Senin, 25 April 2022

MENJAGA BATAS, MENGHINDARI MATINYA KEPAKARAN




Picture by : IDEApers


Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc*

Pada tulisan yang dimuat di website seedinstitute.net  sebelumnya, saya menyoroti peran kalangan awam sebagai subjek aktif yang memiliki hak dengan peran mengawasi perkembangan sains dan kajian keagamaan serta gerakan dakwah agama agar relevan dengan kebutuhan masyarakat luas dan tanggap dengan tantangan kehidupan.

Saya hendak menggarisbawahi, peran kalangan awam berikut dengan hak yang dapat dituntutnya dari kalangan ahli, tidak menjadi kalangan awam dapat keluar dari lingkup keawamannya. Islam memiliki pandangan alam terhadap realitas yang bersifat hirarkis, sehingga tidaklah sama atau sederajat kedudukan antara kalangan ahli dan awam. Keduanya memiliki tempat dan posisi yang berbeda dalam struktur sosial masyarakat Islam dengan batas-batas hirarkis yang jelas antara keduanya. Dengan kata lain, area kalangan ahli secara konseptual terpisah dari kalangan awam, begitu pun sebaliknya, kalangan awam tidak dibenarkan memasuki area kalangan ahli.

Kalangan awam melangsungkan perannya terkait kerja keilmuan para ilmuwan maupun agamawan dari wilayahnya, tanpa memasuki area kalangan ahli. Penjagaan terhadap batas-batas ini harus dilakukan untuk menghindari terjadinya kematian kepakaran sebagaimana diulas dengan apik oleh Tom Nichols dalam bukunya yang populer berjudul the Death of Expertise. Kematian kepakaran yang juga berarti kematian bagi para pakar, dalam analisa Tom Nichols salah satunya, selain merebaknya pseudosains, ialah disebabkan oleh kalangan awam yang berlagak layaknya seorang ahli dengan modal keterbukaan informasi.

Di sisi lain, menambahkan analisis Nichols, kematian para pakar juga tidak dapat dilepaskan dari perilaku kalangan ahli sendiri yang secara sosiologis dan kultural mengambil jarak dari masyarakat luas. Jarak antara kedua kalangan semakin menganga lebar disebabkan tidak terjalinnya komunikasi dua arah. Para ahli di bidang sains maupun keagamaan sibuk berkomunikasi di antara internal kalangannya melalui media jurnal, seminar, konferensi, majelis, dan semisalnya, tanpa sama sekali menjalin komunikasi sains populer dengan berbagai media dan bahasa sehari-hari yang dapat diakses oleh masyarakat luas.

Namun demikian, dalam perspektif Islam, kalangan awam tidak selamanya berstatus awam hingga akhir hayatnya. Islam membuka pintu yang lebar untuk melakukan mobilisasi vertikal kelas intelektual dalam struktur sosial masyarakat Islam dengan menjadi kalangan ahli melalui proses pendidikan, meskipun berasal dari kalangan ekonomi lemah yang dalam masyarakat Islam tetap dapat melakukan mobilisasi vertikal dengan berbagai sokongan institusi sosial ekonomi, diantaranya zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf.

Yang perlu dicatat, inklusivitas struktur sosial masyarakat Islam tidak hanya berlaku bagi kalangan muda dan pria. Bagi kalangan wanita dan manula pun memiliki kesempatan yang sama sebab seluruh umat Islam yang telah akil baligh, tanpa memandang jenis kelamin, ras, maupun etniknya, memiliki tanggungjawab untuk menuntut ilmu hingga tubuhnya tak lagi bernafas dan dikuburkan di liang lahad. Karena itu tidak sedikit kita mengenal para ahli dari kalangan wanita sejak awal sejarah masyarakat Islam hingga pada masa dunia kontemporer.

Selain itu, inklusivitas struktur sosial masyarakat Islam merupakan keniscayaan dari peran kalangan ahli yang menempati kelas teratas untuk meningkatkan kesadaran beragama kalangan awam, sehingga dapat menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan keseharian. Dengan demikian, kalangan awam dalam Islam bukanlah kalangan yang benar-benar kosong, tanpa pemahaman, dan sama sekali tidak memahami ilmu. Paling tidak terdapat dua ilmu yang harus dikuasai kalangan awam dari umat Islam. Yang pertama ialah ilmu untuk mengetahui siapa kalangan ahli dan siapa yang bukan, sehingga dengan ilmu ini kalangan awam dapat mengikuti pendapat dan belajar dari para ahli. kedua adalah ilmu fardhu ain yang wajib dikuasai oleh setiap diri Muslim, termasuk kalangan awam, yang tidak dapat diwakilkan kepada pihak lain, semisal ilmu berkaitan dengan aqidah dan ibadah mahdhah.

Peran kalangan ahli dan kalangan awam yang ditopang dengan karakter struktur sosial yang inklusif, menjadikan masyarakat Islam bersifat stabil, dalam arti memiliki mekanisme untuk menghindari terjadinya matinya kepakaran, yakni dengan konsep adil yang menuntut setiap Muslim menginsafi kedudukan dirinya dalam masyarakat Islam dengan benar dan tepat. Dengan begitu sikap tahu diri menjadi kunci yang dimiliki umat Islam untuk menjaga keberlangsungan masyarakatnya yang dikenal dengan karakter masyarakat ilmu. Tanpa keinsafan ini, runtuhlah masyarakat sebagaimana saat ini sedang dialami berbagai komunitas manusia!



----

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang


Editor : Alfrisa Ica

Minggu, 24 April 2022

PERAN KALANGAN AWAM


Picture by : Maxmanroe.com

Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc*

Selama ini kalangan awam, baik dalam bidang sains maupun keagamaan dianggap sebagai subjek pasif dikarenakan tidak memiliki otoritas pada dua bidang tersebut yang menjadikannya memiliki ketergantungan sepenuhnya kepada para ahli. Dalam bidang sains, kalangan awam sebagai pengguna capaian sains untuk menjalani kehidupan keseharian yang lebih mudah, nyaman, aman, dan cepat, membutuhkan komunikasi, bimbingan, dan pengawasan dari para ilmuwan. Sementara itu pada bidang keagamaan, kalangan awam diposisikan sebagai objek dakwah yang terus menerus harus dididik, dikawal, dan diarahkan agar senantiasa berada di atas jalan yang benar.

John Horgan dalam bukunya berjudul the End of Science memaparkan penjelasan yang menarik mengenai peran kalangan awam dikaitkan dengan fenomena berakhirnya kemajuan sains yang merupakan sorotan utama dalam buku tersebut. Horgan menjelaskan, para ilmuwan di bidang astronomi, paling tidak di Amerika Serikat, begitu terobsesi menemukan bumi kedua atau kehidupan lain di alam semesta untuk menemukan jawaban atas pertanyaan fundamental yang senantiasa membuat gelisah sekaligus menggugah, yakni apakah bumi merupakan satu-satunya planet di mana terdapat kehidupan di dalamnya? Apakah manusia satu-satunya makhluk cerdas di alam semesta?

