Senin, 31 Januari 2022

PEREMPUAN DAN SUPREMASI KAPITALISME

 

Oleh : Andika Saputra, S.T, M.Sc.* 

Dalam bukunya berjudul The Capitalist Revolution, Peter Berger mengungkap peran perempuan yang hampir-hampir tidak pernah diulas dalam terbentuknya sistem perekonomian Kapitalisme yang kini berlaku Global. 

Setelah membahas keterkaitan yang erat antara kelas Borjuis dan kemunculan Kapitalisme, Berger menyatakan, perempuan dari kalangan Borjuis menjadi pemain kunci diterimanya Kapitalisme yang merupakan hasil dari gaya hidup Borjuis yang berasaskan pada nilai kerja keras, rajin, menyenangi intelektualitas, hidup hemat, dan menjaga kehormatan diri. Merembes ke atas, perempuan Borjuis menikah dengan kalangan Aristokrat yang berpegang teguh dengan tradisi dan garis keturunan. Rembesan ini perlahan-lahan berdampak pada meleburnya kelas Aristokrat ke dalam kelas Borjuis, dan lahirnya generasi dari garis keturunan Aristokrat tetapi mengusung nilai dan gaya hidup Borjuis akibat didikan ibunya.

Sementara itu rembesan ke bawah melalui pernikahan antara perempuan Borjuis dengan kelas pekerja yang di kemudian hari akan melahirkan kelas menengah. Dari kelas inilah nantinya lahir kalangan intelektual baru di negeri Barat yang sejak kecil didik oleh ibunya dengan nilai dan gaya hidup khas Borjuis. Karena inilah kelas dalam sistem Kapitalisme bersifat terbuka, sangat terbuka terjadinya kenaikan kelas, terutama jika pria kelas pekerja menikah dengan wanita kelas Borjusi. Anak yang dilahirkannya kemungkinan besar akan menjadi bagian dari kelas menengah sebagai profesional. Demikian ulasan Berger.

Peran ibu sebagai pendidik yang merembes lintas kelas masyarakat, dengan kata lain adalah kunci terbentuknya tatanan masyarakat baru yang menjadi ladang tumbuh suburnya sistem Kapitalisme. Berger juga menyatakan, peran ibu dan istri yang memberi kehangatan dalam keluarga merupakan struktur-antara yang berfungsi sebagai penyeimbang sistem Kapitalisme yang dingin dan penuh persaingan. Seorang pria yang habis-habisan bekerja, berkompetisi di pasar, dan melakukan akumulasi modal, akan merasakan kenyamanan yang dibutuhkannya setiap pulang ke rumah.

Selain keluarga, Berger menyebut komunitas agama sebagai struktur-antara yang penting bagi keberlanjutan Kapitalisme. Paling tidak dua struktur-antara itulah; keluarga dan komunitas agama, yang harus dipertahankan, menurut Berger, untuk menekan dampak buruk berlangsungnya Kapitalisme, seperti individualisme dan anomie atau rasa terasing dalam kehidupan.

Sebagai konsekuensi logisnya, segala paham dan gerakan yang berdampak pada melemahnya dua struktur-antara Kapitalisme, bahkan menghilangkannya, harus diwaspadai karena akan berdampak pada dua kemungkinan, runtuhnya sistem Kapitalisme atau berlangsungnya Kapitalisme yang liar. Secara eksplisit Berger menyebut Feminisme sebagai ancaman bagi Kapitalisme. Begitu peran ibu ditinggalkan, maka hilanglah kehangatan keluarga dan hilanglah pendidikan bagi anak-anak. Singkatnya, keluarga runtuh sebagai struktur-antara.

Kita bisa merujuk pada kajian Jared Diamond dalam bukunya berjudul Upheavel bagaimana kondisi Jepang akibat membuka pintu yang lebar bagi perempuan turut terlibat dalam kegiatan perekonomian dalam sistem Kapitalisme untuk memenuhi jumlah pekerja demi meningkatkan perekonomian negara. Jumlah kelahiran terus mengalami penurunan sebagai akibat dari runtuhnya keluarga sebagai sistem-antara. Inilah dampak dari berlangsungnya Kapitalisme yang liar kata Berger. Otomatis sejak saat itu Jepang hanya mengandalkan tradisi keagamaan sebagai satu-satunya struktur penyeimbang yang entah akan bertahan sampai kapan. Berger masih optimis Jepang dapat melalukan perbaikan, sementara Diamond memandang Jepang dengan iba.

Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia pada hari ini? Apakah kita akan mengarahkan peran perempuan untuk terbentuknya sistem baru, atau untuk keberlanjutan sistem Kapitalisme, atau membiarkan tumbuhnya Kapitalisme liar?

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Selasa, 28 Desember 2021.

------

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

Rabu, 26 Januari 2022

AKU BERUTANG KARENA AKU ADA

Sumber: Kompasiana.com

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Ada dua kejadian yang membuat saya tergerak menulis esai ini. Meskipun topik ini sudah familiar bagi kita, dua kejadian tersebut mendesak benak saya untuk menuliskannya.

Kejadian pertama adalah ketika beberapa hari lalu umur saya genap 22 tahun. Esai ini tentu saja bukan pengumuman apalagi undangan perayaan bertambahnya umur saya. Kejadian kedua ketika melihat status salah satu kontak di WhatsApp. Status itu berupa pamflet promosi penjualan motor dengan cicilan sebanyak 33 bulan.

