Senin, 25 Juli 2022

LOGIKA PERSAMAAN, LOGIKA PERBEDAAN


Oleh: Juris Arrozy*

Pernahkah kita mengamati fenomena seperti ini: sebuah wacana X sedang ramai diperbincangkan di jagat media sosial. Berbagai workshop dan training tentang wacana X tersebut dilaksanakan. Konten-konten Instagram pun banjir dengan wacana X. Kalangan awam mulai membaca buku non-fiksi tentang wacana X – bahkan mereka yang biasanya jarang membaca buku. Singkat cerita, “demam” wacana X merajalela.

Belum genap sebulan menjadi trending topic, para akun dan influencer dakwah – atau setidaknya yang mencitrakan diri sebagai persona Islami – mulai terjun ke dalam perbincangan. Bermodalkan nukilan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits, mereka melakukan rebranding wacana X dengan nama ‘X Islami’, ‘titik temu Islam dan X’, dsb. Dengan piawai mereka menemukan ‘keselarasan’ antara wacana X dengan Islam untuk dijadikan konten media sosial. “Jadi, X ini sangat Islami dan ternyata sudah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. sejak dulu” dan ujaran sejenis mewarnai perbincangan versi ‘Islami’ dari wacana X. Kita bisa mengganti ‘X’ dengan berbagai wacana, dari mulai yang praktis seperti stoikisme dan mindfulness hingga yang ideologis seperti sosialisme dan feminisme. Tinggal tambahkan kata ‘Islami’ dan kutip ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai justifikasi, jadilah produk baru.

Kita tentu paham maksud baiknya. Wacana tersebut keberterimaannya positif dan kebetulan sedang populer. Jika kita menunjukkan relevansi Islam terhadapnya, ini dianggap sebagai metode dakwah yang efektif. Namun, sayangnya niat baik meskipun harus diapresiasi tidaklah cukup. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan mengapa penyematan sifat ‘Islami’ pada konsep asing bisa berbahaya jika dilakukan secara serampangan.

II

Ambil contoh kasus stoikisme. Dalam sebuah podcast yang mengangkat tema “berbeda tapi bersama”, salah seorang narasumbernya mengklaim bahwa stoikisme tidak bertentangan dengan agama apapun dan bahkan induk pikirannya selaras dengan apa yang ia pelajari di agama Islam. Ia menjelaskan bahwa stoikisme pada intinya adalah ilmu pengendalian diri dan fokus terhadap hal yang bisa ia kendalikan. Lalu ia mengaitkan bagaimana konsep-konsep dalam Islam seperti kecukupan, qanaah, dan tawakal selaras dengan stoikisme.

Dalam kesempatan lain, giliran mindfulness yang disejajarkan dengan Islam. Dalam video singkat berjudul “Mindfulness dalam Islam”, sang narator menjelaskan bagaimana mindfulness adalah mindset kita dalam menghadapi masalah agar pikiran kita lebih baik. Mindfulness adalah self-awareness: kesadaran utuh dan kehadiran penuh terhadap apa yang kita pikirkan. Lalu narator mensejajarkan bahwa dalam Islam kita diajarkan untuk mengenal diri sendiri dalam rangka mengingat Allah swt., bahkan menyetarakan meditasi dan shalat & dzikir dalam rangka latihan menjadi orang yang mindful.

Masih banyak lagi wacana-wacana yang disejajarkan dengan Islam, dari mulai Ikigai, minimalisme, sosialisme, feminisme, dan berbagai isme lainnya. Khusus yang terakhir, bahkan ada yang tidak ragu-ragu memberi Rasulullah saw. predikat “feminis pertama dalam Islam”!

III

‘Keselarasan’ ajaran Islam dengan berbagai wacana tersebut memberikan kesan bahwa Islam selalu relevan dengan semangat zaman. Dari manapun sumbernya, asal dia sejalan dengan Islam, maka ambillah! Dikutiplah hadits “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah” untuk menjustifikasi. Logika persamaan dihadirkan di sini.

Namun sebagaimana dua sisi koin, ‘logika persamaan’ mengisyaratkan adanya juga ‘logika perbedaan’. Kita tidak memungkiri adanya irisan – yang banyak diantaranya bersifat superfisial – antara Islam dengan wacana-wacana tersebut. Namun awam terhadap atau bahkan menutup-nutupi bab perbedaan akan menyebabkan kita tidak melihat perkara secara utuh.