Untuk memuaskan para ilmuwan, gelontoran dana yang berjumlah milyaran dolar dialokasikan oleh pemerintah Amerika Serikat. Tepat di sinilah titik awal berakhirnya kemajuan sains di bidang astronomi. Sontak kalangan awam yang berstatus sebagai warga negara melancarkan protes karena pajak yang mereka bayarkan kepada negara digunakan untuk proyek sains ambisius yang tidak memberikan keuntungan sedikit pun kepada mereka dalam melangsungkan kehidupan keseharian. Sejak itu, disebabkan iklim demokrasi yang menuntut persetujuan rakyat, para ilmuwan didorong untuk melangsungkan agenda penelitian yang bersifat aplikatif sehingga dapat memberikan hasil yang dibutuhkan masyarakat luas, tidak sekedar untuk memenuhi kepuasan batin terkait rasa ingin tahu yang mendesak untuk dicari jawabannya.

Dalam penjelasannya, Horgan menunjukkan peran aktif kalangan awam dalam perkembangan sains. Sebagai warga negara, kalangan awam dapat terlibat aktif sebagai pengawas bagi kerja-kerja keilmuan yang dilakukan para ilmuwan untuk memastikan hasilnya berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan mereka. Namun harus digarisbawahi, penjelasan ini sama sekali tidak bertentangan dengan paragraf pertama di atas sebab relasi antar manusia sudah seharusnya terjalin melalui komunikasi dua arah. Kalangan awam berkomunikasi kepada para ilmuwan untuk menyampaikan kebutuhan dan keperluannya, begitu pula kalangan ahli dapat menyampaikan hasil kerja keilmuan kepada masyarakat luas dengan bahasa dan cara yang paling mudah dipahami oleh seluruh kalangan.

Perspektif tadi tidak jauh berbeda untuk diterapkan pada bidang keagamaan. Kalangan awam tidak hanya objek dakwah yang perlu untuk dipahami dan dibimbing. Lebih dari itu, kalangan awam pun merupakan subjek aktif yang mengawasi peran para ahli di bidang keagamaan agar berdakwah sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas dan tuntutan kondisi kehidupan mereka yang setiap hari semakin terasa berat. Sebab mendapatkan penjelasan dan bimbingan agama merupakan hak kalangan awam yang menjadikannya sebagai kewajiban kalangan ahli agama.

Kalangan awam sebagai bagian dari Ummah seharusnya dapat melancarkan protes, dan seharusnya disediakan ruang untuk menyampaikan komunikasi semacam ini, jika didapati para ahli ilmu justru asyik dengan perdebatan agama yang tidak menyentuh langsung kehidupan masyarakat luas dan tidak dibutuhkan oleh kalangan awam, semisal perdebatan berusia puluhan abad mengenai kewalian, Arsy, Dzat Tuhan, dan semisalnya. Para ahli agama seharusnya menahan diri untuk tidak membahas topik dan persoalan agama yang tidak berkaitan langsung dengan masyarakat luas di ruang publik atau melalui media komunikasi umum. Sebagai bagian dari agama bukan berarti topik atau persoalan tersebut dapat ditinggalkan, tetapi sebaiknya dilangsungkan di ruang yang terbatas, seperti ruang akademik maupun di internal majelis para ulama.

Sementara itu, ruang publik dan media komunikasi umum dioptimalkan untuk menjalin komunikasi dua arah antara para ahli agama dengan kalangan awam yang akan berkorelasi pada penguatan struktur Ummah secara sosiologis. Dengan menempatkan kalangan awam sebagai subjek yang memiliki hak, diharapkan pengkajian dan penyampaian agama dapat relevan dengan kebutuhan masyarakat karena bersentuhan langsung dengan kondisi kehidupan keseharian. Inilah salah satu dari lima pembaharuan agama yang diusulkan oleh Amien Rais. Dengan begitulah perjuangan relevansi agama di tengah zaman modern berlangsung, sebagaimana dinyatakan Kuntowijoyo.

Dengan agama dan sains yang menyentuh kehidupan, begitulah seharusnya peran kekhalifahan para ahli direalisasikan. Tetapi juga akan berbuah rahmat bagi seluruh alam semesta yang salah satunya ditandai dengan terwujudnya kesejahteraan dan keselamatan hidup bagi seluruh kalangan. Inilah pesan Tuhan pada bulan Ramadhan yang membuka risalah kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Perintah iqra' yang ditujukan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman, tidak hanya untuk segelintir elit ilmuwan dan agamawan.

 ----

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang


E
ditor : Alfrisa Ica

Rabu, 13 April 2022

ANAK-ANAK DI MASJID, HARUS DILARANG?

Sumber: alhuda.or.id

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Kembali saya akan menanggapi persoalan yang sedang menjadi perbincangan di lini masa FB dari perspektif bidang yang saya geluti, yakni larangan membawa anak-anak ke masjid jika menyebabkan keributan karena akan menganggu kekhusyukan jamaah shalat. Karenanya wajib bagi orang tua yang membawa anak ke masjid untuk mendidik dan mendampingi anaknya agar tidak membuat keributan. Selain itu, lebih baik anak yang belum akil balig tidak diajak ke masjid karena pada usia tersebut anak belum bisa dikondisikan. Begitu deretan tanggapan dari para ahli agama yang saya jumpai di lini masa mengenai permasalahan tadi.

Tentu saja saya tidak akan membahas dari perspektif agama, dalam hal ini adalah fikih. Saya akan mengulasnya dari bagian ilmu agama yang lain, yakni Arsitektur Islam. Pertama-tama kita harus pahami terlebih dahulu tata ruang masjid merujuk pada Masjid Nabawi pada masa awal yang tidak saja terdiri dari ruang shalat yang disebut haram atau zulla, tetapi juga memiliki ruang serambi dan halaman terbuka. Tiga ruang ini merupakan cetak dasar tata ruang masjid di mana pun masjid didirikan, termasuk di Nusantara.

Masalah kekinian terkait aspek tata ruang masjid adalah hanya menyisakan ruang shalat, dengan luasan ruang serambi yang minim, dan hilangnya halaman terbuka. Salah satu penyebabnya dikarenakan harga tanah yang mahal di lingkungan perkotaan, sehingga tidak dibiarkan sejengkal pun petak tanah tidak terbangun yang dilegitimasi dengan ajaran agama sebagai upaya menghindari sikap mubazir. Akibatnya, dalam konteks bahasan tulisan ini, anak-anak yang dibawa ke masjid hanya memiliki ruang shalat untuk tempatnya berkegiatan. Sudah bisa ditebak, potensi mengganggu jamaah lain pun semakin meningkat.

Saya akan langsung pada contoh saja. Masjid di permukiman kami memiliki ruang serambi dan halaman terbuka yang terbilang luas. Di dua ruang itulah anak-anak bermain saat orang tuanya melaksanakan ibadah shalat. Di serambi yang terbuka tanpa dinding, anak-anak bisa berkumpul dengan sebayanya. Agar semakin betah, sekaligus lebih mudah dikontrol, sebagian koleksi Rumah Baca Esa kami pindahkan ke serambi masjid untuk dibaca oleh anak-anak secara individual maupun kelompok.