Sekilas kejadian kedua lebih relevan untuk dibicarakan menurut judul esai ini. Akan tetapi, perlu saya tegaskan bahwa kejadian pertamalah yang saya sebut sebagai utang. Ya, saya telah berutang sebanyak 22 tahun umur saya di dunia.

Kepada siapa manusia berutang?

Dalam buku Islam dan Sekularisme, Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas menegaskan bahwa, "manusia berhutang kepada Allah, Sang Pencipta dan Sang Pemelihara, karena menjadikan manusia wujud (eksistensi) dan menjaganya agar senantiasa wujud." Kita berhutang kepada Allah swt. yang karena-Nya manusia ada (wujud).

Dalam QS. Al-Mu'minun ayat 12-14, Allah swt. menceritakan proses kejadian manusia dari saripati tanah. "Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik." Berdasarkan ayat ini, Al Attas mengajak kita merenungi asal muasal kehidupan manusia. Beberapa tahun yang lalu sebelum dilahirkan, kita tidak ada. Juga tidak seorangpun mengetahui bahwa dirinya akan lahir. Kejadian ini berlaku sejak manusia pertama sampai manusia terakhir di masa depan. Nabi Adam as. sendiri pun tidak pernah tahu dirinya akan diciptakan.

Lalu apa yang terjadi setelah manusia dilahirkan? Mampukah dia mengendalikan wujudnya? Mampukah dia mengembangkan indra penglihatannya? Mampukah dia mengatur pertumbuhan kuku jarinya? Kita harus sekapat bahwa jawaban untuk semua pertanyaan di atas adalah tidak!

Menurut Al Attas, utang lahirnya kita di dunia juga bukan kepada kedua orang tua. Karena orang tua kita juga mengalami hal yang sama. Mereka memiliki utang yang sama. Semua manusia lahir dalam keadaan tak berdaya.

Dengan berpegang pada kenyataan di atas, bukan berarti kita menafikan pengorbanan orang tua. Mereka adalah orang-orang yang sangat berjasa dalam hidup kita. Bahkan setetes keringat ibu dalam proses melahirkan pun tidak akan mampu kita membalasnya!

Mengenai topik ini, Prof. Ugi Suharto mengangkat peribahasa yang berbunyi, "utang uang bisa dibayar, utang budi dibawa mati". Utang budi kita kepada orang tua tidak dapat kita bayar di dunia. Lalu, utang eksistensi dibayar dengan apa? Tentu kita tidak akan dapat melunasi utang eksistensi kita kepada Allah swt. Akan tetapi kita dapat menyicilnya dengan mengabdi kepada Sang Pemberi eksistensi dan menjalankan tugas untuk menjadi khalifah di muka bumi. Tugas ini termasuk ibadah sebagaimana terkandung dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56.

Kenapa utang, bukan pemberian?

Kenapa kita menganggap kehidupan yang Allah swt. berikan kepada manusia sebagai utang dan bukan pemberian? Menjawab pertanyaan ini, Prof. Ugi memberikan contoh sederhana tetapi mengena. Misalnya ada seseorang yang hidupnya melarat dan tidak memiliki apa-apa, kemudian datang seorang dermawan memberinya segalanya. Dia diberi makanan, uang, rumah, kendaraan, pendidikan, dan yang lainnya. Sang dermawan ikhlas dan tidak meminta balasan apapun.

Jika kita berada di posisi orang yang diberikan segala-galanya itu, apakah kita hanya akan mengangapnya sebagai rejeki nomplok? Kalau kita punya akal, kita pasti sangat berterima kasih kepada orang yang telah menolong kita keluar dari keterpurukan. Kita akan menganggapnya sebagai utang dan akan melakukan berbagai cara untuk membalas kebaikan orang tersebut. Kita berutang budi kepadanya. Seperti itu pula rasa keberutangan kita kepada Tuhan sekaligus Tuan yang telah memberi kita hidup.

Menurut Al Attas, "hakikat keadaan berutang akan kejadian dan eksistensi diri yang sedemikian luar biasa pengaruhnya bagi manusia tersebut sehingga menjadikan eksistensi seorang manusia sesaat setelah tercipta dan wujud, berada dalam kerugian yang sangat, ini karena ia tidak memiliki suatu apapun, menyadari bahwa segala sesuatu tentang dirinya, apa yang ada para dirinya dan darinya, sesungguhnya dimiliki oleh Sang Pencipta Yang Memiliki segala sesuatu."

Utang eksistensi kita sebagai manusia, tidak lain harus dibayar menggunakan diri (eksistensi) kita sendiri. Yaitu berkhidmad dan menghambakan diri kepada Allah swt. Karena bagaimanapun, harta, badan, hatta nyawa kita sekalipun adalah milik dan pemberian Tuhan.

Kalau utang ini tidak dibayar, pihak mana yang dirugikan: debtor atau kreditor?

 

Referensi

Syed Muhammad Naquib Al Attas. 2011. Islam dan Sekularisme (terj.). Bandung: PIMPIN.

___

*Pegiat SEED Institute, Mahasiswa PAI UM Surakarta

PRESEDEN ABAL-ABAL PEMINDAHAN IKN

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Dua foto yang saya sematkan pada tulisan ini berasal dari Buku Saku Pemindahan IKN halaman 5 dan 6. Dari tata letak yang didominasi gambar, diagram, dan tabel, serta ketebalan yang tidak mencapai 30 halaman, buku ini diperuntukkan untuk masyarakat luas agar dapat memahami argumentasi pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara, landasan dan payung hukumnya, serta konsep desain Ibu Kota baru. Harapannya, tentu saja, agar masyarakat menyetujui kebijakan pemerintah dengan turut mendukung pemindahan Ibu Kota.