Mari kembali ke contoh kasus stoikisme. Dari pemaparan sebelumnya, dicitrakan bahwa stoikisme hanya sekadar prinsip hidup “fokus ke hal yang bisa kita kendalikan”. Padahal, stoikisme tidak sesederhana itu. Ia merupakan tradisi filsafat tersendiri. Dalam bukunya How to Be a Stoic (2017), Massimo Pigliucci menjelaskan bahwa “The original stoicism…was a comprehensive philosophy that included not only ethics but also a metaphysics, a natural science, and specific approaches to logic and epistemology….” Stoikisme meyakini bahwa segala yang terjadi di dunia mengikuti prinsip kausalitas dan – meminjam bahasa Pigliucci – “there is no room for spooky transcendental stuff”. Bahkan, Pigliucci juga berargumen bahwa Epictetus (salah seorang tokoh filsafat stoikisme) menganut paham pantheisme: paham yang menganggap bahwa alam semesta adalah jelmaan Tuhan itu sendiri.

Mindfulness pun bukannya tanpa masalah. Tidak banyak yang menyadari bahwa mindfulness berasal dari filsafat Zen Buddha. Dalam artikel berjudul The Problem of Mindfulness, Sahanika Ratnayake menyatakan bahwa “mindfulness is in fact ‘metaphysically loaded’”. Ia lanjut menjelaskan:

In particular, mindfulness is grounded in the Buddhist doctrine of anattā, or the ‘no-self’. Anattā is a metaphysical denial of the self, defending the idea that there is nothing like a soul, spirit or any ongoing individual basis for identity. This view denies that each of us is an underlying subject of our own experience. By contrast, Western metaphysics typically holds that – in addition to the existence of any thoughts, emotions and physical sensations – there is some entity to whom all these experiences are happening, and that it makes sense to refer to this entity as ‘I’ or ‘me’. However, according to Buddhist philosophy, there is no ‘self’ or ‘me’ to which such phenomena belong.

Dengan kata lain, doktrin anattā meminggirkan (jika tidak menolak sepenuhnya) konsep jiwa sebagai individu yang diciptakan dengan potensi yang berbeda-beda sesuai kadarnya.

IV

Dua contoh di atas hanya sebagian kecil bagaimana bahkan sebuah wacana yang kelihatan selaras dengan Islam di permukaan ternyata memiliki perbedaan filosofis yang fundamental setelah diinvestigasi lebih lanjut. Stoikisme mengajarkan kecukupan diri yang disamakan dengan konsep qanaah dalam Islam. Tapi di saat bersamaan stoikisme menolak konsep Tuhan yang berbeda dengan makhluk (baca: alam) dan menolak kemungkinan intervensi Tuhan terhadap alam semesta. Mindfulness mengajarkan self-awareness yang disamakan dengan muhasabah diri, tapi di sisi lain ia menolak konsep personalitas (yang membuat muhasabah justru menjadi tidak mungkin karena tidak ada konsep ‘individu’).

Dan masih banyak lagi masalah yang akan muncul ketika kita dengan gebyah-uyah mensejajarkan Islam dengan berbagai wacana dan isme asing. Di satu kesempatan Rasulullah saw. diklaim sebagai feminis, tetapi di lain kesempatan poligami juga diantagonisasi atas nama feminisme. Paginya berujar “Islam 100% sejalan dengan demokrasi”, sorenya usulan perda syariah ditolak dengan alasan agama tidak boleh masuk ke ruang publik yang demokratis. Tarik-ulur terus terjadi, karena logika persamaan tidak dibarengi dengan logika perbedaan.

V

Setidaknya, fenomena penerimaan – bahkan klaim kepemilikan – wacana asing tanpa dibarengi sikap kritis ini mengajari kita tiga hal. Pertama, ia mencerminkan inferiority complex yang dialami umat Islam yang silau terhadap apa-apa yang berasal dari luar. Kedua, ia mencerminkan hilangnya tradisi kesarjanaan yang ketat, hati-hati, dan kritis dalam mengapropriasi konsep-konsep asing ke dalam khazanah keilmuan Islam. Ketiga, ia juga mencerminkan terputusnya kita dengan 14 abad tradisi keilmuan Islam sehingga gamang dan kebingungan dalam menghadapi zaman.