Selain itu, anak-anak juga biasa bermain di halaman terbuka yang dilengkapi dengan dua buah ayunan dan dua buah gawang untuk bermain futsal. Lari-lari hingga glesotan dan hujan-hujanan dapat dilakukan di ruang ini. Dengan begitu, keberadaan anak di masjid tidak akan mengganggu aktivitas ibadah orang tua di ruang utama masjid pada waktu-waktu anak sedang tidak mau mengikuti ibadah.

Saat ini anak-anak dari usia TK kecil yang sering bermain di masjid permukiman kami, sedang senang-senangnya bermain di area kolam ikan yang memisahkan bangunan utama untuk shalat dengan bangunan toilet dan wudhu. Fasilitas seperti ini ternyata juga bisa digunakan untuk mengontrol kegiatan anak-anak di masjid, sehingga tidak berlarian dan membuat keributan di ruang shalat. Untuk keamanan anak-anak saat orang tua melaksanakan ibadah shalat, pintu pagar masjid kami tutup agar mereka tidak berlarian ke arah jalan atau untuk mencegah tindakan kriminal lainnya, selain penjagaan dari beberapa ibu yang datang ke masjid dalam kondisi tidak shalat hanya untuk menemani dan mengawasi anak-anak.

Dengan kondisi masjid yang ramah bagi anak dari aspek spasial maupun sosial, kami memberanikan diri mengajak Esa dan Nalar berkegiatan di masjid sejak usianya menginjak 1 tahun beberapa bulan, padahal saat itu kami terhitung warga baru di lingkungan permukiman. Sempat pada masa awal diajak ke masjid, saat itu bulan Ramadhan, Esa memukul kaca jendela yang memisahkan antara ruang shalat dan serambi. Atas perbuatan itu saya meminta maaf kepada ketua takmir karena dikhawatirkan mengganggu jamaah yang lain. Tetapi beliau justru memaklumi, begitu pula seluruh jamaah.

Lambat laun saya memahami mekanisme sosial yang berlangsung di masjid. Kami mengetahui anak siapa saja yang berkegiatan di masjid, dan kami turut mengawasi serta mengontrol perilaku mereka. Kehadiran anak-anak di masjid bukan saja tanggung jawab orang tua untuk mendampingi, tetapi juga peran seluruh jamaah karena bagaimana pun anak-anak juga merupakan bagian dari masyarakat Islam yang berpusat di masjid. Mereka juga berhak mendapatkan pendidikan dan perlindungan dari lingkungan sosialnya.

Satu kasus saja. Suatu hari Nalar tiba-tiba menangis saat Shalat Tarawih berlangsung karena melihat seorang bude yang berada di belakang shaf Bunda. Karena tidak bisa dikondisikan lagi, maka Bunda mengajak Nalar pulang. Inilah kelebihan masjid permukiman yang tidak membutuhkan mobilisasi spasial dalam jarak yang jauh dari rumah. Keesokan harinya, bude tersebut memilih shaf yang berjauhan dari Bunda agar Nalar tidak takut.

Pada kasus yang lain, saat ngaji Surah Al-Kahfi rutin malam Jumat, baru saja membaca basmalah, anak-anak pria langsung grudukan ke luar ruang shalat untuk bermain bola sampai waktu makan bersama tiba selepas ngaji. Pekan depannya saya tantang mereka, kalau ikut ngaji sampai 10 ayat saja akan mendapatkan jatah makanan berlipat, tetapi kalau tidak bisa, mereka harus membantu bersih-bersih setelah makan bersama.

Demikian upaya kami memperkenalkan masjid kepada anak-anak sejak dini dan menghadirkan masjid yang ramah bagi mereka untuk bertumbuh dan menjadi bagian dari masyarakat Islam. Tidak saja memenuhi kebutuhan ruang untuk mereka berkegiatan di masjid agar meminimalkan gangguan terhadap berlangsungnya aktivitas ibadah, tetapi juga menyediakan lingkungan sosial yang terbuka, melindungi, mendidik, dan mengayomi mereka. Inilah ciri khas Arsitektur Islam yang selalu mengkaitkan ruang dengan kehadiran manusia yang berkesadaran Islam.

Sebagai penutup saya akan menyampaikan pesan bapak ketua takmir masjid kami yang saat ini menjadi penasihat takmir. Anak-anak kita tidak akan selamanya kecil. Sebentar saja mereka akan menjadi bagian dari remaja masjid, kemudian menjadi takmir masjid. Jangan sampai mereka jauh dari masjid karena masa depan masjid ini dan jamaah ada pada generasi mereka. Jadi, hilangnya anak-anak dari masjid adalah ancaman bagi keberlanjutan pengelolaan masjid pada masa depan, yang berarti ancaman pula bagi keberlangsungan masyarakat Islam masa mendatang!**

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Kamis, 7 April 2022. 

Editor: Ferdi

Sabtu, 09 April 2022

RAMADHAN, HARUSKAH BERBEDA?





Oleh : Sandya Mahendra*

Ramadhan merupakan bulan suci bagi seluruh umat Islam yang di dalamnya terdapat kemulian-kemulian yang tidak dapat dijumpai di bulan lain. Setiap muslim berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mencapai makrifat tertinggi dari Tuhan. Dibalik kemuliaan beserta amalan-amalan yang ada dalam bulan Ramadhan, terdapat hal unik yang sering terjadi di Indonesia ketika tiba pada akhir bulan Sya’ban, yakni mengenai penentuan awal Ramadhan. Setelah lima tahun kompak berpuasa di hari yang sama, tahun ini cukup berbeda karena Kementrian Agama dan Muhammadiyah menentukan 1 Ramadhan di hari yang berbeda dalam hitungan tahun masehi. Hal ini disebabkan karena perbedaan metode dalam penentuan awal Ramadhan. Kementerian Agama menggunakan metode rukyatul hilal sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab. Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang berbeda bagi saya, karena tahun ini saya berpuasa mengikuti panduan metode hisab sebagai penentuan awal puasa, yang sebelumnya saya biasanya hanya mengikuti arahan dari Kementrian Agama.

Metode rukyatul hilal menurut Muhyidin Khazin bahwa rukyat al-hilal merupakan suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau Bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai. Metode ini sering digunakan sebagai rujukan Nahdlatul Ulama dan Kementerian Agama. Sedangkan metode hisab menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima, ijtima itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.

Masyarakat memberikan respon yang beragam mengenai perbedaan awal hari puasa, baik yang menjunjung tinggi perbedaan hingga menolak adanya perbedaan karena berpotensi menimbulkan polarisasi. mengganggu ukhuwah Islamiyah, dan tidak taat pada pemerintah. Perbedaan ini menjadi wajar karena Indonesia secara sistem tidak memberlakukan satu mazhab tertentu sebagai mazhab resmi negara. Maka dari itu, Indonesia secara tidak langsung memberikan ruang untuk pemahaman-pemahaman keagamaan untuk berekspresi di tengah-tengah masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya berbagai ormas keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, MTA, LDII, Persis, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki identitas tersendiri dalam setiap gerakannya.