Saya mendapati dalam buku tersebut satu kesalahan fatal untuk mempengaruhi persepsi publik. Pada halaman 5 dan 6 ditampilkan preseden pemindahan ibu kota yang pernah dilakukan negara lain, yakni Brazil dan Australia. Dengan dua halaman tersebut pemerintah hendak membangun persepsi publik bahwasanya pemindahan IKN adalah persoalan yang wajar karena beberapa negara juga pernah melakukannya. Jadi, tidak perlu pemindahan Ibu Kota dikritisi, ditentang, apalagi ditolak dengan suara bulat. Sebagaimana kewajaran adalah keniscayaan untuk terjadi, termasuk di Indonesia.

Dalam perencanaan dan perancangan lingkungan binaan memang dikenal metode preseden, terutama dalam paradigma Posmodern. Preseden digunakan untuk memudahkan proses perencanaan dan perancangan dengan melakukan kajian terhadap objek serupa, sehingga diketahui kelebihan dan kelemahan dari kasus sebelumnya. Kelebihan dapat diadaptasi setelah dilakukan rekontekstualisasi, sedangkan kelemahan sedapat mungkin dihindari.

Terkait aspek keserupaan atau kesamaan, buku tersebut telah memenuhi. Objek IKN Brazil dan Australia dijadikan sebagai preseden bagi pemindahan IKN Indonesia. Yang bermasalah ialah aspek analisis yang dilakukan. Di halaman 5 dan 6 tertulis latar belakang pemindahan IKN Brazil menekankan faktor pembentukan identitas Brazil sebagai negara modern, sementara pada kasus Australia sarat dengan faktor politis. Isi dua halaman tersebut tidak koheren dan sistematis jika dikaitkan dengan halaman 2 sampai 4 yang memaparkan argumentasi pemindahan IKN Indonesia yang dominan dipengaruhi faktor kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan Jakarta yang tidak mampu lagi mewadahi aktivitas pemerintahan pusat. Sehingga secara substansial kajian preseden yang dilakukan tidak berguna karena tidak relevan dan tidak selaras dengan rencana pemindahan IKN Indonesia.

Kedua, halaman argumentasi pemindahan IKN Indonesia yang diletakkan lebih dahulu, kemudian disusul halaman preseden, sangat sarat dengan tujuan pengalihan perhatian masyarakat. Setelah membaca 3 halaman urgensi pemindahan IKN Indonesia sudah hampir dipastikan pembaca tidak akan melakukan pembacaan kritis terhadap 2 halaman berikutnya sehingga terungkap tidak koherennya pembahasan pada dua bagian tersebut. Dengan gambar bendera negara Brazil dan Australia di bagian atas yang mendominasi tata letak halaman, serta warna yang menjadi vocal point pada halaman 5 dan 6, perhatian pembaca diarahkan pada bagian tersebut agar tidak membaca tulisan di tubuh halaman dengan ukuran huruf terbilang kecil.

Dengan menampilkan halaman argumentasi pemindahan IKN Indonesia terlebih dahulu, kemudian disusul halaman preseden diharapkan dapat terbentuk persepsi kewajaran pemindahan IKN. Padahal dalam kajian preseden yang benar ialah disampaikan terlebih dahulu hasil kajian preseden, barulah dilanjutkan dengan relevansinya pada kasus yang sedang ditangani. Dengan begitu pembacaan pada halaman objek perencanaan dan perancangan akan terkait erat dengan kasus preseden yang dipilih.

Menyedihkan memang, mega proyek dengan biaya dari kocek rakyat dikomunikasikan dengan cara-cara yang curang dan salah secara metodologis agar pemilik sah Republik ini terkecoh. Kalau saja mahasiswa bimbingan saya melakukan kesalahan sebagaimana buku ini, dan dilakukan dengan sengaja, sudah pasti saya minta untuk direvisi sambil saya sampaikan kepadanya, "Ojo ngapusi aku lo ya! Preseden-presedenan kui duso! Dasar gublik!"

 

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Sabtu, 22 Januari 2022.

____

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

 

MATAHARI BUATAN DI ANTARA KUASA TUHAN DAN KEBUDAYAAN

Sumber: Kompas.com

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Setelah ilmuwan Cina berhasil menghidupkan reaktor fusi nuklir hingga mencapai suhu 70 juta derajat celcius selama 1.056 detik yang membawa umat manusia selangkah semakin dekat memiliki sumber energi bersih yang hampir tidak terbatas, seketika mengundang tanggapan negatif oleh sekalangan umat Islam di Indonesia.

Pandangan negatif berangkat dari anggapan kerja ilmuwan Cina hendak menyaingi Tuhan sebagai pencipta matahari yang telah ditetapkan oleh-Nya memiliki suhu 15 juta derajat celcius. Ini berarti fusi reaktor nuklir milik Cina mencapai suhu hampir 5 kali lebih panas dibandingkan matahari. Penilaian demikian tidak bisa dipungkiri bias ideologi, alih-alih substantif terkait persoalan IPTEK. Sistem politik Cina yang menganut Komunisme menjadi sandaran argumentasi bagi sekalangan umat Islam. Cina yang anti Tuhan hendak melawan Tuhan dengan menyaingi ciptaan-Nya!

