dan Rasul yang diawali oleh Ismail as. (permulaan garis keturunan Nabi Muhammad saw), Ishak as. (permulaan generasi Nabi-nabi Yahudi sampai Nabi Isa as.). Keturunan Bani Israil (Nabi Ya'kub as., anak Nabi Ishak as.) inilah yang nanti banyak diperbudak oleh Fir'aun untuk mendirikan piramida-piramida besar dalam sistem kerja-paksa (h. 76).

Tercatat melalui Bani Israil ini lahir nabi-nabi Yahudi baik yang diceritakan dalam Al Quran (di antaranya Musa, Ilyas, Sulaiman, dll.) maupun tidak (di antaranya Amos, Hasea, Isaiah, Micah, Ezekiel, dll.).

Perjalanan agama Yahudi (Bani Israil) ini kemudian sampai pada akhir sejarahnya ketika umat Yahudi terpecah menjadi 3 golongan, yaitu Sadducees (kelas atas dan ahli agama), Pharisses (kelas menengah dan terpelajar), dan Essenes (kelas bawah/rendah). Nabi Zakaria as. dan Nabi Yahya as. termasuk di antara kaum Essenes ini (h. 81).

Nabi Isa as. lahir dalam suasana kaum Sadducees merajalela, khususnya para ahli agama (yang juga kaya raya karena banyak memeras harta umat umatnya) memaksakan hukum agama kepada masyarakat, tetapi mereka sendiri kurang beriman (h. 81).

Ketika Nabi Isa as. berumur ±30 tahun, ia dibaptis oleh Nabi Yahya as. secara kaum Essenes. Nabi Yahya as. mengakui keutamaan Nabi Isa as. melebihi dirinya, yang bahkan tidak senilai dengan sepatu Nabi Isa as. (h. 82). Nabi Isa as. melakukan tugas kenabiannya dengan lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat kelas rendah (rakyat jelata dan para nelayan yang miskin dan sakit). Sikapnya yang lembut terhadap mereka yang tertindas, berbanding terbalik dengan sikapnya yang melaknat kaum para penindas (dari golongan Pharisees dan Sadducees). Sikapnya ini misalnya terekam dalam Matheus 27: Cilaka bagi kamu, hai ahli Taurat dan orang Pharisi, orang munafik! Karena kamu seumpama kubur yang bersapu kapur; sungguhpun dari luar kelihatan elok, tetapi di dalamnya berisi tulang orang mati dan berbagai najis (h. 82-83).

Atas sikapnya itulah golongan Pharisees dan Sadduces murka dan dengki kepadanya. Hingga mereka mengadakan suatu rencana untuk membunuh sang nabi. Menurut riwayat Injil Nabi Isa berhasil ditangkap untuk kemudian diadili dan disalib. Akan tetapi kisah ini dibantah oleh Al Quran yang menegaskan bahwa Nabi Isa tidak mati dalam penyaliban, melainkan orang lain yang menggantikannya. Sedangkan ia naik ke hadirat Tuhan (h. 84).

Ajaran Nabi Isa as. untuk mengesakan Tuhan berlanjut kepada para sahabat terdekatnya, dan seterusnya hingga pada tahun 325 M diadakan Konsili Nicea (terletak di daerah Turki sekarang). Dua aliran yang bertentangan antara Arius dan Athanasius berdebat mengenai hakikat zat Tuhan Anak (Nabi Isa) dan Tuhan Bapak (Allah). Sejak inilah perdebatan mengenai Trinitas dimulai dan menjadi perselisihan yang panjang (h. 89-94).

Memasuki Abad Pertengahan, institusi Gereja memgambil alih fungsi kerajaan ketika Kerajaan Romawi Barat mulai berceceran akibat "pertengkaran" yang tiada henti (h. 94). Sampai akhirnya terpecahnya agama Kristen menjadi Katolik dan Protestan terjadi pada tahun 1517 yang diprakarsai oleh seorang Pendeta Jerman, Martin Luther (h. 98).

Setelah cukup menjelaskan mengenai agama Yahudi dan Kristen, Prof. Rasjidi beranjak pada agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Ia lahir pada tahun 571 M di Mekkah dari keluarga terhormat (keluarga Abdul Muthalib), akan tetapi ia termasuk dalam orang yang tidak berada. Kondisi ini diperparah setelah kedua orang tuanya meninggal semasa kecil. Ia lalu dirawat oleh Abu Thalib (pamannya) (h. 98-99).