Mengutip pada sebuah jurnal yang ditulis oleh Muammar Bakry, bahwa Yusuf al-Qardhawi menyebutkan etika dalam menyikapi perbedaan fiqih diantaranya seseorang tidak mengingkari secara mutlak atau final terhadap masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable, begitu pula tidak meyakini dan mendukung secara mutlak. Hal ini sesuai dengan kaidah yang mengatakan: “ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain."Selain itu, hendaknya seseorang fokus pada hal-hal yang muhkamat atau jelas penafsirannya, dan menghindari perdebatan seputar hal yang mutasyabihat (masih samar).“ 

Berangkat dari pernyataan di atas, maka Malik bin Anas sebagai pendiri mazhab Malikiyah dan termasuk salah satu ulama klasik yang mengusung semangat bertoleransi mengatakan bahwa “kebebasan berpendapat dan perbedaan harus dihargai dan tidak boleh diberangus dengan upaya penyeragaman melalui kebijakan penguasa“ Ucapan Imam Malik ini berangkat dari inisiatif Khalifah Harun al-Rasyid untuk menggantungkan kitab al-muwatta’ karya Imam Malik bin Anas di atas Ka’bah. Dengan tujuan agar semua orang mengikuti atau merujuk pada kitab tersebut. Imam Malik menolak dan berkata “wahai pemimpin kaum mukminin, janganlah anda menggantung kitab itu di atas Ka’bah, sebab para sahabat Rasulullah pun telah berbeda pendapat.“ Sikap Imam Malik tersebut, jelas menghindari pembenaran mutlak dari karyanya sehingga menghilangkan rahmat perbedaan pendapat sebagai bentuk khazanah kekayaan umat Islam. Inilah salah satu bentuk olah pikir dalam menerima sikap keterbukaan pemikiran terhadap ikhtilaf.

Perbedaan ini mengingatkan saya di lingkungan tempat saya tinggal memang beragam, terhitung satu kompleks RT terdapat tiga masjid yang memiliki cirinya masing-masing, namun semua kompak dalam urusan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Sudah sepatutnya kita bersyukur di Indonesia, di mana mimbar-mimbar keagamaan berbagai madzhab yang diberi ruang untuk mengekspresikannya di khalayak umum. 

Perbedaan seharusnya dimaknai sebagai sebuah fitrah dalam sebuah masyarakat, terutama ini adalah momentum Ramadhan yang seharusnya setiap elemen umat Islam saling berpegang teguh pada tali-tali persaudaraan. Seperti firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 103 yang artinya “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahilia) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”

 ----

*Mahasiswa Fakultas Hukum UMS, Pegiat SEED Institute

 Editor : Alfrisa Ica

Rabu, 06 April 2022

LUBERAN SPIRITUALITAS DI RUANG PROFAN

Sumber: Facebook Andika Saputra


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Sepekan ini media sosial FB di lini masa saya marak membincangkan dengan nada pro dan kontra terkait peristiwa pembacaan Al-Qur'an di Malioboro, Yogyakarta, dan Shalat Tarawih yang diselenggarakan di Times Square, New York, Amerika Serikat yang keduanya dihadiri oleh sekitar 1.000 orang umat Islam.

Kedua peristiwa tadi, walaupun terjadi di dua tempat dan waktu yang berbeda, memiliki kesamaan. Pertama, keduanya merupakan kegiatan yang bermuatan spiritualitas Islam dan merupakan realisasi dari keimanan umat Islam. Kedua, dua peristiwa terjadi di ruang ekonomi yang menjadi pusat dan ikon masing-masing wilayah. Times Square merupakan pusat perekonomian New York sebagaimana Malioboro adalah ikon ekonomi Yogyakarta.

Dalam pandangan arus utama, modernisasi melalui industrialisasi mensyaratkan diterapkannya paham Sekularisme dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ruang ekonomi sepenuhnya menjadi bersifat profan, terputus hubungan dari ruang sakral, sehingga kegiatan ekonomi dapat dilangsungkan dengan sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar, tanpa keterlibatan apalagi pembatasan dan kekangan dari nilai agama yang berasal dari Tuhan. Dari sinilah munculnya persepsi bahwasanya tabu dicampurinya urusan jual beli yang duniawi dengan aktivitas keagamaan yang sakral. Tidak ada tempat yang lebih pantas untuk mewadahi kegiatan keagamaan selain di ruang peribadatan, dalam peristiwa ini ialah masjid.

Ruang ekonomi yang sepenuhnya kosong dari spiritualitas dan otoritas agama adalah yang dimaksud sebagai ruang yang paling dibenci oleh Tuhan dalam suatu kota, sebagaimana termuat dalam salah satu Hadits Rasul. Sebabnya, kegiatan perekonomian yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas, jika dipisahkan dari ketentuan dan aturan dari Tuhan yang termuat dalam agama akan berpotensi terjadinya eksploitasi yang merugikan salah satu pihak, yakni pembeli atau pedagang. Lebih jauh lagi, eksploitasi merembet hingga menyebabkan kesenjangan kelas ekonomi yang semakin jauh.

Spasialisasi agama di ruangnya sendiri sebagai akibat penerapan paham Sekularisme dalam kehidupan, menurut Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul Budaya dan Masyarakat, adalah biang terjadinya dampak buruk dari proses modernisasi yang terjadi melalui industrialisasi. Tidak saja masalah lingkungan, tetapi juga berdampak buruk pada kehidupan manusia akibat orientasi hidup serba ekonomi. Keberadaan ruang ibadah di dekat, sebelah, bahkan di dalam ruang ekonomi pun tidak otomatis menyelesaikan masalah karena justru akan menyebabkan subordinasi masjid di bawah otoritas pasar dengan hanya menjadi salah satu fungsi pendukung bagi kegiatan ekonomi yang merupakan aktivitas utama.

Muncullah masalah lain yang oleh Kuntowijoyo diberinya istilah masjid stanplat bus untuk menggambarkan kondisi masjid yang ramai, tetapi setelah shalat selesai diselenggarakan, semua jamaah bubar begitu saja, persis layaknya halte bus. Sehingga keberadaan masjid dan melubernya jamaah shalat tidak mampu mempengaruhi pasar dan kegiatan perekonomian. Sebab kedudukannya sebagai fasilitas pendukung justru menjadikan masjid sebatas sebagai ruang rehat sejenak bagi umat Islam di sela kegiatan ekonomi yang menjadi prioritasnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kuntowijoyo menghendaki pasar di bawah otoritas masjid yang merupakan pusat spiritualitas Islam. Dengan kata lain pasar dan kegiatan perekonomian yang berlangsung di dalamnya harus terintegrasi dan lekat dengan ruang yang paling dicintai oleh Tuhan. Lebih jauh memang tidak diulas oleh Kuntowijoyo perihal strategi dan cara untuk merealisasikan gagasan tersebut. Saya mengira-ngira, strategi rembesan struktural dan kultural dapat dieksperimentasikan untuk mewujudkan gagasan tadi.