Saya menduga, penilaian tadi akan berbeda jika Saudi, Dubai, atau negara Islam lain yang berhasil mencapai kemajuan IPTEK di bidang reaktor fusi nuklir. Minimal euforia akan merebak jika penelitian matahari buatan dilakukan di negeri Barat yang melibatkan seorang Muslim, walaupun sebatas berperan sebagai mahasiswa doktoral merangkap asisten peneliti. Bisa jadi, dan saya merasa hampir pasti, tidak akan muncul narasi melawan maupun menyaingi Tuhan digantikan narasi pertanda kebangkitan peradaban Islam.

Penilaian bernuansa teologis yang serampangan berangkat dari tidak dipahaminya kedudukan serta relasi antara Tuhan, ciptaan-Nya, dan kebudayaan. Sepanjang sejarah manusia, tidak sekali dua kali manusia terinspirasi dan meniru prinsip kerja makhluk ciptaan Tuhan dalam mencipta teknologi yang dibutuhkannya untuk melangsungkan dan membina kehidupan. Di antaranya teknologi pesawat meniru prinsip kerja burung terbang dan pondasi cakar ayam meniru bentuk kaki ayam. Karenanya Sidi Gazalba menyatakan kebudayaan sebagai segala hasil ciptaan manusia berbeda dengan Tuhan dan ciptaan-Nya. Walaupun begitu, ditegaskan oleh Gazalba, dalam mencipta budaya manusia terinspirasi daya kreasi Tuhan dalam mencipta makhluk-Nya.

Singkatnya, matahari buatan melalui teknologi reaktor fusi nuklir terinspirasi dari prinsip kerja matahari. Antara matahari dan tiruannya dalam ranah teknologi tidaklah sama, dan tidak ada kaitannya antara penciptaan matahari buatan sebagai teknologi dengan sikap menyaingi Tuhan. Perlu dipahami penjelasan ini bersifat konseptual. Sedangkan motif psikologis negara Cina dan ilmuwan yang terlibat dalam penciptaan matahari buatan adalah hal yang berbeda dan merupakan kajian tersendiri.

Reaktor fusi nuklir, bagaimana pun tidak akan mampu menggantikan matahari sebagai makhluk Tuhan yang berkedudukan sebagai bintang bagi planet dan benda langit di Galaksi Bima Sakti. Selain itu matahari buatan belum dapat, dan bisa jadi tidak mungkin dapat menyamai suhu bintang yang lebih besar, seperti Sirius apalagi Betelgeuse yang massanya beribu kali lipat matahari.

Ditinjau dari aspek yang lain, matahari buatan telah membawa manusia kembali menaklukkan alam yang merupakan salah satu dari enam fungsi teknologi. Matahari terbit dan terbenam, sehingga pemanfaatannya sebagai sumber energi pun terbatas waktu. Keterbatasan itulah yang dilampaui reaktor fusi nuklir karena mampu mencapai suhu lebih panas dengan durasi pakai yang lebih panjang. Sebagaimana pesawat serta roket merupakan teknologi yang digunakan manusia untuk melampaui gaya gravitasi, dan untuk kasus ini sama sekali tidak ada penilaian yang bersifat teologis sebagai upaya menyaingi Tuhan.

Namun demikian tidak berarti capaian kinerja ilmuwan Cina tanpa kritik, apalagi tidak boleh dikritik. Umat beragama dengan nilai, pandangan hidup, dan keyakinannya dapat mengambil peran yang bersifat substantif terkait persoalan IPTEK, meliputi keamanan, keselamatan, dan kemudahan akses bagi seluruh umat manusia untuk menikmati energi bersih yang murah.

Setelah kebanyolan dalam menanggapi capaian IPTEK oleh ilmuwan Cina, saya langsung teringat dengan salah satu tugas evaluasi Esa di sekolah TK A, sebagaimana gambar yang saya sematkan pada tulisan ini. Saya dan Bunda sangat berterima kasih kepada Ibu Guru yang telah mengajarkan Esa untuk memahami perbedaan antara ciptaan Tuhan dan ciptaan manusia, sehingga kelak ketika balig nanti ia tidak terperosok pada kesalahan pandangan dan penilaian yang sama. Sementara itu penggunaan agama yang tidak tepat dalam persoalan IPTEK sudah seharusnya mendapat perhatian kalangan jurnalis, dosen, guru, dan ilmuwan untuk menjalin komunikasi sains kepada publik secara terbuka agar dipahami penalaran sains, capaian-capaiannya, dan relasinya dengan kebudayaan dan agama agar tidak lagi salah memahami Tuhan, ciptaan-Nya, dan hasil cipta manusia. Ironis jika bangsa yang besar dan umat yang berpandukan kitab Tuhan tidak mampu membedakan.

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Jumat, 14 Januari 2022.

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

Sabtu, 22 Januari 2022

PEMUDA DAN KHIDMAT PADA MASJID


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*


Masjid Baitul Atiiq di permukiman kami terhitung sepekan ini beroperasi tanpa marbot. Mas Kafi, mahasiswa fisioterapi yang sehari-hari tinggal di masjid, membersihkan masjid merangkap muadzin dan Guru TPA bagi anak-anak, memutuskan untuk pulang ke Blitar karena diterima bekerja di salah satu klinik di kampung halamannya. Setelah 2 tahun membersamai kami dan sangat membantu menjaga serta meningkatkan performa masjid di lingkungan kami, kini kami sebagai jama'ah harus kembali bertugas secara bergantian.

Keberadaan marbot sangat dibutuhkan masjid dengan karakter jama'ah dari kalangan masyarakat urban yang memiliki kesibukan rutin di luar pemukiman, sehingga membatasi peran dan keterlibatannya di masjid. Memang sengaja kami mencari marbot dari kalangan mahasiswa karena bisa bermukim di masjid dan memiliki waktu lebih longgar untuk dapat mengurusi masjid. Operasional yang pada awalnya tertatih, 2 tahun terakhir ini terbilang melesat, walaupun di masa pandemi.