Perkenalannya dengan Khadijah bermula ketika Muhammad berumur 24 tahun. Saat itu ia dipercayakan sejumlah barang dagangan oleh Khadijah dalam perjalanan dagang. Perangainya yang baik dan kesuksesan perniagaannya kemudian dilaporkan oleh Maisarah (pelayan Khadijah). Maka Khadijah meminta agar Muhammad rela menikah dengannya. Saat itu umur Nabi saw. 25 tahun dan istrinya 40 tahun (h. 99).

Meskipun kehidupan materil Muhammad cukup terjamin, ia selalu meninggalkan kehidupan kota Mekkah yang ramai, menuju tempat yang sunyi di pinggir kota (Gua Hira) selama berhari-hari dengan membawa bekal dari istrinya. Permenungannya yang seperti biasa itu dikejutkan oleh kejadian yang sangat tidak biasa: ia didatangi oleh Malaikat Jibril. Pertemuan dengan Jibril itu membuatnya sangat takut hingga ia lari menuruni gunung berbatu, pulang ke rumah, dan menutup dirinya dalam selimut sambil gemetar. Istrinya yang selalu memperhatikan kesehatan dan kebiasaan suaminya merasa terkejut dan aneh dengan kejadian itu. khadijah lalu lalu bertanya kepada Warakah bin Naufal (sepupunya) yang beragama Masehi (Kristen) tentang kejadian ini. Warakah menerangkan bahwa pertemuan dengan Malaikat Jibril itu serupa dengan nabi-nabi sebelumnya. Kejadian itulah yang akan menjadi awal perubahan sikap yang drastis kaum Quraisy terhadap Nabi saw. dan ia akan banyak ditentang oleh kaumnya itu (h. 99-100).

Setelah itu Rasulullah saw. Menjalankan tugas kenabiannya selama 23 tahun (13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah). Ia juga banyak bergaul dengan kaum papa sebagaimana nabi pendahulunya. Pada masa kenabiannya ini, Rasulullah saw. melewati banyak perang untuk mempertahankan diri dari ancaman musuh-musuhnya selama mendakwahkan Islam. Di antaranya perang Badar, Uhud, dan Khandak (h. 100).

Berbeda dengan Kitab Perjanjian Lama (kitab umat Yahudi sebelum Nabi Isa as., asalnya berbahasa Ibrani) dan Perjanjian Baru (bermula dari karya perorangan seperti Injil Mateus, Markus, dll., asalnya berbahasa Yunani dan baru diterjemahkan secara serius di akhir abad ke-20) (h. 96-98), Al Quran sebagai kitab suci agama Islam telah diabadikan dalam bentuk tulisan dalam berbagai media dan ingatan para sahabat Nabi saw. di masa hidupnya. Pembukuan secara resmi dilakukan sejak masa Khalifah Abu Bakar dan selesai pada masa Khalifah Ustman. Jika diakumulasikan hanya ±15 tahun setelah wafatnya Nabi saw. Dan mulai saat itu hingga sekarang ini, teksnya tidak pernah berubah, baik redaksi maupun urutannya, tidak mengalami penambahan dan juga pengurangan (h. 100-101). Selain Al Quran, Nabi saw. juga telah mewariskan petunjuk dalam setiap kehidupannya untuk menjadi pedoman umat manusia yang kemudian dibukukan mulai dari Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya baik itu petunjuk peribadatan sampai kehidupan keseharian (h. 101).

Berbeda dengan nabi-nabi pendahulunya yang memiliki lingkup terbatas hanya pada suku atau wilayah tertentu, ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. bersifat universil dan tidak lekang oleh waktu. Keterangan ini juga diabadikan dalam Al Quran, bahwa Nabi Muhammad adalah rahmat bagi seluruh alam (h. 101).

Pokok ajaran agama Islam adalah Tauhid, sebagaimana juga pokok ajaran Nabi Ibrahim as., Musa as., Zakariya as., Yahya as., hingga Isa as. dan tidak pernah mengalami perhubahan. Sebagai agama, Islam tidak hanya mengurusi soal ibadah yang bersifat ritual saja, melainkan juga hubungan antara sesama ciptaan Tuhan (kepada alam dan sesama manusia). Islam adalah agama yang mengakui kedudukan akal sebagai sumber ilmu dan inj disebutkan puluhan kali dalam Al Quran, seperti perintah untuk membaca, berpikir, dsb. Oleh karena itu Islam melarang para penganutnya untuk mengikuti secara membabibuta ajaran nenek moyangnya (h. 102-103).