Strategi struktural berupaya menempatkan pasar secara manajerial di bawah otoritas masjid. Dengan kata lain, sumber spiritualitas sekaligus berperan sebagai sumber penggerak perekonomian. Tidak usah jauh-jauh mencari contoh, artikel berjudul Masjid dan Potensi Wisata Religi yang ditulis oleh ustadz Arif Sulfiantono memotret geliat pasar rakyat yang dimotori Masjid Jogokariyan Yogyajarta maupun pasar di area Masjid Pemuda Surabaya yang digawangi ustadz Ibra Maulan Tigotsulatsi, dan pasar yang rutin diselenggarakan di depan area Masjid Baitul Makmur Denpasar.

Memang penerapan strategi struktural berpotensi besar menimbulkan konflik sosial karena berorientasi pada penguasaan ruang pasar, apalagi jika intervensi dilakukan pada pasar yang telah eksis dan besar, seperti Times Square dan Malioboro. Dari sinilah penolakan terhadap aktivitas membaca Al-Quran yang secara masif dilakukan di Malioboro dengan argumentasi ketiadaan izin dari pihak otoritas. Sedangkan terkait aspek yang sama pada peristiwa Shalat Tarawih di Times Square, New York, sebagaimana informasi yang disampaikan ustadz Shamsi Ali merupakan realisasi dari religious freedom di Amerika Serikat sekaligus sebagai ekspresi umat Islam di tengah masyarakat yang plural.

Sementara itu strategi kultural berupaya mempengaruhi kegiatan dan orientasi aktivitas ekonomi di pasar melalui keterlibatan pelaku yang memiliki ikatan spiritualitas dengan masjid. Dua peristiwa yang saya kutip dalam tulisan ini lebih tepat dipandang sebagai strategi kultural melalui intervensi kegiatan jual beli di pasar dengan melangsungkan kegiatan membaca Al-Quran dan Shalat Tarawih. Tetapi saya menduga, dua kegiatan ini lebih bersifat seremonial, hanya dilangsungkan sekali atau beberapa kali dalam rangka menyambut Ramadhan, sehingga hampir-hampir tidak akan menyisakan dampak bagi kegiatan ekonomi.

Kembali merujuk kepada Kuntowijoyo yang merumuskan etika profetik berdasar perenungannya terhadap Surah Ali-Imran: 110, strategi struktural berasaskan Liberasi untuk membebaskan manusia dari segala struktur yang merusak kemanusiaan dan kehidupannya, sedangkan strategi kultural dilandasi Transendensi untuk menciptakan kehidupan dan cara hidup yang lekat dengan spiritualitas Islam. Untuk yang terakhir secara spesifik Kuntowijoyo menyebutnya dengan spiritualisasi kebudayaan.

Dua strategi untuk menempatkan masjid sebagai otoritas bagi ruang pasar adalah keniscayaan jika merujuk pada konsep masjid sebagai tempat sujud yang berdimensi lahir dan batin, sehingga mewadahi kegiatan ibadah mahdhah yang berorientasi vertikal dan akhirat dan ibadah ghairu mahdhah yang berorientasi horisontal dan keduniaan. Dengan kata lain, orientasi hidup umat Islam mencakup akhirat sekaligus dunia, begitu pula dengan masjid yang menjadi pusat bagi masyarakat Islam pun menyandang tujuan akhirat dan dunia sekaligus. Karenanya masjid pun memiliki peran di bidang ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Dari penjelasan paragraf di atas, peristiwa Shalat Tarawih di Times Square seharusnya berawal dari 300 masjid yang tersebar di seluruh New York, dan pembacaan Al-Quran di sepanjang jalan Malioboro didukung masjid-masjid di seputar wilayah tersebut. Terlepas dari itu, dua peristiwa di Times Square dan Malioboro dapat dipandang sebagai luberan spiritualitas Islam dari masjid memenuhi ruang ekonomi yang profan. Memang saat ini masih seremonial, tetapi paling tidak peristiwa tersebut menjadi kritik dan penyeimbang kehidupan perkotaan modern yang materialistik, bahkan ateistik. Oleh karenanya agenda liberasi dan transendensi mutlak direalisasikan terhadap ruang ekonomi!**

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Senin, 4 April 2022. 

Editor: Ferdi

WORLDVIEW PELAJAR TERHADAP PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA

Sumber: unplash.com

Oleh: Muhammad Ibnu Masngud*

Sebuah Realitas

Saat libur akhir semester gasal tanpa sengaja saya bertemu dengan ibu dari kakak kelas saya saat sekolah menengah pertama, kebetulan dia baru saja mendapatkan gelar sarjananya. “Fulan (nama samaran) di rumah nggak Bu?” tanya saya sekedar basa-basi. Setelah menjawab pertanyaan saya, diluar dugaan beliau menceritakan bahwa anaknya lulus menggunakan jasa joki skripsi. Namun nampaknya sama sekali tidak ada ekspresi yang menunjukan rasa prihatin, ataupun semacamnya dari raut muka beliau.

Tak lama sebelum itu, saya mendapatkan cerita dari kawan. Dia menyebutnya sebagai “Tragedi Intelektual massal”. Di mana teman-temannya mengerjakan soal UAS (Ujian Akhir Semester) berjamaah. “Masih mending kalo sambil diskusi”, ujarnya kesal. Ternyata salah seorang temannya yang paling pandai mengirimkan seluruh jawaban ujian ke grup kelasnya setelah selesai mengerjakan dan mendapat nilai sempurna.

Pada era pembelajaran online, numpang nama saat kuliah, ganti nama tugas teman, dan dua cerita di atas lumrah terjadi, sudah menjadi “rahasia umum”. Secara normatif hal-hal di atas merupakan penyimpangan bagi seorang anggota civitas academica (baca: masyarakat akademik) khususnya mahasiswa. Lalu apa penyebabnya? Dan harus bagaimana?

Persoalan di atas hanyalah secuil dari seluruh problematika pendidikan hari ini. Empat puluh empat tahun yang lalu Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam yang pertama di Mekkah menyampaikan bahwa problematika umat Islam adalah hilang adab (loss of adab).  Jika kita mengamati realitas pendidikan sekarang ternyata apa yang disampaikan beliau saat itu masih relevan sampai hari ini.

Menurut hemat saya, faktor utama dalam permasalahan ini adalah worldview (pandangan alam) seorang anggota civitas academica terhadap hakikat pendidikan. Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya Minhaj menyampaikan, “Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencetak manusia seutuhnya (Insan Kamil). Artinya manusia yang memiliki keseimbangan antara kedewasaan intelektual, spiritual dan moral.” Sayangnya masih banyak mahasiswa muslim yang orientasi belajarnya hanya sebatas bagaimana dia bisa mendapat pekerjaan yang layak.

Cara Pandang yang Seharusnya

Di suatu sore setelah lelah dengan aktivitas harian, saya menghampiri seorang teman yang sedang sibuk dengan buku lamanya.  Setelah sedikit cerita tetang bukunya dan ngobrol ngalor ngidul, saya memberitahunya bahwa saya baru membeli buku yang dulu pernah saya pinjam darinya. Saya jelaskan bahwa cara pandang saya terhadap proses belajar berubah, “Ternyata kalo mau punya ilmunya, harus punya bukunya juga karena membaca nggak cukup sekali.