Kuntowijoyo melihat akar masalah dari performa masjid, terutama masjid permukiman, ialah manajemen masjid terkait sumber daya manusia sebagai pengelola masjid. Untuk mengentaskan masalah ini, Kuntowijoyo menyasar kalangan generasi Muslim tanpa Masjid di lingkungan perguruan tinggi dengan mengintegrasikannya ke dalam jama'ah umat Islam melalui peran masjid kampus. Dari komunitas masjid kampus itulah akan merembes secara horizontal ke berbagai masjid untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia penggerak masjid.

Berangkat dari gagasan Kunto, sejak beberapa tahun ini saya gencar menyampaikan ide sekolah takmir masjid untuk mahasiswa di berbagai forum, baik formal maupun non formal. Selain mahasiswa kuliah di prodinya masing-masing, juga kuliah di masjid kampus dengan kurikulum berdurasi 2 atau 3 tahun dengan materi di antaranya BTQ, tahfidz, aqidah, fikih, sirah, manajemen masjid, baitul maal, serta magang di masjid permukiman dan masjid jami' yang berjejaring dengan masjid kampus. Dengan program ini, maka dalam waktu cepat umat Islam akan memiliki sumber daya manusia yang ahli di bidang permasjidan dan siap untuk menggerakkan masjid di seluruh wilayah Indonesia.

Keterlibatan pemuda sebagai penggerak masjid, istilah yang saya gunakan untuk menggantikan istilah marbot dalam rangka memikat hati kalangan pemuda, sudah terbukti mampu meningkatkan performa masjid. Saya menyaksikan sendiri sepak terjang pemuda menggerakkan masjid di area Pogung dan seputaran UGM dengan penyelenggaraan ibadah mahdhah hingga ibadah ghairu mahdhah. Masjid menjadi bergeliat hampir 24 jam sebagai pusat bagi komunitas umat Islam.

Memang kendala yang dihadapi pun tidak mudah. Generasi tua yang menempati posisi puncak dalam struktur ketakmiran masjid cenderung menihilkan peran pemuda dalam kepengurusan dan pengelolaan masjid. Remaja masjid sebatas dilibatkan dalam persoalan pinggiran yang bersifat temporal, seperti kebersihan masjid, angkat-angkat barang, dan bagian konsumsi dalam penyelenggaraan acara masjid. Namun demikian, generasi pemuda tetap harus disiapkan untuk menjadi penerus pengelola masjid, walaupun kesempatan yang tersedia terbilang sempit pada masa kini. Akan tiba masanya pemuda akan menempati posisi strategis dalam pengelolaan masjid.

Khidmat pemuda yang terprogram dengan baik dan terukur, bukan saja akan dapat membangkitkan masjid memberi kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, tetapi juga secara struktural umat Islam memiliki budaya untuk mengarahkan orientasi dan gaya hidup generasi mudanya. Generasi inilah yang terpikat hatinya dengan masjid dan beribadah kepada Allah kelak mendapatkan naungan dari Allah pada Hari Kiamat, di mana tidak ada naungan selain yang diberikan oleh Allah. Maka dunia pun di tangan dan akhirat menghujam ke dalam hati!

____

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Kamis, 20 Januari 2022

MENGENAL KUNTOWIJOYO SEBAGAI SASTRAWAN

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Belakangan ini saya jadi semakin tertarik dengan sosok Kuntowijoyo. Ini karena tugas akhir saya meneliti pemikiran Kuntowijoyo, spesifiknya Sastra Profetik. Semenjak itu saya makin banyak bersentuhan dengan pemikiran Pak Kunto mengenai sastra, karya sastranya, serta ulasan orang lain mengenai Sastra Profetik. Dalam esai sederhana ini, saya ingin berbagi beberapa hal mengenai sosok Kuntowijoyo sebagai seorang sastrawan sejauh ketertarikan dan batas pengetahuan saya.

Sastra Transendental

Sebelum menggunakan istilah Sastra Profetik, Kuntowijoyo terlebih dahulu menggunakan istilah Sastra Transendental. Sebagaimana diungkapkan oleh Wan Anwar, bahwa pada Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kuntowijoyo menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan suatu sastra yang mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang serba birokratis, industrialis, pasar, dan instrumental. Sehingga sastra transendental tidak hanya terlibat dalam dimensi jasmani, tetapi juga menyentuh dimensi rohani manusia. Wan Anwar kemudian menyebut sastra Pak Kunto "berakar di bumi sekaligus menjangkau langit".

Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara

Pada tahun 1999, Kuntowijoyo terpilih sebagai penerima hadiah sastra The S.E.A. Write Award dari pihak Kerajaan Thailand. Hadiah ini diberikan kepada sastrawan berprestasi di Asia Tenggara sejak tahun 1978. Untuk keperluan Upacara Penyerahan Hadiah The S.E.A. Write Award ini, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa RI menyusun buku "Sastrawan Indonesia Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 1999" dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Di dalamnya termuat kata sambutan, biografi, dan dua cerpen Kuntowijoyo, yaitu "Dilarang Mencintai Bunga-bunga" dan "Anjing-anjing Menyerbu Kuburan".