Islam adalah agama yang menjujung kemerdekaan, melarang paksaan dan penganiayaan. Islam memerintahkan untuk bersikap toleran terhadap agama lain, di samping tetap tegas mempertahankan diri sebagai seorang Muslim. Setelah berumur 14 abad ini, sumber petunjuknya yang utama, Al Quran yang terdiri dari 6243 ayat dan ribuan hadits tetap menjadi pedoman bagi umat Islam. Penjabarannya secara khusus dalam bidang-bidang tertentu juga masih terus dilakukan sebagai sikap dinamis, akan tetap tidak pernah merubah intinya yang tetap (h. 103-104).

"Dengan kembali kepada Al Quran, manusia kembali kepada Allah dan kepada alam, serta mempererat hubungan antara sesama manusia" (h. 104).

Demikian Prof. Rasjidi menutup uraiannya dalam buku ini. Wallahu a'lam.**


(lanjutan tulisan sebelumnya berjudul "Apakah Agama Masih Diperlukan?")

_____

*Pegiat SEED Institute

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis berjudul "Resume Buku Empat Kuliyah Agama Islam pada Perguruan Tingg (2)" pada hari Rabu, 21 September 2022. 


Editor: Ferdi

APAKAH AGAMA MASIH DIPERLUKAN?


Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Terdapat empat fasal yang dipaparkan oleh Prof. Rasjidi dalam buku "Empat Kuliyah Agama Islam pada Perguruan Tinggi", yaitu (1) Apakah agama masih diperlukan?; (2) Apakah semua agama itu sama?; (3) Pengelompokan agama-agama di dunia; dan (4) Agama Islam adalah agama samawi terakhir. Keempat fasal ini diuraikan penulis secara berurutan. Fasal terdahulu menjadi pondasi fasal berikutnya. Maka untuk memahami secara utuh gagasan buku, wajih membaca buku ini dari awal sampai akhir. Buku ini ditulis untuk dijadikan bahan ajar mata kuliah Pendidikan Agama di Fakultas Kedokteran dan Psikologi UI.

Di fasal pertama, penulis mengangkat sebuah pertanyaan penting di zaman modern (buku ini pertama kali terbit tahun 1974): Apakah agama masih diperlukan?

Pada fasal ini beliau memaparkan bagaimana kebangkitan sains modern yang "menafsirkan keadaan alam dan kejadian-kejadian di dalamnya secara mekanis, dengan daya alam itu sendiri dan tidak memerlukan adanya Tuhan", serta kemampuan dan perhatian manusia sepenuhnya diarahkan untuk menguasai alam menimbulkan Deisme, manusia yakin akan adanya Tuhan tetapi "tidak mempunyai kekuasaan terhadap alam dan manusia" (h. 5-7).

Pemikiran mengenai perkembangan cara berpikir manusia oleh penganjur terbesar aliran positivisme, August Comte lalu dihadirkan pada fasal ini. Tiga tingkatan ini terdiri dari: (1) ētat theologique (tingkat teologi), (2) ētat metaphisique (tingkat metafisik), dan (3) ētat positive (tingkat positif) (h. 10) untuk dikontekstualisasikan dengan perkembangan cara berpikir masyarakat yang hidup di Indonesia. 

Penelaahan terhadap tahap perkembangan cara berpikir manusia ini lalu dikoreksi oleh penulis. Pertama, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu sepenuhnya menghilangkan kepercayaan (kebutuhan) manusia terhadap Tuhan (teologi) dan tahayul (metafisik). Ini misalnya terjadi ketika saat itu DPR mengadakan sedekah bumi kepada Ibu Pertiwi disertai iring-iringan membawa keris dengan hormat dan khidmat untuk memohon kehidupan yang tentram di muka bumi (h. 17).

Kedua, menurut penulis ketiga tingkat ini tidak terjadi secara evolutif sebagaimana disampaikan Comte, melainkan bisa terjadi pada waktu yang bersama-sama di suatu tempat tertentu. Selain itu, dalam diri seseorang bisa memiliki lebih dari satu tingkat kesadaran. Misalnya yang terjadi pada salah seorang profesor di UI yang seharusnya memiliki cara berpikir positivistik. Tetapi di lain waktu profesor tersebut berkonsultasi ke dukun dan mengikuti aliran kebatinan tertentu (h. 18).