Saya pikir dia tidak akan banyak menanggapi, tapi dia justru berkata “Bagi yang memahami worldview Islam cara pandangmu masih belum komprehensif.” Dia menjelaskan bahwa seharusnya saya tidak memandang membeli buku hanya terbatas dengan pandangan empiris semata, tapi harus melibatkan dimensi metafisik -dalam hal ini wahyu sumbernya- dan empris secara integral. Sederhananya ketika kita mengeluarkan biaya untuk membeli buku, selain kita lebih mudah mengaksesnya, juga akan mendatangkan keberkahan dan kemudahan dari Allah karena menuntut ilmu adalah jihad fi sabilillah.

Memang seharusnya begitu cara pandang kita terhadap realitas, melibatkan dimensi empiris dan metafisik. Dan inilah ciri utama yang membedakan antara filsafat ilmu Islam dan filsafat ilmu Barat. Dalam epistemologi, filsafat Barat hanya menerima yang empiris dan rasional. Sedangkan epistemologi filsafat ilmu dalam Islam sumbernya tidak hanya yang empiris dan rasional saja, namun juga khabar shadiq -dalam konteks ini adalah wahyu- dan intuisi.

Untuk memudahkan kita memahami worldview Islam, Prof. Hamid memberikan contoh sederhana, “Ketika seorang mukmin melihat daging dia tidak akan melihat kualitas daging atau proses pengolahannya saja, namun dia akan melihat bagaimana kehalalannya dan keberkahannya.” Jika kita kontekstualisasikan ke problematika di awal maka kita akan temukan jawabannya, bahwa banyak mahasiswa yang memandang proses belajar dari dimensi empiris semata sehingga menghasilkan pikiran yang materialistik. Bahkan mungkin lebih buruk dari itu, cara pandang yang sangat pragmatis.

Dari penjelasan di atas maka kita dapat kategorikan cara pandang pelajar terhadap hakikat pendidikan menjadi tiga: pragmatis, kognitif, dan komprehensif (melibatkan dimensi empiris dan metafisik). Dari ketiga kelompok itu, yang paling buruk adalah yang pragmatis, dan yang paling baik adalah yang memandang hakikat pendidikan secara komprehensif.

Untuk kelompok yang pertama, jangankan berfikir tentang keberkahan, memikirkan dampak bagi kualitas keilmuan mereka saja mungkin tidak. Mahasiswa yang pragmatis hanya memikirkan bagaimana cara agar mereka medapat nilai tinggi dan lulus kuliah. Kelompok kedua masih memliki kesadaran bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan kecerdasan kognitif. Sehingga mereka mungkin akan berpikir dua kali untuk melakukan kecurangan, karena mereka sadar akan berdampak buruk bagi kualitas keilmuan mereka.

Sedangkan kelempok ketiga adalah mereka yang paham tentang hakikat dirinya sendiri dan hakikat pendidikan. Mereka sadar bahwa dirinya adalah makhluk paripurna yang memiliki akal untuk berfikir, hati untuk merasa dan raga untuk beramal. Dan semua itu memiliki kebutuhan: akal perlu ilmu, hati perlu iman dan raga perlu perawatan. Mereka berusaha untuk memenuhi seluruh kebutuhannya.

Ketika ujian, mahasiswa yang pragmatis akan mengalalkan segala cara asal mereka mendapat IPK tinggi. Sedangkan kelompok mahasiswa yang kedua mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh karena sadar bahwa ujian adalah evaluasi bagi pembelajaran mereka selama kuliah. Dan mahasiswa yang memiliki cara pandang komprehensif paham bahwa dalam ujian tidak sebatas tentang penguasaan materi semata, namun ada aspek yang sangat kompleks.

Meskipun ujiannya matematika, sadar atau tidak di situ juga ada ujian iman dan akhlak. Tingkat muraqabah (merasa diawasi Allah) diuji saat itu, seberapa jujur dan seberapa kuat kita menahan godaan untuk berbuat curang. Bukankah kita sering mendengar ungkapan “Indonesia tidak kekurangan orang cerdas, namun kekurangan orang jujur”, bisa jadi inilah akar permasalahannya.

Mungkin ada yang berkilah, “Ini kan cuma kebohongan kecil.” Pribahasa kuno Tiongkok mengatakan “Perjalanan seribu mil itu diawali dengan langkah pertama.” Jika kita mau merenung, bukankah samudera pasifik hanyalah kumpulan tetesan air dan sahara hanyalah kumpulan butiran pasir? Artinya kebohongan kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebohongan besar, dan menjadikan kita sebagai pembohong. “Engkau adalah apa yang kau lakukan berulang-ulang”, kata Aristoteles.

Menjadi idealis di tengah realitas seperti ini memang berat. Bisa jadi hidup kita menjadi sedikit rumit atau bahkan dibenci oleh sebagian orang yang pragmatis, tapi itulah yang akan membentuk diri kita menjadi pribadi yang tangguh. Dan mungkin ini maksud dari perkataan Imam Syafi’i “Siapa yang tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan.

Kesimpulan

Worldview adalah faktor yang memiliki implikasi besar terhadap sikap, keputusan, dan tindakan seseorang dalam kehidupan termasuk pendidikan. Worldview yang salah akan menghasilkan tindakan yang salah, jadi dapat kita pahami penyebab dari permasalahan di atas adalah cara pandang yang keliru terhadap pendidikan. Agar worldview kita sesuai dengan panduan Islam maka kita memerlukan ilmu dan iman dalam memandang realitas kehidupan yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk amal-amal kebajikan. Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua agar dapat menjalani proses pendidikan dengan lebih baik.

La haula wala quwwata illa billah. Wallahu a’lam bishawab.

Referensi

Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Minhaj: berislam dari ritual hingga intelektual. Jakarta: INSISTS.

Adian Husaini. 2018. Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang menuju Negara Adidaya 2045. Depok: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa.

___

*Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UMS, Kader PK IMM Shabran 2021

Senin, 04 April 2022

RAMADHAN DAN GAGASAN EKONOMI CUKUP

Sumber: jogjaaja.com


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Hari pertama Ramadhan terlewati tanpa drama karena sepanjang hari aktivitas dominan di rumah saja. Keluar rumah hanya ke warung Bu Slamet dan ke masjid di belakang rumah yang jaraknya tidak sampai 50 meter. Perdana Ramadhan kami berbuka di rumah, karena masjid di permukiman baru akan menyelenggarakan buka bersama hari ini. Segelas teh hangat, 2 butir kurma, dan sepiring kecil nasi dengan lauk tahu tempe berteman sambal andalan Bunda, sudah dapat menuntaskan lapar dan dahaga hingga selesainya ibadah shalat Tarawih, bahkan menjelang tidur malam rasa kenyang masih bertahan.