Catatan kecil

Sebagai seorang sastrawan, Pak Kunto mengakui betapa beruntungnya ia memiliki kebiasaan untuk menuliskan sinopsis cerita dalam buku "Catatan Kecil" sejak tahun 1962. Setiap gagasan cerita yang terlintas dalam pikirannya, kapanpun dan di manapun akan ia tuliskan dalam Catatan kecil. Dengan begitu, idenya akan tersimpan dan pikirannya tidak akan terbebani dengan ide yang membludak.

Pengendapan gagasan dalam Catatan Kecil menurutnya memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya gagasan-gagasan yang tersimpan itu akan keluar (dituliskan) ketika sudah benar-benar masak. Artinya "semua unsur cerita menjadi lengkap namun tetap terasa spontan, wajar tanpa beban."

Sisi negatifnya, ia tidak bisa menulis cerita yang bersifat aktual (berdasarkan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi). Maka sastranya sekilas terlihat konservatif, ketinggalan zaman, dan seperti tidak berpartisipasi dalam sejarah yang sedang berlangsung. Tatapi itulah ciri khas seorang sastrawan menurut Pak Kunto. Karya sastra itu lahir dari lubuk jiwa yang terdalam, sehingga terasa antik dan abadi. Meskipun latar ceritanya bertahun-tahun yang lalu, relevansinya masih kita temukan hari ini.

Sempat "pensiun"

Pada tahun 1995, 1996, dan 1997 cerpen Kuntowijoyo berturut-turut terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas. Masing-masing berjudul, "Laki-laki yang Kawin dengan Peri", "Pistol Perdamaian", dan "Anjing-anjing Menyerbu Kuburan". Yang mengejutkan bagi saya adalah bahwa tiga penghargaan berturut-turut ini beliau peroleh setelah sempat "pensiun". Ia bahkan tidak menulis satu cerita pun selama 20 tahun sejak 1973-1993.

Menulis sajak dengan satu jari

Selama empat bulan terhitung dari Januari sampai April 1992, Kuntowijoyo dirawat secara intensif di RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta. Ia mengidap meningo encephalitis, penyakit virus yang menyerang otak sehingga menyebabkan radang seluruh jaringan otak dan memakan sebagian sel otak kecilnya.

Penderitaan beliau tidak berhenti setelah dibolehkan pulang ke rumah. Sejak itu beliau melewati berbagai macam terapi intensif di rumah. Hingga pada akhir tahun 1993 Pak Kunto mulai berlatih mengetik menggunakan satu jari. Pada akhirnya (atau bisa kita katakan sebagai permulaan kembali) Pak Kunto menghasilkan buku kumpulan puisi berjudul, "Makrifat Daun, Daun Makrifat" yang ditulis dengan satu jari kelingking kiri saja. Setelah itu beliau kembali konsisten menulis meskipun dalam kondisi seperti di atas.

Menjangkau dua bahasa

Saat itu saya sedang membaca dua buku Pak Kunto secara bersamaan, yaitu "Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas" dan "Mantra Penjinak Ular". Buku pertama adalah buku non-fiksi (kumpulan esai) dan yang kedua adalah buku fiksi (novel). Selama proses membaca kedua buku itu, saya menyadari satu lagi keunikan Pak Kunto sebagai seorang akademisi cum sastrawan. Ide-idenya mengenai kebudayaan dan politik dapat beliau tuliskan dengan dua bahasa, bahasa ilmiah dan bahasa sastrawi. Misalnya esainya dalam buku pertama berjudul, "Demokrasi Gajah, Demokrasi Kuda, dan Demokrasi Anjing", ia sampaikan dengan gaya bahasa yang berbeda dalam buku kedua pada sub-bab V berjudul, "Abu Kasan Sapari tentang Alam". Ini menunjukkan jangkauan gagasan beliau tidak hanya kalangan akademisi, tetapi juga kalangan umum. Pengungkapan gagasan secara sederhana dan mengalir ini lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum dari kalangan muda sampai tua daripada menggunakan bahasa akademis yang kaku. Pak Kunto menyentuh keduanya!

Membuat tetangga khawatir

Sebagaimana diceritakan oleh Bu Susilaningsih, istri Kuntowijoyo, setiap kali cerpen Pak Kunto dimuat di media massa para tetangga buru-buru sekaligus cemas mengecek isi cerpen beliau. Mereka masing-masing bertanya siapa lagi yang akan diangkat dalam ceritanya. Mereka merasa was-was karena Pak Kunto seringkali mengangkat tokoh yang dirasa mirip dengan para tetangganya.

Kuntowijoyo sendiri dalam kesempatan lain mengakui hal tersebut ketika menulis cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-bunga". Tokoh ayah dalam cerpen tersebut terinspirasi dari tetangganya, seorang Jepang yang telah berkeluarga dan mengganti nama menjadi Saleh. Tetangganya itu bekerja di bengkel kereta api yang selalu pulang selepas maghrib lewat depan rumahnya. Saleh selalu jalan terburu-buru dan tidak mempedulikan orang lain, sehingga Pak Kunto hampir tidak pernah menegurnya. Tokoh lain yaitu kakek pencinta bunga juga terinspirasi dari kawannya di tingkat pertama universitas. Kawannya itu (yang tentu bukan kakek-kakek) selalu mengisi kamarnya dengan bunga warna-warni.

Strukturalisasi pengalaman (selain strukturalisasi imajinasi dan strukturalisasi nilai) adalah salah satu dari rumus three in one ceritanya. Strukturalisasi pengalaman adalah penyatuan potongan-potongan pengalaman yang tercecer di sana-sini menjadi satu struktur cerita yang utuh dan bermakna. Begitulah cara Pak Kunto menulis cerita.