Ketika manusia meniadakan agama setelah sampai ke tingkat positif, mereka lalu mengalami krisis makna/pegangan hidup. Tidak sedikit masyarakat Barat yang mulai mencari kembali pegangan hidup mereka dengan menganut agama Budha, menganut aliran spiritual, dan lain sebagainya. Penyebab krisis ini tidak lain karena manusia tidak hanya memerlukan pemecahan soal-soal hidup yang bersifat materil, melainkan juga spirituil. Sehingga agama menjadi poin penting untuk menyelesaikan soalan ini (h. 23). Dengan kata lain, manusia tetap membutuhkan agama.

Setelah jawaban untuk pertanyaan pertama ditemukan, yaitu agama masih sangat diperlukan, muncul pertanyaan selanjutnya: apakah semua agama itu sama?

Prof. Rasjidi menjawab pertanyaan ini pada fasal kedua diawali dengan cerita tentang 4 orang buta yang diminta secara bergilir untuk menyentuh seekor gajah dan mendeskripsikannya. Tentu saja keempatnya dibiarkan menyentuh bagian yang berbeda, sehingga kesimpulannya pun berbeda (h. 25). Narasi inilah yang seringkali diangkat oleh mereka yang mengatakan kalau kemampuan manusia tidak akan cukup untuk menjelaskan kebenaran agama.

Argumentasi ini lalu mengarah para keyakinan kalau semua agama itu inti dan Tuhannya sama saja, hanga saja cara menyembahnya yang berbeda-beda. Tidak penting agama apa yang dianut, perbuatan baik kepada manusialah yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh agar mendapat kasih Tuhan (h. 29). Bahkan ada yang berpendapat kalau tidak ada agama yang mengandung kebenaran mutlak. Semua agama itu relatif dan hanyalah instrumen (alat) untuk mencapai tujuan (Tuhan) (h. 33).

Perbedaan di antara agama-agama ini lalu diberikan beberapa contoh sebagai perbandingan, salah satunya ialah sistem kasta dalam agama Hindu. Pembagian derajat manusia dari yang tertinggi (Kasta Brahman, meliputi kalangan ahli agama) sampai yang terendah (Kasta Sudra, meliputi rakyat jelata dan hamba sahaya). Tentu saja kasta Sudra dipandang sangat rendah dan mereka tidak boleh bergaul selain kalangan mereka sendiri (h. 36).

Selain perbedaan mencolok dalam bidang kemasyarakatan, perbedaan juga terjadi dalam bidang ketuhanan/teologi. Yang paling jelas dan tidak pernah berubah mengenai doktrin keesaan Tuhan ini adalah agama Islam, sebagai termaktub dalam QS. Al Ikhlas: 1-3. "Tauhid mendapat penegasan yang terang dalam Islam" (h. 39). Ini berbeda misalnya dengan agama Kristen yang melalui jalan cukup panjang untuk sampai kepada keyakinan mengenai Trinitas (h. 39-47).

Setelah menegaskan bahwa semua agama itu tidak sama, Prof. Rasjidi melanjutkan penjelasannya mengenai pengelompokan agama-agama di dunia pada fasal ketiga. Terdapat beberapa pendapat mengenai pengelompokan ini. Ada yang mengelompokkan secara geografis (agama di Jepang, Cina, Barat, dll). Ada juga yang menggunakan analogi piramid yang terdiri agama primitif di bagian alas, disusul agama Taurat (Yahudi dan Islam) di lapisan di kedua, lapisan berikutnya adalah agama kelepasan (Hindu dan Budha), dan puncaknya adalah agama Kristen. Lalu ada juga yang menggolongkan agama-agama dalam dua jenis, yakni agama-agama alamiyah (natural religions) dan agama-agama samawi (revealed religions) (h. 50-53).

Setelah menjelaskan perkembangan agama-agama alamiyah (h. 53-74), penulis melanjutkan penjelasannya mengenai perkembangan agama samawi di fasal keempat.**


(bersambung ke tulisan saya berjudul "Agama Samawi Terakhir")

_____

*Pegiat SEED Institute

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis dengan judul "Resume Buku Empat Kuliyah Agama Islam di Perguruan Tinggi karya H.M. Rasjidi (1)" pada hari Rabu, 21 September 2022.

Editor: Ferdi