Dipikir-pikir, ukuran lambung dan tenggorokan manusia memang kecil. Apalagi jika mengikuti teladan Rasul, sepertiga isi perut diperuntukkan untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga sisanya dikosongkan untuk bernafas, sehingga porsi untuk makan dan minum menjadi semakin sedikit. Hawa nafsulah yang menjadikan manusia senantiasa merasa tidak puas dan hendak menguasai segala sumber daya seakan-akan lambung dan tenggorokannya tak pernah merasa penuh.

Perenungan selepas waktu berbuka tadi langsung membawa saya pada gagasan ekonomi cukup yang disampaikan oleh Radhar Panca Dahana. Dalam buku yang diberinya judul serupa, Radhar menyampaikan sebuah kisah yang mencerminkan realisasi gagasannya tersebut. Seorang penjual nasi uduk di sebuah pasar tradisional di Jakarta yang telah berjualan barang dagangan yang sama di tempat yang sama berpuluh tahun, sebelum shubuh telah bersiap, sampai waktu dhuha dagangan digelar. Saat adzan dzuhur berkumandang, lelaki itu telah di rumah untuk beristirahat dan beribadah, menikmati sisa hari dengan tenang.

Tawaran untuk membuka cabang selalu ditolaknya, pun begitu dengan permintaan untuk memperpanjang jam buka warung. Untuk apa, kata pria itu. Toh sekitar jam 10 pagi dagangan saya sudah habis dan hasilnya sudah cukup untuk menghidupi keluarga, begitu kilahnya. Seluruh anaknya telah selesai kuliah dan ia bersama istri telah menunaikan ibadah haji. Tak ada lagi yang perlu dicari. Hidupnya telah lengkap dan cukup.

Sosok yang disampaikan Radhar mengingatkan saya kepada seorang bapak yang membantu pengendara kendaraan bermotor berputar arah di salah satu daerah di Kartasura. Saat membagikan nasi berkat, salah satu yang saya datangi adalah bapak tersebut yang menolak halus pemberian kami dengan alasan sudah makan pagi tadi dan penghasilannya dalam sehari sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Radhar menjelaskan gagasan ekonomi cukup berangkat dari asumsi kerja yang dilakukan sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan menuruti keinginan. Begitu kebutuhan terpenuhi, maka kerja yang dilakukan dinilai cukup, tak perlu menambah beban dan jam kerja. Dengan gagasan ini Radhar menyakini Kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya karena sebagaimana disampaikan Berger, Kapitalisme berangkat dari nafsu ketamakan manusia yang tidak pernah puas. Kerja terus menerus dilakukan untuk memperturutkan hawa nafsu menumpuk kekayaan yang berdampak pada eksploitasi terhadap sesama manusia dan lingkungan.

Kembali merujuk kepada Peter Berger, tumbuhnya Kapitalisme digawangi golongan borjuis dengan gaya hidup yang asketis, dengan asumsi akumulasi modal hanya dapat dilakukan jika manusia memiliki sistem nilai untuk hidup hemat. Pendapatannya diprioritaskan untuk ditabung, dan sebagiannya lagi digunakan untuk menambah modal. Dengan demikian, kegiatan konsumsi harus sedapat mungkin ditekan sampai batas minimal. Di sinilah peran sistem nilai agama Protestan sebagai pembentuk gaya hidup borjuis, sebagaimana dinyatakan Max Weber. Berger tidak sepenuhnya sependapat dengan Weber karena secara historis, kemunculan Protestan di Jerman maupun Calvinisme di Inggris tidak bisa dilepaskan dari campur tangan golongan borjuis yang sejak awal berhadapan dengan kalangan aristokrat untuk memperebutkan posisi tertinggi dalam struktur sosial masyarakat. Dengan kata lain Berger hendak mengatakan asketisme Protestan maupun Calvin tidak dapat dielakkan merupakan tuntutan golongan borjuis sebagai patron baru.

Berbeda dengan asketisme borjuis, Ramadhan yang mengajarkan manusia untuk mendidik dirinya mengekang daya hewani untuk memperturutkan daya akali, akan bermuara pada realisasi gagasan ekonomi cukup. Bekerja untuk pemenuhan kebutuhan yang didorong kewajiban spiritual mencari rizki yang halal serta berkah. Tidak saja kebutuhan diri dan keluarga, tetapi juga kebutuhan kalangan lemah yang Tuhan titipkan kepada sebagian dari kita sebagai ujian iman sekaligus jalan menuju tempat kembali yang baik.

Jika asketisme borjuis membawa pada sikap tamak, maka Ramadhan mengajarkan manusia untuk merasa cukup, sebagaimana penjual nasi uduk yang diceritakan Radhar dan bapak yang meniup peluit tanpa mengenal cuaca untuk membantu pengendara berputar arah. Di dalam diri mereka, Kapitalisme sama sekali tak mendapatkan ruang tumbuh. Maka, mari kita jadikan momentum Ramadhan untuk mencapai kesempurnaan diri sebagai hamba yang qanaah, wara, zuhud dan selalu bersyukur sebagai langkah awal mewujudkan kehidupan yang dipenuhi rahmat Tuhan. Hidup yang bebas dari segala penindasan!**

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Ahad, 3 April 2022. 

Editor: Ferdi

KEFAKIRAN ONTOLOGIS

Sumber: Instagram Yogi Theo (@yogitheo)


Oleh: Yogi Theo Rinaldi, M.Phil.*

Dalam definisi yang umum diketahui, fakir (faqīr, jamak: fuqarā') adalah satu kategori asnaf mustahiqq zakat yang tidak memiliki harta dan mata pencaharian. Mereka tidak dapat mencukupi keperluan mereka pada hari ini, apatah lagi hari esok. Berbeda dengan kategori miskin, orang miskin adalah mereka yang memiliki harta dan mata pencaharian tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Orang-orang fakir, jelaslah, lebih lemah dibanding orang-orang miskin. Mereka sangat memerlukan bantuan para dermawan (agniyā').

Dalam ayat di atas, Allah secara tersurat menyebut perkataan an-nās (seluruh manusia tanpa terkecuali). Ini bermakna di dalamnya termasuk juga para agniyā' (orang-orang kaya) dalam definisi fikih zakat.

Pertanyaannya, mengapa Allah menyeru seluruh manusia itu dengan sifat faqir? Rasanya jika dilihat dari sudut pandang harta benda, ini tidak sesuai sebab akan bertentangan dengan fakta adanya orang kaya. Ayat selanjutnya memberi isyarat yang lebih jelas bahwa ini berkenaan dengan penciptaan (khalq), ontologis bukan fiqh.

Dalam Akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah (Asy'ariyyah), segala sesuatu selain Allah (yakni alam) adalah muhdats (baru/diciptakan). Ini tidak semestinya dimaknai bahwa penciptaannya hanya berlaku pada permulaan kelahiran (konteks manusia) melainkan segala sesuatu pada setiap waktu selalu dalam keadaan baqā (kekal) dan fanā (binasa) atau khalq jadīd (diciptakan dalam forma yang baru tetapi menyerupai yang asal dengan hakikat yang tsabitah/tetap).