Mungkin itu saja yang dapat saya sampaikan pada esai sederhana mengenai sosok Kuntowijoyo sebagai seorang sastrawan. Sebagaimana yang dikatakan oleh guru kami di SEED Institute, Pak Andika Saputra, bahwa Kuntowijoyo adalah manusia yang utuh. Pak Kunto adalah kesatuan sebagai akademisi, cendikiawan, agamawa, sejarawan, dan sastrawan. Wallahu a'lam.


Referensi:

Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo. 1999. Sastrawan Indonesia Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Susilaningsih. 2006. "Renungan Tentang Pribadi Profetik Mas Kunto (Bagian I)". Tulisan ini dimuat dalam website arbaswedan.id dengan judul yang sama. 

Wan Anwar. 2007. Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.

___

*Mahasiswa Pend. Agama Islam UM Surakarta dan Pegiat SEED Institute

Sabtu, 15 Januari 2022

INDUSTRIALISASI: KONSISTENSI PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO



Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Buku ini terbilang istimewa di antara deretan panjang karya Kuntowijoyo karena menggambarkan titik awal sekaligus titik akhir pemikirannya. Buku berjudul Borjuasi dalam Transformasi Eropa merupakan hasil penelitian skripsi Kuntowijoyo di Prodi Sejarah UGM pada tahun 1969, sehingga menempatkannya sebagai karya ilmiah pertama Kunto. Sekaligus buku ini merupakan salah satu karya terakhirnya karena sebelum meninggal pada tahun 2005, Kuntowijoyo dengan bantuan dari Penerbit Ombak menuliskan kembali laporan skripsinya dalam format buku dan menyesuaikan penulisannya mengikuti ejaan terkini.

Dalam skripsinya Kuntowijoyo memaparkan sejarah kemunculan, perkembangan, dan peran kelas Borjuis di Eropa Daratan dan Inggris yang berdasarkan penelitiannya tersebut disimpulkan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas terjadinya dua revolusi, yakni Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Politik di Prancis, sehingga Dunia Barat memasuki era modern yang ditandai dengan terjadinya industrialisasi, perubahan sistem politik, dan tumbuhnya sistem ekonomi Kapitalisme.

Kunto menelusuri awal mula kemunculan kelas Borjuis hingga masa pra Renaisans di Italia utara yang seiring waktu menyebar ke hampir seluruh wilayah Eropa, kecuali Eropa Timur, dan pada akhirnya menjelang dua revolusi terpusat di Inggris dan Prancis. Kunto pun melakukan analisis mengapa Revolusi Industri terjadi di Inggris dan Revolusi Politik di Prancis, padahal keduanya didalangi kelas Borjuis. Kemudian, setelah dua revolusi yang menjadi tonggak berkuasanya Borjuis, Kunto menunjukkan pengaruh kelas baru tersebut terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa Eropa, dari ekonomi, politik, pendidikan, hingga keagamaan. Buku ini ditutup oleh Kunto dengan melancarkan kritik terhadap Borjuis.

Seakan telah terencana, sebelum Kunto menjelaskan kondisi, proses, dan dampak industrialisasi terhadap berbagai aspek kehidupan umat manusia dan umat Islam secara khusus melalui karya-karya ilmiah berikutnya, sebut saja dua karya paling awal adalah Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia tahun 1986 dan Budaya dan Masyarakat tahun 1987, terlebih dahulu Kunto mengulas aktor utama atau dalang dari terjadinya transformasi menyeluruh dalam kehidupan bangsa Eropa yang kemudian menjalar ke seluruh dunia.

Buku ini menunjukkan konsistensi pemikiran Kuntowijoyo sejak awal hingga akhir yang berfokus pada permasalahan industrialisasi. Karya terakhir yang membawa pembaca kembali ke titik awal menegaskan ruang lingkup kajian Kunto yang dispesifikkan olehnya melalui karya-karya selanjutnya seputar pengaruh industrialisasi terhadap kehidupan budaya, ekonomi, politik, dan keagamaan umat Islam di Indonesia. Tak pernah sekali pun, sejauh pembacaan saya, Kunto keluar dari koridor ini, bahkan untuk karya-karya sastranya yang memang dimaksudkan olehnya untuk menggugah kesadaran bangsa Indonesia dan umat Islam di Indonesia terhadap masalah besar di depan mata yang tidak lain ialah industrialisasi yang berjalin kelindan dengan liberalisasi.

Selain itu, buku ini dan rangkaian karya Kunto selanjutnya hingga akhir, menunjukkan corak berpikir dan menulis yang digunakannya secara konsisten, yakni deskripsi, pencarian faktor-faktor, penentuan masalah, lontaran kritik, dan penawaran solusi. Hanya saja dalam penelitian skripsinya, Kunto tidak memasuki bagian yang terakhir. Pada karya-karya awal, seperti dua buku yang saya sebutkan di atas, solusi yang ditawarkan Kunto bersifat konseptual dan praktis. Kemudian pada karya setelahnya, dimulai dari buku berjudul Paradigma Islam, kritik dan solusi yang disampaikan Kunto bersifat filosofis dan metodologis. Dengan demikian deretan karya Kunto menggambarkan upayanya untuk memasuki seluruh ranah dari permasalahan industrialisasi.

Konsistensi dalam menggeluti permasalahan serta konsistensi dalam pemikiran adalah pelajaran yang dapat kita ambil dan resapi dari Kunto. Sebab industrialisasi terus melaju dan liberalisasi tak juga surut melemah, sejauh itu pula buah pemikiran Kunto masih relevan untuk dibaca, dikaji, didiskusikan, dan dieksperimentasikan. Tetapi harus diingat, sebagaimana nasihat Bu Susi sebagai istri Kunto pada pengantar buku ini, jangan sekali-kali mengkultuskan Kunto.