Situasi ini digambarkan secara apik oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam buku Islam and Secularism (1978). Beliau menggambarkan tren umat Islam yang cenderung menerima segala sesuatu dari Barat tanpa kritis, sembari memberi contoh tentang ‘sosialisme Islami’:

Orang Islām yang mengikuti arus tersebut bermaksud baik namun keliru dalam usaha untuk meningkatkan pemikiran umat Islām ke taraf pencapaian-pencapaian modern dalam bidang ilmu dan teknologi serta ilmu kemanusiaan dan realitas sosio-ekonomi – mereka membicarakan hal-hal yang tidak bermakna seperti misalnya ‘Sosialisme-Islami’ dan ‘Sosialisme dalam Islām’. Mereka mengacaukan pengertian Islām dan sosialisme, maka mereka bertanggungjawab atas kekeliruan umat Islām dan membawa mereka menyimpang dari jalan yang benar serta menimbulkan konflik yang tidak perlu di kalangan umat Islām. Sosialisme adalah ideologi sekular yang terpisah dari Islām, dan tidak akan pernah ada realitas seperti ‘Sosialisme Islami’ atau ‘Sosialisme dalam Islām’. Jika mereka ingin dan bermaksud membawa ide bahwa ada bagian-bagian penting tertentu dalam dimensi-dimensi sosialisme yang sejajar atau serupa dengan beberapa dimensi dari Islām, maka seharusnya mereka menyatakan ide itu dengan cara lain yang tidak mudah ditafsirkan secara kabur, misalnya ‘dimensi sosial, politik dan ekonomi dari Islām’ – atau beberapa pernyataan lain semacam itu, yang dengan sedikit usaha intelektual dapat dengan mudah difahami dan diterima sebagai tafsiran yang sah dari pandangan alam (worldview) Islām. Namun kegagalan mereka untuk memahami hal ini dan keinginan keras mereka untuk menulis sebagaimana yang telah mereka lakukan, menyingkapkan dengan jelas akan lemahnya mereka dalam kefahaman dan ilmu yang mendalam baik mengenai kebudayaan dan peradaban Islām maupun Barat. (Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. 2010, hlm. 55)

Situasi ini seakan semakin menguatkan tesis beliau tentang loss of adab yang melanda dunia Islam saat ini. Ketika kita kehilangan adab, kita tidak mampu menempatkan sebuah produk pemikiran pada tempatnya. Dalam kasus ini, kita silau dengan logika persamaan sehingga lupa dengan logika perbedaan. Akhirnya, yang terjadi adalah logika ikut-ikutan!

Dalam hal ini, ada baiknya kita belajar dari ketelitian Imam Al-Ghazali dalam menerima ide-ide dari filsafat Yunani. Pertama, beliau tentu memiliki dasar ilmu keislaman yang sangat kokoh sehingga memiliki kacamata yang sangat jeli. Kedua, sebelum beliau mengkritik beberapa perkara filsafat Yunani yang menurutnya dapat menyebabkan bid’ah dan kekufuran, beliau terlebih dahulu mengarang kitab Maqāṣid al-falāsifa yang berisi penjelasan terhadap konsep inti filsafat Yunani. Barulah setelah menjelaskan konsep intinya, beliau melakukan kritik terhadap 20 perkara filsafat Yunani yang dianggapnya bermasalah – 17 dianggap bid’ah dan 3 dianggap kufur – dalam kitab Tahāfut al-falāsifa. Jelas terlihat kejelian beliau di sini.

Terakhir, ada baiknya kita tidak minder dengan pencapaian kita sendiri dan mencari ‘validasi’ dari luar. Tentu bukan berarti tidak boleh belajar segala yang berasal dari luar Islam. Belajar dan membandingkan silahkan, namun ada baiknya diiringi dengan disiplin pemikiran yang tinggi agar hasilnya tidak serampangan. Hargai tradisi, teliti sebelum “membeli”.

Wallāhu a‘lam.

___

*Penulis saat ini menempuh studi doktoral di Belanda dalam bidang Electrical Engineering.

Editor: Ferdi