Prinsip kosmologi Asy'ariyyah: atom (jawhar) lā yabqa zamānain (alias tidak dapat sustain in two moments of time) dan shu'ūn Allah (kesibukan/pekerjaan Allah) yang senantiasa menciptakan (Qs. ar-Rahman, 55:29 kulla yawmin huwa fi sha'n).

Jadi wujud kita amat bergantung kepada kehendak dan kemurahan Allah. Sebab kita fakir akan wujud. Kewujudan ini sama sekali bukan milik kita. Kita bahkan tidak tahu nasib wujud kita beberapa waktu akan datang dan hari esok. Kelekatan kita kepada kehidupan dunia, yang menandai keterpisahan awal (al-farq al-awwal) pada derajat jiwa yang rendah, membuat kita tidak dapat merasakan momen kefanaan dan penciptaan baru tersebut. Layaknya lingkaran api yang kita lihat sempurna tersambung padahal sebenarnya ia putus-putus pada setiap momennya.**

___

*Penulis adalah pendiri Toko Buku Lubukata; Alumnus RZS-CASIS, Universiti Teknologi Malaysia (UTM)

**Tulisan ini diunggah pertama kali di Instagram penulis (@yogitheo) pada hari Senin, 4 April 2022. Lihat di sini.

Editor: Ferdi

Minggu, 03 April 2022

KONSEP BARU PUASA

 

Sumber: Koleksi pribadi

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Judul tulisan ini saya ambil dari salah satu sub-bab dalam buku Sidi Gazalba berjudul Asas Agama Islam: Pembahasan Ilmu & Filsafat tentang Rukun Islam, Ihsan, Ikhlas, Taqwa. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1975. Menurut Gazalba, Islam telah mengangkat puasa ke tingkat yang tinggi, melebihi puasa yang terdapat dalam agama-agama lainnya (setelah beliau membandingkannya).

Sidi Gazalba (1975) mendefinisikan puasa sebagai “ibadat kepada Allah dengan jalan menahan diri dari makan, minum, bersetubuh dan laku-perbuatan yang dapat merugikan pendidikan kemauan dalam rangka membina taqwa, dari fajar hingga maghrib.” (h. 140).

Berpuasa selama satu bulan merupakan proses menahan diri dari berbagai nafsu manusia meliputi makan, minum, berhubungan suami-istri, dan melakukan berbagai hal yang kurang/tidak bermanfaat. Nafsu-nafsu tersebut merupakan fitrah yang ada pada tiap-tiap manusia. Puasa bukanlah untuk mematikan/melenyapkannya, melainkan untuk mengendalikan/mengontrolnya.

Menahan diri selama bulan puasa menurut Gazalba merupakan proses pendidikan kemauan. Kemauan yang dimaksud di sini adalah kemauan untuk tunduk pada perintah Tuhan dengan menahan diri sejak subuh sampai maghrib. Jika nafsu belaka yang menguasai manusia, kerusakanlah yang akan terjadi. Puasa mendisiplinkan jiwa manusia agar dapat mengendalikan nafsunya.

Proses pendidikan ini dalam rangka membina taqwa, la’allakum tattaquun. Tattaquun dijabarkan dari kata ittaqaa yang artinya “melindungi barang dari sesuatu, yang merusak atau merugikan, atau melindungi diri dari sesuatu, yang dikhawatirkan berakibat merusak atau jahat.” (h. 147).

Mengerjakan puasa berulang-ulang selama sebulan setiap tahunnya, menurut Gazalba (1975) merupakan sistem pendidikan agar terbentuk tabiat muttaqiin, yaitu orang yang mampu menjaga hubungan dengan Allah swt. dan terlindung dari kejahatan (shalat menurutnya terlebih dahulu mencegah manusia dari berbuat kejahatan).

Hikmah Puasa

Hikmah puasa terdiri dari tiga dimensi, yaitu akhlak, sosial, dan jasmani.

Puasa mendidik manusia mendisiplinkan akhlaknya untuk senantiasa menuju amal saleh dan menjauhi amal salah, amar ma’ruf nahi munkar. Terdapat pertarungan di dalam diri manusia antara kemauan baik dan kemauan buruk.

Sebagai lembaga pendidikan ruhani, puasa di bulan ramadhan akan memperkuat daya kontrol nafsu. Hasilnya adalah di bulan-bulan berikutnya, di hari-hari lainnya, kemudian selanjutnya di setiap saat, manusia mampu mengendalikan nafsunya. Kemauan untuk senantiasa berbuat baik akan melahirkan perbuatan baik pula, yang kemudian menjadi tabiatnya sebagai manusia. Kemauan baik mengalahkan kemauan buruk.

Mengenai nilai sosial ibadah puasa, saya akan mengutip dua paragraf penuh uraian Sidi Gazalba (1975),

Dengan lapar dan haus yang dirasakan ketika puasa, sadarlah Mu’min betapa penderitaan orang tak punya itu menderita, sekarang ia tidak hanya tahu bahwa orang tak punya itu menderita, sekarang ia tidak hanya sekedar tahu yang bersifat teori (hasil pemikiran rasional), tapi merasakannya sendiri, yang bersifat praktek. Sekedar tahu hanya mampu melahirkan teori. Tetapi mengetahui dan menghayati yang membentuk kesadaran, inilah yang akan melahirkan amal saleh, yaitu praktek.

Setelah sebulan Mu’min itu merasakan penderitaan orang-orang miskin, pada akhir bulan itu diujilah dia, apakah rasa sosial itu telah tumbuh. Disuruh ia memberikan sebagian bahan makanannya kepada orang miskin dengan zakat fitrah. Kalau ini dikerjakannya dengan ikhlas, ditingkatkan solidaritas sosial itu dengan menyuruhnya memberikan sebagian dari uang atau hartanya kepada orang tak punya dengan zakat mal. Kalau ia merasa terpaksa membayarkan zakat atau tidak mengeluarkannya sama sekali, puasanya belum lagi ihsan berlangsung, ia belum lagi berbuahkan sosial. Tahun depan didikan itu diulang kembali, selanjutnya diulang kembali (sesuai dengan kaidah ilmu dididik), sehingga terujudlah nilai sosial dari puasa.” (h. 153).

Puasa minimal satu bulan dalam setahun bertujuan untuk mengistirahatkan organ pencernaan dari tugas mengolah makanan tiada henti setiap hari.

Manusia setiap harinya beristirahat (tidur) beberapa jam untuk memulihkan diri. Siswa yang bersekolah memerlukan libur sekali dalam satu pekan agar otaknya tidak kepayahan dan menyebabkan kualitas belajarnya berkurang. Pekerja membutuhkan waktu istirahat untuk menyegarkan diri dari segala rutinitas kerja.

Istirahat dari berbagai kebiasaan (makan, minum, berhubungan, dan perbuatan kurang/tidak bermanfaat) selama paling sedikit satu bulan dalam setahun, manusia akan mendapatkan kesegaran kembali dan meningkatkan kualitas hidup jasmaniahnya (tidak hanya perut).

Wallahu a’lam.

___

*Pegiat SEED Institute, Mahasiswa UMS