Kita sebagai generasi penerus masih memiliki tugas yang tidak sedikit untuk melanjutkan pemikirannya, mengembangkan, mengkontekstualkan, dan tentu saja mengamalkan untuk mewujudkan industrialisasi yang manusiawi, bebas dari segala struktur yang merusak, dan bermuatan ketuhanan. Inilah cita profetik Islam yang menjadi tujuan dari pemikiran Kuntowijoyo. Yang menggelitik saya setelah membaca buku ini, jika Barat memiliki kelas Borjuis, lalu untuk mewujudkan cita-cita tersebut, apa atau siapa gerangan dari kalangan umat Islam yang patut menjadi aktor utama?

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Jumat, 7 Januari 2022.

____

*Penulis buku Arsitektur Masjid: Dimensi Idealitas dan Realitas

Jumat, 07 Januari 2022

AGAMA DAN SAINS, HARUS BERPISAH ATAU BERTEMU?


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Beberapa waktu belakangan ini di beranda FB saya ramai membincangkan persoalan relasi antara pendidikan agama dan pendidikan sains. Dua pendapat dapat saya simpulkan dari diskusi yang berlangsung di berbagai lapak. Sebelumnya perlu saya perjelas agar tidak salah paham, sains yang dimaksud dalam pengertian sempit merujuk pada IPA modern.

Pihak pertama menghendaki agar penuntut ilmu agama juga menguasai sains, sehingga kajian terhadap agama tidak seputar 'itu-itu saja'. Kajian agama tidak statis dan mampu mengikuti capaian sains. Sementara pihak kedua menegaskan spesialisasi. Penuntut ilmu agama memang fokus pada kajian agama agar memiliki otoritas pada bidangnya, begitu pula penuntut ilmu sains. Tidak relevan jika persoalan sains yang bersifat substansial dibebankan kepada penuntut ilmu agama.

Memang masih jauh ikhtiar kita untuk mewujudkan kembali kualitas manusia polymath yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama sekaligus sains, sebagaimana para ulama pendahulu, sebut saja dua di antaranya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Hambatan terbesar tentu saja datang dari sistem pendidikan yang mengarah pada spesialisasi, bahkan super spesialisasi, walaupun jalan interdisiplin, multidisplin, dan transdisiplin mulai dirintis tetapi belum terbuka lebar, terutama di Indonesia. Hambatan ini tidak dapat dilepaskan dari paham Sekularisme yang memang menghendaki pemisahan antara wilayah agama dan wilayah sains.

Dalam kondisi demikian, pemikiran Prof. Imam Suprayoga sangat relevan yang menempatkan penuntut ilmu agama dan sains sebagai partner dalam kerja ilmiah bersama. Agar dapat bertemu sebagai partner, maka kedua belah pihak harus mampu menjalin komunikasi dua arah dengan menyediakan titik-titik pemahaman yang sama. Hal ini saya rinci menjadi dua poin.

Pertama, antara penuntut ilmu agama dan sains harus memiliki tujuan, visi, dan agenda yang sama. Apa yang harus diwujudkan oleh penuntut ilmu agama maupun sains? Masalah apa yang prioritas harus diselesaikan secara bersama-sama oleh kedua penuntut ilmu tersebut? Kesamaan pandangan mengenai poin ini merupakan pertemuan titik pemahaman yang dapat mendorong bertemunya dua kalangan penuntut ilmu untuk menjalin komunikasi.

Titik pemahaman kedua merujuk pada perluasan bidang ilmu yang menuntut masing-masing penuntut ilmu memperluas wawasan dan pemahamannya. Penuntut ilmu agama harus diberi pemahaman sains yang mendasar, termasuk karakter metodologinya serta capaian-capaian terkini yang paling tidak disampaikan secara kualitatif. Sementara itu penuntut ilmu sains juga harus diberi pemahaman mengenai dasar-dasar agama dalam ranah filosofis, metodologis, dan kaidah-kaidah penting yang dapat mendekatkan sains dengan agama. Permasalahannya, berapa persen bobot perluasan tersebut? Desain kurikulum seperti apa yang mampu merealisasikannya? Dan, apakah mungkin direalisasikan dalam kondisi kebijakan pendidikan di Indonesia?

Jika saja mungkin dan mampu direalisasikan, maka kita telah satu langkah untuk mewujudkan kualitas manusia polymath pada masa mendatang. Jika sebaliknya, maka pendapat kalangan pertama hanyalah angan-angan belaka bagai mimpi di siang bolong, sedangkan pendapat kalangan kedua walaupun tepat karena realistis akan semakin menjauhkan agama dari sains yang membentuk realitas kehidupan empirik bagi umat manusia, hewan, tumbuhan, dan mineral pada hari ini.

Kira-kira 20 tahun yang lalu Kuntowijoyo telah mengingatkan, zaman modern merupakan tantangan bagi relevansi agama. Seberapa jauh kita sebagai umat Islam mampu membawa dan melibatkan agama dalam kehidupan keseharian yang dibentuk oleh capaian sains sangat menentukan keberhasilan ikhtiar pembangunan peradaban Islam yang sedang kita upayakan. Tersisa satu pertanyaan, lalu kita mau apa dan harus melakukan apa?

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Rabu, 5 Januari 2022.

____

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang